Perjalanan Mengenal Negeri Asing*
Kehidupan negeri asing memang selalu menarik untuk dikenal. Dengan mengenal yang asing, kita bisa belajar tentang realitas dunia yang plural. Lebih dari itu, kita bisa menyerap hal-hal yang baik dari orang lain dan menyadari kekurangan yang ada pada diri kita.
Hadirnya buku ini nampaknya akan memberi banyak manfaat dari kita dalam mengenal negeri orang lain melalui cara yang khas, pandangan seorang Indonesia. Latar belakang pemahaman Sigit tentang sejarah dan kebudayaan yang cukup baik membuat buku ini terasa padat oleh wacana keilmuan. Di dalamnya membuat 16 esai popular hasil reportase wisata Sigit dan Claudia, istrinya, ke berbagai negara selama sepuluh tahun terakhir ini.
Esai-esai yang ditulis Sigit memberikan kesaksian tentang seorang Indonesia yang kritis dalam menilai suatu kebudayaan masyarakat lepas dari jebakan isme-isme. Lebih dari itu, penulis juga mampu memberikan pemahaman yang objektif tentang masa lalu sebuah bangsa dan persoalan budaya masa kini.
Bagi kita yang hidup dalam kultur bangsa dunia ketiga, ada banyak hal yang asing tentang Eropa. Namun, yang asing tidak identik dengan kebencian, tidak juga membuat seorang Indonesia seperti penulis, terhipnotis oleh magnet modernisasi yang berkembang pesat di di sana.
Cara pandang Sigit yang objektif melihat kebudayaan asing membuat tulisan ini tidak sekadar bualan. Penulis tidak berangkat dari keterpesonaan, melainkan melihat sesuatu sebagai hal ‘yang perlu ia selidiki’. Jauh-jauh hari sebelum perjalanan dilakukan, Sigit sudah merencanakan proses kerja lazimnya seorang jurnalis.
Hasilnya, liputan tentang negeri-negeri Eropa tersebut nampaknya berhasil memenuhi dahaga dunia perbukuan Indonesia yang masih tergolong miskin tulisan tentang kisah perjalanan. Hal ini tercermin dari gaya khas Sigit dalam memandang suatu kebiasaan hidup masyarakat Eropa dengan kebisaan orang Indonesia sebagai sesuatu yang lumrah. Tak ada hal yang perlu diunggulkan atau direndahkan dalam sebuah tradisi kehidupan.
Negara Eks-Komunis
Yang mungkin paling berharga dari Sigit adalah tentang kisah negara-negara eks-komunis di Eropa seperti Bulgaria, Polandia, Rusia, dan Hongaria. Penuturan Sigit dalam buku ini akan membuka mata bagi kita, khususnya orang-orang yang masih pro gerakan kiri.
Khusus tentang tulisan “Makam Mbah Marx,” agaknya patut mendapat perhatian khusus. Dalam tulisan ini, memuat hal-hal yang selama ini tidak kita ketahui pun dari buku-buku marxisme yang beredar di Indonesia. Sigit telah membuka tentang “yang lain” dari Marx, Marxisme, dan Komunisme.
Di benua Amerika Latin, Sigit pernah mengunjungi Kuba selama dua minggu, 6-21 Maret 2000, dan Meksiko selama dua minggu juga, 15-30 November 2003. Tulisan panjang “Che Masih Hidup di Kuba”(hlm 38-36) mengesankan ambisi Sigit untuk mengetahui secara mendalam seluk-beluk kehidupan negeri komunis yang kini masih dikuasai diktator Fidel Castro.
Secara keseluruhan tulisan ini nampaknya sebagai jawaban tentang rasa penasaran Sigit ingin menguji teori komunisme dengan kenyataan komunisme Kuba. Reportasenya kental dengan pertanyaan-pertanyaan khas orang kiri yang berharap mendapat jawaban secara objektif.
Hasilnya? Komunisme dalam teori dan kenyataan di Kuba sangat kontradiktif. Kuba lebih membuktikan sebagai negeri yang gagal dalam mewujudkan kemakmuran. Namun, Sigit tidak lantas memanipulasi kenyataan Kuba hanya untuk menutupi kebobrokan paham komunisme yang sampai kini masih disanjung-sanjung anak-anak muda berpaham kiri.
Tiga tahun kemudian Sigit masuk ke negeri Meksiko. Seperti kebanyakan orang Indonesia yang mengenal Telenovela Kasandra, Maria Mercedes, penyair Octavio Paz, atau tentang kemeriahan pesta olahraga negeri ini, Sigit tergerak untuk lebih mendalam melihat sisi kebudayaan beberapa suku-bangsa di Meksiko.
Dalam hal agama, orang Meksiko tergolong religius. Namun, pemerintahannya menganut politik sekuler, tidak mencampuri urusan keagamaan rakyatnya. Kesan Sigit terhadap orang Meksiko adalah, “mereka bukan tipe orang kagetan dan kagum pada pendatang atau pelancong asing. Tidak seperti orang Asia yang sering kagum dengan pelancong Eropa” (hlm 256). Karena perbedaan inilah, Sigit menduga orang Asia dibuat kagum, setidaknya merasa aneh dengan fisik orang Eropa.
Sebagai seorang penulis yang mempunyai minat tinggi terhadap masalah kebudayaan, Sigit menguraikan kisah perjalanannya melalui cara yang khas. Ia tuliskan setiap perjalanannya dalam bentuk esai populer. Penerapan metode jurnalisme investigatif membuat tulisan data-data di dalamnya akurat dan berimbang.
Secara umum, isi tulisan dalam tiap-tiap esai pada buku ini menjelaskan fenomena kebudayaan, sastra, agama, politik, klenik, makanan, seks dan beberapa hal yang dianggap perlu dibaca khalayak.
*Siti Nur Aryani, pencinta kisah perjalanan, tinggal di Jakarta. Sumber: Suara Pembaruan – 17 Mei 2006.
*Rehal buku: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan/ Sigit Susanto/ Puthut EA (penyunting)/ INSISTPress, 2005.