Jalan-Jalan di Negeri Asing

Jalan-Jalan di Negeri Asing*

Melancong ke negeri seberang menjadi impian banyak orang. Apalagi jika perjalanan itu melulu untuk kepentingan wisata. Lain, jika seseorang ke negeri seberang untuk mencari sesuap nasi, dengan pengalaman pahit getir kehidupan. Kalaupun ada pengalaman manis tentu itu hanya sebagai “pemanis” pengalaman. Salah satu orang yang punya pengalaman menyenangkan itu adalah Sigit Susanto, 43, penulis buku Menyusuri Lorong Lorong Dunia ini.

Buku ini berisi kisah perjalanan Sigit Susanto di berbagai negara. Serangkaian perjalanan panjangnya dikemas dalam tulisan berbentuk esai populer, kemudian disatukan menjadi buku yang memuat 16 kisah perjalanannya.

Sigit Susanto adalah pemuda asal Kendal, Jawa Tengah, yang kini menetap di Swiss. Sebelumnya, ia berprofesi sebagai pemandu wisata (guide) di Bali selama tujuh tahun. Perkenalannya dengan perempuan Swiss, Claudia Beck, mengantarkan dirinya hingga bisa tinggal di Swiss.

Pasangan Sigit dan Beck termasuk gemar melancong, terutama pada tiap musim liburan. Dalam berbagai pengalaman pelancongannya itulah yang kemudian dituangkan dalam tulisan. Dia banyak memotret kebudayaan masyarakat di negara yang disinggahinya. Esai-esai di bawah ini membuktikan kuatnya bobot penulisan Sigit dalam memotret kebudayaan negeri-negeri Eropa melalui cara pandang ke-Indonesiaan-nya.

Simak ceritanya tentang “Pertama Kali ke Eropa”, “Danau Zug”, “Bersepeda Keliling Amsterdam”, “Pulau Ischia”, “Ziarah ke Makam Kafka”, “Hotel Trotoar”, “Membelah Bulgaria”, “Goethe dan Strasbourg”, “Vanesia Surga Sastrawan Dunia”, “Jalan-Jalan ke Roma”, “Dari Leningrad ke Moskow”, “Makam Mbah Marx”, dan “Shakespeare & Co di Paris”.

Karya-karyanya tidak hanya memuat pengalaman personal Sigit, melainkan memberikan satu pemahaman yang baik tentang Eropa. Melalui kerja penulisan jurnalisme investigatif, Sigit menyajikan ulasan data, fakta, dan sumber informasi yang akurat dan berimbang. Lain dari itu, pandangan kritis Sigit tentang modernitas di Eropa membuat kita mengenal lebih arif kebudayaan orang lain. Kalau selama ini kita memandang Eropa sebagai puncak kemajuan dan surga modernitas, Sigit berupaya menunjukkan Eropa dari sisi yang wajar dan berimbang. Alhasil tulisan ini tidak sekadar pamer perjalanan indah tentang gegap-gempitanya negeri orang, tetapi juga banyak memberikan “mata pelajaran” yang baik tentang kebudayaan, sastra, politik, dan gaya hidup masyarakat yang disinggahi Sigit.

Kisahnya tentang “Makam Mbah Marx”, misalnya, cukup banyak informasi baru yang belum banyak diketahui orang Indonesia. Tulisan ini membuka pemahaman yang lebih mendalam dan kritis tentang sisi gelap kehidupan Karl Marx dan Federick Engels, termasuk tentang ajaran komunime dan marxisme. Tak lupa Sigit juga menggambarkan sisi kepribadian humanis Karl Marx dalam esainya ini.

Di Benua Amerika Latin Sigit sempat mengunjungi Kuba (6-21 Maret 2000), dan Meksiko (15- 30 November 2003). Tulisan naratif tentang kehidupan masyarakat Kuba dalam “Che Masih Hidup di Kuba” (hlm. 38-36) banyak membuka pemahaman kita tentang budaya negeri komunis tersebut. Reportase Sigit juga memberikan kesaksian riil tentang kondisi ekonomi, pendidikan, relasi sosial, dan politik masyarakat Kuba. Kisah ini seolah-olah menjadi wacana tanding tentang anggapan orang-orang kiri Indonesia yang sampai sekarang masih percaya bahwa Kuba adalah negeri ideal komunisme.

Di Kuba, tulis Sigit, bukanlah masyarakat tanpa kelas yang terwujud, melainkan kemelaratan. Kecuali pejabat negara, rakyat Kuba dalam kondisi kemiskinan ekonomi dan kemiskinan perspektif. Tak ada kebebasan di bawah kekuasaan Fidel Castro. Upaya menciptakan kehidupan tanpa globalisasi membuat Kuba terperosok dalam krisis multi-dimensi yang akut. Singkatnya, dari Kuba yang lebih tampak sebenarnya bukan pelajaran kesuksesan komunisme, melainkan justru tentang kegagalan paham ideologi itu.

Di Meksiko, Sigit melihat fenomena negara dunia ketiga yang banyak berbeda dengan negara-negara Asia. Dalam hal agama, misalnya, orang Meksiko tergolong religius seperti Indonesia. Bedanya, pemerintah Meksiko tidak ikut campur-tangan dalam urusan agama warganya.

Kesan Sigit terhadap orang Meksiko adalah “mereka bukan tipe orang kagetan dan kagum pada pendatang atau pelancong asing. Tidak seperti orang Asia yang sering kagum dengan pelancong Eropa. Mungkin karena pelancong Eropa rata-rata punya postur jangkung, berhidung mancung, berkulit putih, serta berambut pirang” (hlm. 256).

Di Afrika, Sigit merekam kebudayaaan, perilaku, dan kondisi negara Tunisia secara mendalam. Di negeri padang pasir ini Sigit menjelaskan banyak hal tentang ke-Islaman orang Tunisia. Sekalipun Tunisia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim, banyak hal yang berbeda dengan kondisi di Indonesia. Tulisan ini sangat berharga untuk mengenal pluralisme dan sikap keberagamaan orang Tunisia yang tidak dogmatis dalam menyerap ajaran agama (Islam).

Kehadiran buku ini tampaknya perlu diapresiasi lebih mendalam. Apalagi di Indonesia buku-buku mengenai sejarah, kebudayaan, dan tradisi kehidupan negeri asing sangat jarang dijumpai. Kalaupun ada, isinya kurang lengkap. Nah, buku ini bisa menjawab kekuranglengkapan itu.

*NoorHany Pramuditta, Mahasiswa UNIKA Sugiopranoto Semarang. Sumber: Harian JAWA POS – Minggu, 11 Juni 2006.

*Rehal buku: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan/ Sigit Susanto/ Puthut EA (penyunting)/ INSISTPress, 2005.