Kesaksian Orang Biasa*
Tidak begitu salah kalau kebudayaan dikatakan sebagai perisai dan pelindung sekaligus solusi bagi bangsa penciptanya demi untuk melanjutkan kehidupan. Sebaliknya, tanpa suatu kebudayaan maka suatu bangsa bisa dipastikan akan punah. Untuk itu, dalam mensosialisasikan suatu kebudayaan pada warga bangsanya, kebudayaan membutuhkan hasil karsa berupa pendidikan. Pendidikan dalam arti usaha manusia untuk belajar menjadi manusia yang bisa mempertahankan eksistensinya dari serangan yang akan memusnahkannya. Dengan begitu, pendidikan juga merupakan suatu bentuk kebudayaan.
Namun pendidikan sebagai suatu bentuk kebudayaan dan salah satu kebutuhan pokok untuk menjawab kemandirian sebuah bangsa, ternyata sekarang lambat laun semakin terasa tercerabut dari akarnya. Banyaknya institusi pendidikan yang didirikan sekaligus berada di bawah naungan pemerintah selama ini, tampak tidak bisa melepaskan diri atau terhindar dari gerusan gerakan dehumanisasi terhadap sebuah bangsa. Sampai sekarang, ternyata masih banyak produk dari institusi-institusi tersebut yang sekadar menjadi intelektual-intelektual hafalan dan tukang-tukang yang jauh dari konsep kemandirian.
Jauh dari pengamatan publik luas, diam-diam ada dua anak bangsa yang telah menyadari bagaimana sebenarnya problem dalam dunia pendidikan tersebut. Dengan keyakinan dan keberanian penuh, mereka berdua melakukan kerja-kerja kependidikan dengan cara terjun langsung mendampingi berbagai macam masalah yang dihadapi masyarakat dalam mempertahankan eksistensi kebudayaan dan kehidupannya. Orang pertama adalah Moelyono, seorang praktisi kebudayaan rakyat yang sejak tahun 1985 sudah bergabung dengan masyarakat Dukuh Brumbun, teluk pantai selatan Tulungagung Jawa Timur yang memang termarginalkan baik secara teritorial maupun oleh kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. Moelyono bersama masyarakat Tulungagung menciptakan kebersamaan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang bervisi kemandirian. Dan orang kedua adalah Saur Marlina Manurung yang lebih dikenal dengan sebutan Butet Manurung. Seorang praktisi pendidikan anak pedalaman yang berproses bersama dengan masyarakat Jambi asli yang hidup dalam rimba-rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, yang akhir-akhir ini wajahnya mulai akrab dengan publik setelah koran harian KOMPAS menjadikannya sebagai model iklan di televisi.
Sementara itu, Gamelan Kiai Kanjeng yang kemasan musik dan gerakan kebudayaannya memang berdialog langsung dengan masyarakat(grassroot) dengan cara pentas keliling dari satu daerah ke daerah lain, juga merupakan komunitas yang dengan sadar memposisikan diri sebagai kelompok pemain musik yang tidak lepas dari realitas sosialnya. Mereka bersama Emha Ainun Najibterhitung dari sejak berdiri Juni 1998 sampai Juli 2003 telah mengunjungi lebih dari 21 propinsi, 360 kabupaten, 830 kecamatan, dan 1200 desa di seluruh Nusantara. Gerakan Kiai Kanjeng yang multi kontek ini: dari budaya, keagamaan, spiritual, social problem solving, pendidikan politik dan lainnya, betul-betul hadir sebagai ‘sahabat masyarakat’.
Baik yang dilakukan oleh Moelyono, Butet Manurung, maupun Gamelan Kiai Kanjeng bersama Emha Ainun Najib, itu semua merupakan sesuatu aksi yang dapat dikategorikan sebagai substansi dari gerakan kebudayaan untuk pembebasan. Sebagai hasil budaya, mereka mempertontonkan kedalaman komitmen, empati dan pemihakan terhadap para korban. Komitmen mereka yang dalam tentang banyak aspek ketidak adilan, relasi sosial yang timpang, dan relasi kelas yang diskriminatif, serta eksploitatif yang terdapat dalam sistem sosial, mereka bongkar demi keberlangsungan kehidupan masyarakat luas.
Melihat gerakan mereka tersebut, maka kami yang terdiri dari: Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY), Institute for Social Transformation (INSIST), dan Sindikat Kerja Orang Biasa (SKOB), bersepakat membentuk sebuah panitia bersama untuk menggelar acara: “KESAKSIAN ORANG BIASA”, sekaligus launching situs INSIST: www.insist.or.id yang dikemas dalam bentuk Seminar Pendidikan dan Pagelaran Musik.
Seminar Pendidikan “REFLEKSI PENDIDIKAN POPULAR”
Tempat: Gedung Purna Budaya, UGM Yogyakarta | Waktu: 15 Oktober 2003, pukul 09.00-13.00 WIB
Pembicara:
- Butet Manurung (Praktisi Pendidikan Anak Dalam)
- Moelyono (Praktisi Kebudayaan Rakyat)
- Dr. PM Laksono (Peneliti Kasus Korupsi dalam Pendidikan Nasional)
- Dr. Mansour Fakih (INSIST)
- Maria Hartiningsih (Wartawan Senior KOMPAS)
- Antariksa (moderator, KUNCI Cultutral Studies)
PAGELARAN MUSIK “KESAKSIAN ORANG BIASA” dan “RUNTUH”
Tempat: Gedung Purna Budaya, UGM Yogyakarta | Waktu: 15 Oktober 2003, pukul 19.00WIB-selesai.
- Artis: Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan Dipa-eks Dinasti
- Musik: Gamelan Kiai Kanjeng
Gelaran acara “KESAKSIAN ORANG BIASA” ber-upaya untuk merefeksikan kembali apa sebenarnya yang terjadi dalam dunia pendidikan sekarang, harapannya nanti bisa menemukan sekaligus memformulasikan bagaimana sistem pendidikan yang bisa melawan gerakan laten dehumanisasi dengan visi kemandirian yang bersifat demokratis.
Acara ini dipersembahkan oleh: INSIST, INSISTPress, INSIST POLICY STUDIES, INSIST GENDER, INSIST HUMAN RIGHT, REaD, INVOLVEMENT, AKY, AKYPress, ON/OFF, KEPA, & HIVOS.
Press release | Yogyakarta, 9 Oktober 2003
Organized by: Sindikat Kerja Orang Biasa (SKOB) | Cp: Faiz Ahsoul
Berita dan dokumentasi kegiatan: