Amuk Atas Nama Tuhan*
Sabda Tuhan telah menjadi roti. Sepenggal kalimat itu merupakan ideologi kristiani sebagai petunjuk bahwa Tuhan hadir dalam setiap kehidupan manusia. Tuhan begitu dekat, dan masuk ke dalam hati bagi mereka yang mengimaninya. Begitu dekatnya hubungan itu, Tuhan menjelma sebagai roti, yang juga sebagai perlambang akan tubuh Yesus dan menjadi santapan dalam setiap kebaktian di Gereja.
Kedekatan Tuhan dengan umat manusia itu juga diartikan bahwa sabda tidak hanya sekadar kumpulan norma dan aturan, yang harus dituruti bagi mereka yang ingin singgah di surga. Tetapi sekaligus, sabda itu merupakan oli atau keringat yang melicinkan dan menetesi setiap perjuangan umat manusia yang masih harus menjalani kehidupannya. Ringkasnya, sabda menyatu ke dalam proses perziarahan manusia.
Tantangannya adalah, apakah sabda Tuhan itu mampu digunakan sebagai sarana atau alat untuk membebaskan manusia dari penderitaan kehidupan sehari-hari? Apakah sabda Tuhan itu dapat digunakan sebagai sarana untuk memberantas korupsi, kesewenang-wenangan, penindasan dan laku jahat lainnya?
Dalam tradisi kristiani, menjadikan Injil sebagai alat perjuangan manusia dalam melakoni kehidupan sehari-hari itu terbilang baru, dibanding dengan usia agama itu yang sudah mencapai ribuan tahun. Konsili Trente (1956) merupakan awal kesadaran gereja untuk menjadikan sabda Tuhan menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dari Konsili itu maka muncullah ajaran sosial gereja, yang pada intinya mengacu kepada salah satu ayat dalam Injil. Sebagaimana diceritakan Yesus tentang kisah orang Samaria yang akan pergi ke Yerusalem, dan di tengah jalan dirampok dan dipukuli hingga setengah mati. Korban itu oleh sang perampok ditinggal dalam kondisi sekarat di pinggir jalan. Lalu, lewatlah orang Parisi, namun tidak ada pertolongan. Kemudian lewat juga pemuka agama, demikian pula mereka melenggang kangkung. Dan tak lama kemudian, lewat seorang pemungut bea. Orang ini berhenti dan memberikan pertolongan.
Dari cerita itu, gereja mengartikan bahwa Injil tidak hanya urusan surgawi saja, tetapi sesuatu yang konkret. Gereja merupakan oli bagi kehidupan umat manusia di dunia, dan ampuh digunakan sebagai landasan memecahkan masalah duniawi. Oleh para pengampu gereja, ajaran sosial gereja ini dikembangkan, dan muncullah apa yang disebut teologi sosial atau teologi pembebasan yang lahir di bumi Amerika Latin, di mana negara itu yang sebagian besar memeluk Katolik tetapi hidup dalam penguasa otoriter yang juga beragama Katolik. Teologi ini juga masuk ke Indonesia, dan menghadapi tentangan oleh Orde Baru. Tokoh teologi pembebasan adalah Bonowiratmo SJ (sekarang bukan lagi pastor), Wahono Nitiprawiro SJ (sudah keluar dari Ordo Jesuit), JB Mangunwijaya, Tom Jacobs SJ, dan Th Sumartana.
Bila sekarang ini hadir buku Tolak Bungkam Suara Teolog Pembebasan yang disunting Eman J Embu SVD dan Amatus Woi SVD (yang merupakan rekaman perjalanan perjuangan umat Katolik Flores Timur di bawah bimbingan para gembala umat, ketika melancarkan kritik terhadap Bupati Flores Timur Felix Fernandez), itu artinya gereja menjadi praksis dalam kehidupan umatnya.
Kisah perjuangan itu sudah diketahui umum karena diwartakan oleh sejumlah media massa. Apalagi, dalam prosesnya terjadi amuk masa ketika pengadilan Flores Timur menjatuhkan hukuman penjara lima tahun dengan masa percobaan lima bulan kepada Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka Romo Frans Amanue Pr. Vonis itu mendorong masa bersikap brutal dan melakukan amuk dengan membakar kantor Pengadilan Negeri Flores Timur.
Buku setebal 214 halaman ini selain menyajikan kronologis perjuangan umat Flores Timur, juga dilengkapi dengan renungan, baik yang bersifat teologis maupun filsafat. Buku yang ditulis ramai-ramai ini menjadi peneguh, bahwa sabda yang telah menjadi daging atau roti itu benar-benar nyata, dan bisa masuk sebagai praksis kehidupan. Agama tidak hanya sekadar urusan akhirat, tetapi kemuliaannya justru teruji dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kemampuannya membebaskan manusia dari penderitaan duniawi.
Bila dicari kekurangannya, buku ini rasa-rasanya kurang adil, karena tidak memberikan tempat bagi Felix Fernandez atau sekutunya untuk menjelaskan duduk soal dari perkara itu.
*Edi Hidayat. Sumber: Harian Media Indonesia – 2004
*Rehal buku: Tolak Bungkam: Suara Teolog Pembebasan/ Eman J. Embu & Amatus Woi (ed.)/ Ledalero & INSISTPress, 2003.