Potret Wajah Orang Maluku

POTRET WAJAH ORANG MALUKU*

MULANYA, buku berjudul Orang-Orang Kalah ini merupakan laporan hasil kajian awal yang diprakarsai Yayasan Sejati pada 1993. Kajian awal ini dilakukan agar diperoleh landasan kuat untuk merealisasikan program berperspektif budaya dan lingkungan hidup yang langsung menyentuh kebutuhan maupun kepentingan kelompok masyarakat tradisional/adat di Maluku.

Buku ini hasil laporan delapan orang, yang terdiri atas Pieter Elmas, Nus Ukru, Robby Teniwut, Soleman Ubro, Minggus Umbu Saza, Dudit Widodo, Erwin Panjaitan, dan Roem Topatimasang. Penerbitnya, INSISTPress dan Perkauman Pendidik untuk Keadilan Sosial (Perdikan), merupakan bagian dari upaya pengumpulan dana yang membantu kerja para relawan kemanusiaan. Perdikan tergabung dalam Himpunan Maluku untuk Kemanusiaan (Humanum), sebagai Jaringan Baileo Maluku, yang melakukan proses perdamaian dan pemulihan pascakerusuhan maupun konflik sosial di Maluku, 1999-2002.

Gelombang kerusuhan sosial yang melanda wilayah itu, terutama di Kota Ambon dan sekitarnya, dalam kurun waktu tersebut, merupakan fenomena unik. Selain karena masa berlangsungnya yang nisbi cukup lama, juga sifatnya yang sulit diduga dan sangat rumit karena semakin tidak jelas ujung pangkal maupun para pelaku yang sesungguhnya.

Uniknya lagi, daerah ini pernah tercatat sebagai provinsi paling aman dan tenang, bahkan paling rukun. Namun, selama rezim otoriter militer Orde Baru, justru menimbulkan banyak kerusuhan sosial berskala masif di banyak daerah lain. Misalnya di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua.

Kerusuhan berskala kecil dan sporadis, seperti perkelahian antarkelompok atau antarkampung, memang banyak terjadi di Maluku selama masa tersebut. Cuma, selalu bisa terkendali karena tak sampai berskala luas dan berjangka lama, sebagaimana yang terjadi pada 1999-2002. Karena itulah, mungkin, banyak sekali orang yang kaget, bingung, dan sulit mengerti, mengapa daerah Seribu Pulau ini ketika meledak sekali saja seakan tidak pernah berhenti.

Padahal, daerah yang terdiri atas 1.028 pulau kecil maupun besar itu nyaris tanpa pergolakan politik serta sosial yang panas selama sekian puluh tahun. Ada banyak pula analisis yang mencoba mengurai benang kusut kerusuhan sosial di Maluku ini. Dari yang mengajukan teori ketidakpastian dan keguncangan masa transisi, dampak krisis berkepanjangan, memudarnya ikatan kekerabatan tradisional, persaingan elite kekuasaan lokal, sampai persekongkolan jahat. Semua analisis itu memberi kita banyak masukan yang patut dicermati. Tetapi, sangat sedikit yang menyediakan uraian konteks latar belakang secara memadai dan rinci. Buku setebal 243 halaman ini termasuk yang mampu mengisi kekurangan tersebut.

Karena ditulis cukup lama sebelum kerusuhan (1993), buku yang terdiri atas 10 kisah itu memang bukan secara khusus maupun langsung berisi analisis mengenai kerusuhan sosial di Maluku pada 1999-2002. Namun, kumpulan kasus di dalamnya memuat uraian konteks sejarah politik, ekonomi, maupun budaya lokal Maluku dengan manfaat memahami berbagai kemungkinan akar konflik yang selama ini nampak samar-samar atau kabur. Istilahnya, kata Franz Magnis Suseno selaku panelis utama laporan tersebut dalam seminar di LIPI, memang sengaja disamarkan dan dikaburkan.

Buku yang disertai foto wajah orang-orang Maluku ini menganggap wajah penduduk Maluku sebagai potret masyarakat yang kalah. Mereka menjadi pecundang akibat tragedi sejarah. Oleh para penulis, digambarkan, betapa orang-orang Maluku telah menjadi korban tombak bermata tiga atau trisula yang ditusukkan duet modal dan kekuasaan politik.

Ketiga ujung tombak itu, pertama, terdiri atas investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan menguras kekayaan sumber alam (hutan, tambang, maupun laut) demi akumulasi modal. Kedua, sebagai proses depolitisasi lembaga dan organisasi rakyat demi pemusatan kekuasaan. Ketiga, penjinakan para penghuni rimba melalui pemaksaan dunia.

Dan sekarang, melalui agama-agama sekuler baru, yakni negara, bangsa, dan pembangunan ekonomi. Tentu saja, trisula itu ampuh sekali. Maka, jadilah orang-orang Maluku kalah dan takluk.

Buku dengan layout yang sedemikian rupa enak dibaca ini diharapkan bisa membantu kita untuk memahami lebih baik, apa yang sesungguhnya terjadi dengan saudara-saudara kita di Maluku, yang seperti kata PM Laksono dalam pengantarnya, “Menggambarkan keadaan atau wajah kita semua selama ini”.

*Pengulas: Nerma Ginting | Versi cetak artikel ini pernah terbit di Harian Media Indonesia – 20 April 2005.

*Rehal buku: Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku/ Roem Topatimasang (ed.)/ INSISTPress, 2004.