Berkelana Meretas Tradisi Asing*
Kalau Anda ingin tahu banyak tentang perbedaan tradisi Indonesia dengan Eropa, simaklah cerita berjudul “Pertama Kali ke Eropa”, “Danau Zug” dan “Bersepeda Keliling Amsterdam.” Dalam tiga esai ini kita akan tahu benar bahwa ternyata budaya tidak mengenal kelas.
MENGUNJUNGI negeri jauh? Siapa yang tak menginginkannya. Di sana ada bayangan tentang segala sesuatu yang tak ada dalam lingkungan kita. Segalanya yang unik, seperti kondisi tanah, pepohonan, bebatuan, tradisi masyarakat, bahasa, hingga warna kulit tubuh manusia yang berbeda. Semuanya membuat kita serasa menemukan dunia serba lain.
Pulang kembali ke kampung halaman, kisah tentang negeri lain akan menjadi oleh-oleh yang paling berharga bagi sanak keluarga. Sayangnya, hanya sedikit orang yang bisa melancong ke berbagai negara. Beruntunglah Sigit Susanto, 43 tahun, orang asli Kendal Jawa Tengah yang kini bermukim di Swiss.
Mungkin, kesan kita akan sebuah kisah perjalanan cenderung negatif? Catatan personal seseorang yang subyektif ditulis tanpa mutu jurnalisme. Sering kita menjadi bosan karena banyak tulisan perjalanan yang sifatnya bualan.
Nah, buku ini berkebalikan dari yang konvensional, karena didukung oleh gaya penulisan jurnalisme yang baik dan bermutu. Maklum, penulisnya adalah seorang sastrawan. Sigit berhasil memotret banyak hal tentang negeri-negeri lain melalui perspektif keilmuan memadai, terutama dalam bidang sejarah dan budaya.
Buku ini tidak hanya mengabarkan tentang negeri orang yang sudah banyak kita tahu melalui media cetak maupun elektronik. Simaklah kisah tentang negeri Kuba dalam tulisan “Che Masih Hidup di Kuba”. Tulisan yang panjangnya 28 halaman ini benar-benar memberikan tentang kesaksian Kuba yang lain kepada kita.
Kuba selama ini kita pahami sebagai negeri komunis yang masih tegak berdiri. Kekuasaan absolut Fidel Castro menjadi benteng utama kekuatan Kuba menghindari globalisasi. Di satu sisi orang melihat betapa hebatnya Kuba, namun di lain pihak Kuba adalah negeri miskin yang sudah masuk kategori gawat-darurat. Entah sampai kapan orang Kuba harus rela perutnya kenyang oleh “makanan” bernama ideologi.
Hal yang unik dari pemaparan Sigit adalah tidak melalui perspektif kapitalisme yang cenderung sinis melihat fenomena kemiskinan negeri komunis. Dia tidak tendensius merendahkan negeri komunis. Tulisannya hanya ingin mempertanyakan bagaimana mungkin komunisme bisa berjaya kalau suatu negeri terus dalam kondisi serba terbelakang?
Pemahaman Sigit tentang ideologi sosialisme nampaknya cukup banyak membantu memecahkan antara kontradiksi teori dengan fakta. Dalam teorinya memang sosialisme tidak anti kemajuan. Itu benar. Hanya saja, faktanya negeri sosialisme seperti Kuba ternyata tidak bisa membuktikan sebagai negeri inovatif dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan. Malah, negeri komunis Cina yang kini bergeser ke arah kapitalisme kedigdayaan ekonomi dan inovasi teknologinya semakin diperhitungkan dunia.
Tulisan lain yang tak kalah menarik adalah “Ziarah ke Makam Mbah Karl Marx di London.” Soal kuburan Marx, kuburan Walisongo atau kuburan siapapun tentu tidak butuh banyak ulasan, toh isinya cuma prasasti. Namun kunjungan Sigit di Makam dan Museum Karl Marx, serta berbagai wawancara dengan orang-orang “khusus” tentang Karl Marx sangat penting kita baca. Sigit mendapat banyak hal yang belum terungkap dari sisi lain kehidupan Karl Marx. Seperti kisah perselingkuhan Marx dengan si Jelita Jenny, atau tentang sikap humanisme Marx terhadap anak-anak kecil selama bermukim diLondon.
Cerita lain tentang dunia sastra dan budaya dari negeri-negeri lain akan mubazir jika tidak dibaca. Sikap konsisten menerapkan penulisan naratif reporting menyiratkan bahwa Sigit adalah seorang penulis ambisius yang tak pernah puas oleh satu informasi atau penjelasan konvensional.
Sekalipun data tentang sebuah negeri sudah ia pahami secara akurat, Sigit masih harus mengkonfrontasikan dengan kenyataan di lapangan. Lazimnya bekerja model jurnalisme, ia telisik setiap lorong-lorong negeri dengan insting jurnalisme investigatifnya. Bukti dari tulisan itu bisa kita simak pada beberapa tulisan “Sahara dan Oase di Tunisia”, “Vanesia Surga Sastrawan Dunia”, “Jejak Suku Maya di Meksiko”, dan “Shakespeare & Co di Paris.”
Kalau Anda ingin tahu banyak tentang perbedaan tradisi Indonesia dengan Eropa, simaklah cerita berjudul “Pertama Kali ke Eropa”, “Danau Zug” dan “Bersepeda Keliling Amsterdam.” Dalam tiga esai ini kita akan tahu benar bahwa ternyata budaya tidak mengenal kelas. Kesan Eropa berbudaya lebih unggul ketimbang Asia tidak dibenarkan oleh Sigit. Sering kita mendengar cerita dari rekan-rekan kita tentang Eropa yang konon lebih beradab ketimbang Indonesia. Bahkan orang kita yang sudah pernah mukim di Eropa seringkali merendahkan budaya Indonesia. Tak jarang mereka lebih memilih hidup dengan gaya bule_suatu fenomena yang kita kenal sebagai “penyakit inlander”.
Di sinilah menariknya pandangan seorang Sigit Susanto, seorang anak kampung yang tidak berubah menjadi kampungan, gara-gara hidup di negeri yang lebih maju dari segi peradabannya.
Kalau ada kekurangan dalam buku ini mungkin kekurangan foto. Beberapa foto yang dimuat terlalu sedikit, sehingga kurang memiliki nilai “jurnalisme-visual”. Lain dari itu, Sigit juga tidak memasukkan esai tentang beberapa negeri di Timur Tengah, terutama Arab yang pernah ia singgahi.
Hal ini jelas perlu diuraikan, mengingat tradisi Arab masih belum mendapat kajian yang seimbang di Indonesia. Salah satu ketidakseimbangan adalah hegemoni pemamahan bahwa Arab identik dengan Islam. Kita butuh perspektif lain dari seorang budayawan yang gemar melancong seperti Sigit.
*Faiz Manshur. Lansir dari: Banjarmasin Post – 9 April 2006.
*Rehal buku: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan/ Sigit Susanto/ Puthut EA (penyunting)/ INSISTPress, 2005.