Buku-Buku Marx. Madu atau Racun?*
Salah satu tokoh dunia yang tergolong fenomenal pada abad ke-19 adalah Karl Marx. Pemikiran dan sosok penulis buku Das Kapital ini juga sangat kontroversial. Pada zaman Orde Baru, karya dan pemikirannya dalam bentuk buku atau apapun dilarang. Di bawah rezim Soeharto, pemikiran Mark menjadi sesuatu yang haram dan tidak boleh beredar, karena dinilai bisa menyebarkan faham komunis. Meski begitu, pemikiran Marx masih tetap berkembang dalam komunitas-komunitas kecil yang sering kali disebut kelompok kiri. Buku-buku yang mengulas seputar sosok dan pemikiran Marx pun beredar di bawah tanah dalam jumlah yang terbatas. Bila penguasa mencium dan mengetahui adanya buku-buku tersebut, breidel pun segera dilakukan. Buku seperti itu dianggap penguasa bisa meresahkan masyarakat.
Saat era reformasi bergulir, kran kebebasan pun mulai terbuka. Buku-buku yang mengulas tentang pemikiran dan sosok Marx mulai beredar di pasaran. Namun, banyak juga kalangan yang alergi dengan Marx. Tak heran, bila kemudian muncul upaya sweeping terhadap buku-buku yang bernuansa ke-kiri-kirian. Akibatnya, peredaran buku-buku seperti itu pun kembali surut dan hanya beredar di kalangan terbatas. Salah satu penerbit yang banyak menerbitkan buku yang kontrovesial itu adalah Hasta Mitra. Tidak hanya pemIkiran dan ketokohan Marx, penerbit yang satu ini pun banyak yang menerbitkan buku karya Pramoedya Ananta Toer. Setiap kali buku diterbitkan, maka pelarangan pun datang. Meski begitu, Hasta Mitra tetap menerbitkan buku-buku tersebut.
”Bagi kami, itu dianggap seperti iklan gratis,” ujar Jusuf Isak, direktur penerbitan Hasta Mitra. Sederet buku tentang Marx yang telah diterbitkan Hasta Mitra memang telah beredar di bursa buku dalam jumlah terbatas. Buku-buku itu antara lain Logika Marx, Masalah-masah Dasar Marxisme, dan Naskah-naskah Ekonomi-Filsafat Karl Marx. Ada pula buku tentang Marx yang diluncurkan penerbit lain. Misalnya, Das Kapital untuk Pemula, dan Karl Marx: Revolusi dan Sosialisme yang diterbitkan Insist Press. Frans Magnis Suseno pun telah menulis buku, Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.
Buku seperti itu banyak diburu para mahasiswa dan kelompok-kelompok diskusi. Buku-buku itu memang bukan karya orisinil dari Marx, tetapi merupakan hasil karya para penulis Indonesia tentang Marx dan Marxisme. Meski begitu, buku tersebut tetap diburu, karena rasa ingin tahu sebagian kecil masyarakat akan pemikiran tokoh yang dianggap telah melahirkan sosialisme itu.
Belum lama ini penerbit Hasta Mitra kembali membuat kejutan. Penerbit yang sudah terbiasa dengan pelarangan itu menerbitkan buku terjemahan hasil pemikiran orisinil karya Karl Marx, yakni Das Kapital. Dalam bahasa Indonesia, kini Das Kapital yang kontroversial dan fenomenal itu bisa dinikmati masyarakat Indonesia. Karya besar yang banyak diburu pembaca kalangan tertentu di seluruh dunia itu disajikan dalam beberapa jilid. Jilid pertama buku ini berjudul Kapital, Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Buku bersampul merah putih dengan gambar Karl Marx terpampang di bagian cover itu terbit dalam 929 halaman.
Buku tersebut diterjemahkan dari tiga buku Das Kapital dalam bahasa Rusia, Honggaria dan Jerman oleh tim orang-orang Indonesia yang berada di pengasingannya di luar negeri. Naskah buku itu, diterjemahkan hingga final oleh Oey Hay Djoen. Jusuf mengaku belum tahu soal nasib buku tersebut. Apakah bakal dilarang beredar seperti buku-buku serupa sebelumnya atau tidak. ”Itu bukan urusan kami. Yang penting kami tetap menerbitkan buku-buku bermutu,” paparnya.
Namun, menurut dia, bila buku terjemahan Das Kapital itu bisa diizinkan beredar, maka pemerintah akan sangat diuntungkan. ”Pemerintah akan dinilai sangat demokratis,” tandasnya. Diakuinya, sangat banyak pertanyaan yang terlontar soal relevansi penerbitan buku tersebtut saat ini. Karya Marx dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan zaman, karena ia hidup pada abad ke-19 dan kini dunia telah memasuki abad ke-21. Selain itu, sosialisme di Eropa pun telah hancur, padahal Das Kapital merupakan naskah yang mendorong berdirinya kekuatan tersebut.
Atas kritik dan pertanyaan tersebut penerbit Hasta Mitra pun memberi alasan untuk mematahkan anggapan tersebut. Menurut Isak, Marx memang hidup pada abad ke-19 dan mengamati proses produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi yang ada di zaman itu. Marx menjadikan Inggris, yang menurutnya saat itu sudah sepenuhnya kapitalis, sebagai dasar pijakan analisisnya. Namun, tutur dia, Das Kapital bukan sekadar analisis mengenai apa yang terjadi di Inggris. Marx melalui bukunya itu mencoba menjabarkan cara kerja sistem kapitalis pada tataran abstrak dan hanya sedikit mengacu pada keadaan historis yang nyata. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), buku Das Kapital memang sangat penting untuk diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Menurut Gus Dur, buku karya Marx itu merupakan salah satu buku yang berpengaruh di dunia. Bahkan, buku itu pun sangat mempengaruhi Presiden Soekarno dalam membuat Undang-Undang Dasar 1945. ”Namun, membaca buku itu sebaiknya juga diimbangi dengan membaca buku karya Adam Smith dan David Ricardo,” katanya. Sebab, kata dia, buku Das Kapital ditulis Marx untuk menjawab dan mengkritisi pandangan Adam Smith yang mengagungkan kapitalisme dan liberalisme. Menurutnya, hal yang paling penting yang dapat diambil dari buku tersebut adalah semangat tentang materialisme untuk kepentingan orang banyak. ”Buku itu bisa menjadi bahan bacaan anak-anak Indonesia,” ujarnya.
Pendapat senada diungkapkan Frans Magnis Suseno. Menurutnya, Das Kapital merupakan buku yang berpengaruh dalam sejarah manusia. Diakuinya, buku tersebut sangat kering dan sulit dimengerti. Frans Magnis mengungkapkan, dalam buku itu Marx mencoba untuk menjelaskan bahwa sistem kapitalis bukan merupakan sistem yang stabil. Kapitalisme itu justru mengandung kontradiksi yang bersifat internal. ”Meski sudah 140 tahun, namun analisis dasar dalam buku ini masih tetap relevan,” ungkapnya. Terbitnya buku terjemahan itu, sambung dia, merupakan sebuah tanda yang bisa mengembalikan harkat intelektual bangsa Indonesia. Menurut dia, buku Das Kapital sama sekali tak menyinggung dan memusuhi agama seperti banyak anggapan orang. ”Jadi buku itu perlu ada dalam bahasa Indonesia,” katanya.
Sang penerjemah Oey Hay Djoen pun menegaskan, dalam buku tersebut tak ada satu kalimat pun dari Marx yang menyinggung dan memusuhi agama. ”Marx tak benci pada agama,” tuturnya. Kini Djoen tengah menerjemahkan buku Das Kapital jilid kedua. Rencananya buku tersebut akan segera terbit dalam 600 halaman. Dalam era keterbukaan seperti saat ini, tentu saja setiap gagasan sangat sulit untuk dibendung. Karena setiap orang memiliki hak untuk mengetahui dan menegeluarkan gagasannya. Setiap orang pun memiliki keyakinan dan pandangan penting atau tidak sebuah karya berupa buku untuk dibaca. Bagi sebagian orang, karya Marx itu penting. Namun, tentu dianggap tak penting oleh sekelompok orang yang lain.
Tak sepakat dengan sebuah teks atau pemikiran, maka counter atau kritik pun harus dengan sebuah pemikiran yang juga dituangkan dalam teks. Seperti Marx yang tidak sepakat dengan pemikiran Adam Smith, menuangkannya dalam bentuk tulisan yang diberi judul Das Kapital. Buku ini memang khusus dibaca untuk kalangan intelektual. Karena tak mudah untuk memahami karya dari Marx tersebut.
*Oleh: Heri Ruslan. Sumber: Republika – Minggu, 13 Februari 2005.