MEMAHAMI ADVOKASI

MEMAHAMI ADVOKASI*

Perlu Demistifikasi

Kata ‘advokasi’ pada era rezim otoriter Orde Baru pernah menjadi kata yang menakutkan, kata yang paling diwaspadai oleh para penguasa militer kala itu. Advokasi selalu diartikan sebagai usaha-usaha makar kaum dan kalangan anti kemapanan untuk merongrong pemerintahan yang sah. Oleh karena itu, rezim militeristik Orde Baru menjadi sangat tidak toleran terhadap usaha advokasi. Mereka merasa terhina jika ada Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) berhasil memulai advokasi, meskipun hasilnya tidak jelas. Wajar jika sebagian besar kalangan aktivis ORNOP waktu itu diam-diam juga percaya bahwa advokasi adalah kegiatan ilegal dan berbahaya. Akibatnya sebagian besar dari mereka menjadi sangat ketakutan beraliansi dengan organisasi-organisasi yang melakukannya, berusaha sedemikian rupa berkelit dan menolak mengintegrasikan program-program mereka ke dalam suatu jaringan kerja advokasi.

Sementara itu, pada sisi lain, yang lebih menggelikan adalah kalangan aktivis ORNOP yang berani melakukan advokasi, diam-diam juga mulai percaya bahwa advokasi memang suatu aktivitas yang berbahaya dan melawan hukum resmi yang totaliter. Oleh karena itu, mereka merasa bahwa kegiatan advokasi adalah sesuatu yang heroik, penuh tantangan dan diperlukan sikap radikal untuk melakukannya. Maka, advokasi di kalangan ORNOP menjadi kata yang berkonotasi penuh semangat perlawanan, semangat perubahan revolusioner dan semangat-semangat lain semacam itu.

Di Indonesia, pernah pula kuat sekali pemahaman bahwa advokasi merupakan pekerjaan para pengacara dan umumnya hanya berkaitan dengan praktek pembelaan oleh para praktisi hukum di mahkamah peradilan. Lantas, lahirlah pengertian advokasi yang amat sempit sebagai kegiatan beracara di peradilan (litigasi). Advokasi pun dianggap sebagai urusan dan monopoli organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum. Tetapi, betulkah advokasi adalah sarana untuk perubahan mendasar atau radikal, yang secara revolusioner membongkar sistem dan struktur sosial ekonomi dan politik secara cepat? Pertanyaan itulah yang ingin dijawab dalam buku ini.

Advokasi dalam buku ini akan diletakkan dalam proporsi fungsi dan manfaatnya sebagaimana mestinya. Advokasi memang telah terbukti membawa hasil untuk mendesakkan perubahan-perubahan kebijakan publik dengan dampak yang luas pada kehidupan masyarakat. Namun kita juga harus lebih realistik memberi beban tugas advokasi. Kita perlu melakukan demistifikasi terhadap pemaknaan advokasi yang sesungguhnya, supaya tidak mengakibatkan kekecewaan (atau, sebaliknya, ketakutan) yang besar bagi penggunanya. Buku ini sesungguhnya bertujuan meletakan advokasi dalam porsi, fungsi dan hakekat yang semestinya, dimana advokasi penuh dengan kekuatan tetapi sekaligus juga penuh dengan kelemahan.

Memahami Advokasi

Advokasi, seperti halnya media atau cara lainnya yang digunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu, tidaklah seseram atau sehebat yang sering dibayangkan oleh banyak pelakunya selama ini. Advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incre­mental).

Dengan kata lain, advokasi memang bukan revolusi, tetapi lebih merupakan suatu usaha perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku. Bahkan, di Amerika Serikat, advokasi telah menjadi bisnis besar. Banyak perusahaan-perusahan yang bergerak dalam bidang lobbi menyediakan jasa advokasi yang melayani organisasi-organisasi dan perusahaan-perusahaan besar, termasuk perusahaan-perusahaan mul­tinasional untuk mempengaruhi kebijakan perdagangan dan ekonomi Amerika agar lebih menguntungkan kepentingan akumulasi kapital mereka. Banyak perusahaan asing juga sering menggunakan dan membayar para pelobbi professional untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah di negara dimana mereka menanamkan modal. Perusahaan-perusahaan konsultan yang bergerak dalam bidang advokasi dan lobbi tersebut umumnya memiliki staf yang sangat profesional. Mereka bahkan membayar para ahli hukum kenamaan menjadi karyawan atau konsultan perusahaan.

Jadi, advokasi dalam pengertian mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha menegakkan social justice. Sebaliknya, advokasi menjadi alat mereka yang memang sudah sangat berkuasa untuk lebih menguatkan dominasi mereka yang justru lebih melanggengkan ketidakadilan sosial. Dan, oleh karena proses-proses pembentukan kebijakan publik selama ini di Indonesia hanyalah menjadi urusannya para elite politik dan para aktivis, lama-lama advokasi menjadi tak terjangkau oleh para subjek korban kebijakan itu sendiri, mereka menjadi teralienasi dalam proses advokasi. Bahkan advokasi model seperti ini cenderung mengatas namakan korbannya. Advokasi menjadi barang mahal justru bagi mereka yang memerlukannya dan sangat berkepentingan.

Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru advokasi untuk keadilan sosial, yakni advokasi yang justru meletakkan korban kebijakan sebagai subjek utama. Kepentingan mereka lah justru yang harus menjadi agenda pokok dan penentu arah suatu kegiatan advokasi. Hanya dengan demikian maka suatu kegiatan advokasi tidak lagi menempatkan suatu organisasi, misalnya ORNOP, menjadi para ‘pahlawan’ dan ‘bintang’, melainkan suatu proses yang menghubungkan antar berbagai unsur progresif dalam masyarakat warga (civil society), melalui terbentuknya aliansi-aliansi strategis yang memperjuangkan terciptanya keadilan sosial dengan cara mendesakkan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan publik.

Advokasi Keadilan Sosial

Banyak organisasi bercita-cita memperjuangkan keadilan sosial, namun mengingat kerumitan, luasnya dimensi dan aspek-aspek ketidakadilan sosial, selain fakta adanya kesulitan untuk memulai darimana, maka banyak organisasi yang terjebak sebagai ‘pengrajin sosial’ semata, bahkan lama-kelamaan tidak mampu lagi keluar dari jebakan tersebut. Hal ini terutama karena mereka terlalu memandang persoalan ketidakadilan sosial dengan pendekatan praktis tanpa mengkaitkannya dengan program strategis. Suatu organisasi yang terlalu bersemangat menangani issu atau masalah kemiskinan, misalnya, dapat terjerumus menjadi organisasi sedekah (charity) belaka. Organisasi tersebut ibarat menolong bayi yang terapung di sungai yang melewati desa mereka setiap hari, tanpa mempertanyakan: mengapa ada orang membuang bayi mereka?

Namun banyak pula organisasi yang melihat masalah ketiakadilan sosial tetapi menanggapinya secara naif, yakni dengan menyalahkan korban ketidakadilan sosial itu sendiri (blaming the victims). Mereka beranggapan bahwa sistem dan struktur sosial yang ada selalu baik, tetapi masyarakat sendirilah yang tidak mampu menyesuikan diri ke dalam sistem dan struktur tersebut. Mereka menganggap para korban itu memang malas, lemah dan bodoh, tidak mampu berkompetisi. Atas dasar anggapan itulah mereka merasa dirinya perlu memberdayakan para korban yang lemah, miskin dan rentan dengan ‘mendampingi dan mendidik’ atau bahkan ‘membina’ mereka. Kalangan ini tidak pernah mempersoalkan ketidakadilan sistemik dan struktural yang sering kali tersembunyi di balik kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku.

Maka, melakukan advokasi sesungguhnya juga mempersoalkan hal-hal yang berada di sebalik suatu kebijakan, secara tidak langsung mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi di balik suatu kebijakan resmi. Oleh karena dalam setiap kebijakan atau ketentuan hukum selalu ada aspek budaya hukum (culture of law), maka advokasi juga tidak harus menjadi monopoli para pakar, kaum profesional dan aktivis saja. Organisasi rakyat, seperti kelompok tani atau nelayan yang berada di akar rumput, yakni mereka yang menjadi selama ini memang menjadi korban utama dari suatu kebijakan publik tertentu, justru harus menjadi bagian terpenting dari suatu aliansi advokasi. Dengan kata lain, advokasi mestinya memungkinkan dipergunakan oleh rakyat di tingkat akar rumput untuk memperjuangkan nasib mereka. Dengan demikian, advokasi boleh menjadi alat siapa saja yang ingin memperjuangkan perubahan kebijakan untuk tegaknya keadilan sosial.

*Mansour Fakih, dalam pengantar buku.


•Rehal buku: Mengubah Kebijakan PublikRoem Topatimasang, Mansour Fakih, dan Toto Rahardjo/ INSISTPress, 2005.