Menolak Hegemoni Korporasi Atas Air*
“Anyone who solves the problem of water deserves not one nobel but two: one for science and the other for peace.” (John F. Kennedy)
HARI itu 21 Maret 2003. Presentasi mantan Direktur IMF Michel Camdessus yang melaporkan hasil kerja 18 bulan World Panel on Financing Water Infrastructure (WPFWI), di Aula Utama Kyoto International Convention Center, tiba-tiba terhenti. Salah satu sesi diskusi dalam Third World Water Forum (3WWF), 16-23 Maret di Jepang, itu berubah gaduh, tegang, mencekam. Sekelompok aktivis anti-privatisasi air dari segenap penjuru dunia mengambil alih paksa forum. Mereka naik ke atas panggung, membentangkan spanduk-spanduk protes, lalu secara bergantian meluncurkan kritikan tajam atas laporan Camdesus, yang dinilai amat pro-privatisasi.
Dewasa ini, genderang “Perang Dunia Ketiga” kian nyaring ditabuh. Sebuah perang yang—menurut David C Korten—melibatkan insting segenap komunitas lokal dunia untuk menciptakan kehidupan lestari (sustainable) melawan serbuan ekspansi dan hasrat pertumbuhan ekonomi kapitalisme global. Insiden di Kyoto tersebut merupakan salah satu ekspresi “perang” komunitas manusia terhadap kepak sayap privatisasi air.
Buku Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi, mengajak kita memahami secara kritis berbagai dimensi perihal konflik kuasa atas air. Penulisnya, Vandana Shiva, adalah pemikir sekaligus aktivis lingkungan hidup termasyur dari India yang pernah meraih Right Livelihood Award, penghargaan alternatif untuk mengimbangi Nobel Pedamaian. Lembar demi lembar bukunya ini bertutur betapa penetrasi kapital yang dimotori Bank Dunia-World Trade Organization (WTO)-Korporasi global—yang tamak air, serampangan dalam menerapkan teknologi, serta mengambil air melebihi kapasitas alam—menjadi biang keladi dari semua konflik sumber daya air; sekaligus menggiring komunitas global ke jurang krisis air dunia yang kronis.
VANDANA SHIVA memaknai perang air sebagai dua hal. Pertama, perang paradigma—konflik perihal cara memahami air berikut penggunaannya. Yang kedua, sebagai perang dalam arti tradisional di mana kekerasan fisik dan bentrokan senjata terjadi. Sebagai perang paradigma, perang air merupakan benturan (clash) dua kutub paradigma yang berbeda diametrikal: komunal versus pasar, konservasi melawan eksploitasi. Sedangkan manifestasi sebagai perang tradisional itu tampak dalam berbagai insiden kekerasan, baik yang dilakukan negara maupun modal kepada masyarakat petani, adat, komunitas yang dicap “terasing”, yang sedang mempertahankan hak pengelolaan sumber daya airnya (hlm 18).
Dua makna perang air di atas tampak benar, misalnya, dalam kasus proyek bendungan (dams). Mulanya bendungan didengungkan akan memenuhi kebutuhan air untuk minum dan sanitasi, memasok air irigasi pertanian, serta menjadi sumber pembangkit tenaga listrik bagi masyarakat. Akan tetapi, menurut Shiva, secara generik bendungan tidaklah dibangun untuk kepentingan publik. Inti pemikirannya: bagaimana aliran sungai dikendalikan, lalu “digudangkan”, kemudian disalurkan ke industri, mengairi hutan-hutan produksi, hingga menopang gaya hidup kota yang modern tapi boros air.
Pada titik ini nalar rasionalisme ekonomi (economic rationalism) dalam paradigma pasar, yang menempatkan elemen alam seperti tanah, air, dan udara sebatas komoditas (instrumental value) tampak gamblang. Ratusan ribu hektar hutan dan kawasan subur ditenggelamkan, jutaan penduduk terusir paksa secara represif, yang semuanya itu dilakukan sebagai konsekuensi cara pandang prinsip komoditas ala kapitalisme (privatize everything or market it anyway) yang meniscayakan eksistensi hak kepemilikan privat (propherty rights) atas air (Dryzek, 1997:117). Sebuah konstruksi ide yang menafikan sakralitas air dengan mengandaikan bahwa penjarahan air berlebih dapat ditebus dengan kompensasi pembayaran sejumlah uang.
Dari segi distibutive justice—istilah Dorothy Nelkin (1984:12) untuk menggambarkan keadilan pemanfaatan suatu proyek pembangunan—proyek bendungan telah berbuat sewenang-wenang. Masyarakat setempat terkena “getah”, sedang “nangka”-nya dinikmati oleh kepentingan modal, oleh sektor-sektor formal urban (Aditjondro, 2003a:205).
Tak pelak, proyek bendungan bertentangan dengan garis-garis nilai dalam paradigma komunal. Paradigma ini memandang hak atas air, sungai, dan alam seisinya sekadar hak guna. Suatu hak yang berasal dari konteks eksistensi kodrat manusia, kebutuhan dasar, kondisi historis, serta gagasan tentang keadilan. Dengan berpijak pada falsafah ini, lahirlah konsep penggunaan air yang disebut hak Riparia. Menurut sejarawan Donald Worster, seperti yang dikutip Shiva, doktrin Riparia di masa Kuno merupakan ekspresi dari sikap menghindari campur tangan yang berlebihan terhadap alam (hlm 24).
“Ada keyakinan kuat bahwa jika cara hidup manusia berada dalam batas-batas siklus air, maka kodrat air sebagai sumber daya yang terbarukan akan terjaga. Sehingga pasokan air untuk kehidupan bisa berlangsung selamanya,” ujar Shiva kepada Nick Paget–Clarke dalam sebuah wawancara di majalah Inmotion edisi 6 Maret 2002. Paradigma yang dipeluk erat oleh komunitas ini sayangnya dalam rongrongan rezim pasar.
BANK DUNIA dan korporasi hadir menelikung saat dunia didera krisis air. Mereka telah mengubah tragedi menjadi peluang pasar yang menguntungkan. Melalui berbagai jebakan hutang, Bank Dunia dan Korporasi mendorong diberlakukannya privatisasi air di negara Dunia Ketiga. Laporan Camdesus di WPFWI di Jepang dengan tegas merekomendasi korporasi swasta terjun ke sektor air. WPFI juga mendorong kebijakan pemerintah agar memberi garansi laba (predictable reveneu frammework) kepada pelaku pelayanan air.
Oleh para pembelanya, privatisasi ditahbiskan sebagai inovasi paling revolusioner dalam sejarah kebijakan ekonomi: menjadi rute terbaik menuju efisiensi, produktivitas, memangkas belanja pelayanan publik, sehingga mengurangi beban hutang (Steve H. Hanke, 1987:4). Benarkah? Menurut Vandana Shiva, privatisasi tak lebih dari aneksasi air komunitas oleh korporasi. Bertumpu pada hak privat atas air dan gaya berpikir Koboi ‘siapa cepat dia dapat’ (cowboy economics), privatisasi memarjinalkan hak-hak kepemilikan komunal. Privatisasi mengakui harga (price) air, namun nilai (value) air bagi kemanusiaan justru dianulir.
Parahnya, track records privatisasi di berbagai negara dijejali potret buram. Label “kemitraan publik-swasta” yang melekat pada privatisasi tak urung cuma kamuflase belaka. Di manapun, preskripsi good corporate governance dengan nilai-nilai seperti partisipasi, demokrasi dan akuntabilitas yang sering dijanjikan korporasi selalu berhenti di titik jargon. Shiva menyodorkan bebagai kasus di mana perusahaan macam Vivendi Universal, Suez-Lyonnaise des Eaux, RWE Group/Thames Water, maupun Bechtel International Water menjadi rezim pengelolaan air monopolistik yang kebal terhadap kontrol publik. “Pasar mungkin efisien dalam mengalokasisumber daya—dan karenanya menjadi instrumen profit making yang efektif—namun ia tak pernah mampu memainkan peran sebagai aktor dan arena politik yang responsif dan demokratis,” tegas Jon Pierre dan Guy Peters, dalam Governance, Politics, and The State, (2000:13).
Memang, “Kultur korporasi yang menekankan integritas, manajemen terbuka, kejujuran dan akuntabilitas publik,” kata John A. Byrne dalam BusinessWeek, edisi 19-26 Agustus 2002, “Kini kembali digandrungi para pemimpin korporat dan wirausaha.” Akan tetapi mesti kita pahami bahwa kultur ini, yang dalam banyak hal mengoreksi segala penyimpangan di era 1990-an, pertama dan utama ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan pemegang saham dan para investor. Reformasi ini dilakukan untuk menghapus citra korup pada korporasi pasca terkuaknya skandal Enron. Sedangkan yang ada dibenak para investor ialah keuntungan semata. Bagi mereka tak ada urusan dengan kelestarian lingkungan, apalagi aksesibilitas komunitas lokal atas alam, yang dalam nalar bisnis tak lebih dari konsumen.
Dengan stelsel ekonomi dunia yang kapitalistik, privatisasi juga memangkas kedaulatan negara dengan memberi peluang korporasi menuntut negara yang mencegah ataupun yang menggaggu privatisasi, meskipun merugikan rakyatnya. Shiva mencontohkan Kasus Metaclad, salah satu raksasa korporasi manajemen sampah dari AS (hlm 111). Korporasi ini berhasil memenangkan tuntutan dan memaksa pemerintah Meksiko membayar ganti rugi sebesar 17 juta dollar, akibat penerapan legislasi yang dianggap ‘menghilangkan’ potensi keuntungan perusahaan. Padahal, legislasi tersebut dikeluarkan karena operasi produksi Metaclad yang dianggap membahayakan kesehatan publik dan keamanan lingkungan hidup.
Di era otonomi daerah, di mana banyak daerah berbondong menarik para investor guna mendongkrak pendapatan aslinya, kedatangan investasi di sektor air rentan mengancam akses dan kontrol masyarakat atas air. Corak politik di Indonesia pasca rezim otoritarian-kleptokrasi Orde baru dalam banyak hal tidak menunjukkan perubahan fondasional. Orientasi para pemegang otoritas dalam mengatur akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya alamnya masih cenderung memperkuat struktur hierarkhis dan dominatif, ketimbang memberdayakan publik. Dengan konteks seperti ini, hadirnya rejim privat di ranah pengelolaan air, baik berupa privatisasi dalam Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), maupun komersialisasi berupa penjualan air kepada industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), rentan makin mengecilkan hak-hak masyarakat atas air.
Peringatan Shiva akan bahaya industri AMDK yang kini marak di beberapa daerah patut disimak. Ia mencontohkan bencana kelangkaan air di negara bagian Kerala, sebuah daerah di India yang dulu bercurah hujan tinggi dan terkenal kaya air. Namun setahun setelah AMDK mitra Coca-cola berdiri, tiga danau dan sejumlah sungai di Kerala mengering. Penyebabnya adalah pemompaan 1,5 juta liter air tanah per hari. Menurut Shiva, korporasi macam Coca-cola ini tidak memfabrikasi air. Mereka tidak mengolah air dari Sungai Yamuna yang terpolusi sehingga menjadi kernih dan sehat untuk kemudian dijual. Tetapi mereka mencuri air dari tanah. Air yang bersih, sehat, tanpa perlu memberi kaporit, tanpa perlu mengeluarkan biaya produksi yang seharusnya mereka tanggung. “Ini adalah hasil tindakan oknum eksekutif dan birokrat yang menerima suap, kemudian mengalihkan sumber daya alam yang sejatinya bukan milik negara. Air adalah milik komunitas, air itu entitas publik,” tutur Shiva kepada Nick Paget.
VANDANA SHIVA percaya akan sakralitas air. Di negaranya semua sungai dita’zimi, dihormati, dan disakralkan. Nilai religius air tampak benar, misalnya, pada perayaan Khumb Mela di mana 30 juta manusia berziarah ke Sungai Gangga. Sayangnya penghargaan yang begitu tinggi terhadap air kini mulai terancam oleh budaya air korporasi. Tradisi leluhur seperti Jal Maindirs (kuil air) dan Piyaos (stan air gratis di ranah publik) di India, perlahan namun pasti mulai tergeser oleh budaya air mineral (kemasan) Aquafina—anak perusahaan Pepsi. Wadah-wadah dari tanah liat, ghadas dan surais, telah disingkirkan oleh botol-botol plastik. Ekonomi ‘cuma-cuma’ ala komunitas telah terjegal oleh pasar air.
Kiranya ujaran Jeremy Seabrook bahwa bumi telah menjadi ‘pacuan menuju kekayaan’ tepat belaka (Beilharz, 2002:317). Kini, kata Seabrook, insting survival manusia yang terekspresi kebutuhan untuk menjaga melestarikan air telah tergantikan oleh kultus produktivisme, hasrat ekspansi, dan libido akumulasi. Padahal air merupakan dasar seluruh kebudayaan bani Adam. Bahkan, ibaratnya, air dan manusia bak telunjuk dengan jari tengah. Hampir semua aktivitas manusia butuh air: mulai buang hajat besarkecil sampai berwudlu sebelum sembahyang (Aditjondro, 2003a).
Dalam World Water Development Report 2003 di Jepang, terungkap bahwa pada pertengahan abad ini atau pada tahun 2050, setidaknya enam milyar manusia di 60 negara akan mengalami kelangkaan air bersih. Bahkan, dalam kurun waktu 20 tahun ke depan, laporan itu memprediksikan rata-rata pasokan air untuk tiap orang akan turun sepertiganya. Padahal, secara epidemiologis terbukti ada kaitan antara ketersediaan air bersih dengan penyakit yang ditularkan lewat air seperti diare dan penyakit lainnya. Hasil studi Lembaga Penelitian Universitas Indonesia tahun 1997 di proyek penyediaan air minum menyimpulkan, penyediaan air minum dapat mencegah 35 persen diare, sedangkan penyediaan jamban mencegah 28 persen diare (Kompas, 27 Maret 2003).
Bagi Vandhana Shiva, asumsi paradigma pasar adalah keliru samasekali. Solusi kelangkaan dengan menghadirkan pasar air justru membuat air menjadi eksklusif. Dalih bahwa harga yang tinggi akan memberi insentif bagi konservasi, kiranya mustahil berlaku. Karena sudah barang tentu korporasi akan menjual air kepada penawar tertinggi. Profit yang diperoleh, dengan demikian, hanya menjadi pendorong bagi mereka untuk terus berproduksi, terus menguras air.
Memang banyak bukti empiris menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang pasti antara tipe-tipe kepemilikan (property rights) dengan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan. “Eksploitasi dan degradasi dapat, dan memang sungguh terjadi, di bawah semua rezim kepemilikan (property rights regimes), baik komunal maupun pasar. Akan tetapi kegiatan perusakan yang paling nyata dan parah harus diakui terjadi pada sumber daya alam yang dimiliki swasta atau dalam lisensi atau konsesi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan perseorangan atau swasta,” tulis Franz & Krebet von Benda-Beckmann dalam buku Jaminan Sosial dan Sumber daya Alam (2003:26).
BARANGKALI tak terlalu berlebihan jika rezim pasar beserta kekuatan kapitalnya, meminjam terminologi Herry Priyono, kita katakan telah menjelma menjadi sosok “Leviathan” baru. Leviathan—sejenis buaya raksasa laut yang memangsa dan menakutkan—dipakai sebagai metafor untuk melukiskan kekuasaan negara yang begitu besar, for better or worse. Dewasa ini, kata Herry, tidaklah terlalu keliru untuk mengatakan bahwa dalam proses menjinakkan Leviathan lama (negara), seekor Leviathan baru (modal) telah dilahirkan. Kita sudah menciptakan kendali demokrasi bagi kekuasaan negara, namun gagap untuk mereka-reka kendali yang semacam bagi kekuasaan bisnis. “Padahal, keduanya sama-sama kekuasaan yang kinerjanya punya dampak mendalam pada hidup-mati suatu masyarakat, bagi keberlanjutan peradaban kemanusiaan”, papar alumnus London School of Economics ini (B. Herry Proyono, Memahami Leviathan Baru, Kompas 5 April 2002).
Oleh karena itulah, buku yang berjudul asli Water Wars: Privatizatiton, Pollution and Profit ini merekomendasikan agar pengelolaan air diserahkan kepada komunitas. Karena di sana lebih menjamin adanya pengelolaan yang terdesentralisasi dan kepemilikan yang demokratis. Rezim pengelolaan komunitanitaslah, satu-satunya sistem yang efisien, berkesinambungan dan adil, demi kelestarian kehidupan.
*[Harie. Majalah Flamma edisi Agustus-September, Nomor 21/Volume 10]
*Tulisan dilansir dari: tubanterra.tripod.com
*Rehal buku: Water Wars: Privatisasi Profit dan Polusi/ Vandana Shiva/ Achmad Uzair (penerjemah)/ INSISTPress dan WALHI, 2002.