Membaca Nani, Membaca Kehidupan

Membaca Nani, Membaca Kehidupan*

Menurut Puthut EA, penulis buku ini, setiap orang penting. Karenanya setiap orang itu mempunyai sejarah dan pengalaman, dan semua itu adalah bahan yang tak terbantahkan sebagai anasir-anasir kehidupan. Juga, secara politis, pengalaman setiap orang adalah sebuah versi tentang kebenaran (hal 188). Nah, dengan semangat itulah buku biografi ini ditulis.

Buku ini tidak berkisah tentang dongeng para bintang, juga bukan tingkah polah para elite politik dan pejabat birokrat, serta jauh dari sepak terjang, para selebritas sebagaimana umumnya buku biografi ditulis. Sebaliknya, buku ini berkisah tentang kehidupan seorang perempuan yang telah melewatkan waktu dua puluh tahun lebih untuk bekerja di lipatan tanah dan di pinggiran sejarah. Ia bersama ribuan perempuan miskin terus bergerak melawan kemiskinan dan ketidakadilan. Karenanya warna kehidupannya tidak selalu molek dan gemerlap, tapi kadang penuh debu dan suram.

Nani Zulminarni, itulah nama perempuan itu. Telah 20 tahun dia menekuni kerja pengorganisasian masyarakat. Ia begitu kaya dengan pengalaman lapangan. Setidaknya dalam rentang kerjanya yang panjang itu, ia telah menahkodai dua lembaga besar nasional yang bekerja di tingkat akar rumput, yakni Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) dan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Ia juga pemah menjabat sebagai ketua badan pengurus Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASSPUK).

Sementara di tingkat regional dan internasional, Nani tercatat sebagai anggota dewan eksekutiif Asian South Pasific Bureau for Adult Education (ASPBAE). Ia juga merupakan anggota komite eksekuitif South East Asia Popular Communication Programmes (SEAPCP). Nani juga menjadi anggota anggota Just Associate (JASS) sebuah jaringan aktivis berkantor pusat di Washington dan anggota Social Watch Network, yang bertugas dan memonitor berbagai program penanggulan kemiskinan yang dijalankan di negara asal anggota. Pengalamannya terentang dari pendamping lapangan, peneliti, direktur, konsultan, sampai fasilitator (hal 8).

Semua jabatan itu tak diraihnya dengan jalan lempang. Banyak onak dan duri yang menjadi rintangan perjalanan hidupnya. Bukan hanya rintangan internal seperti keluarga, suami, dan anak. Melainkan juga rintangan eksternal dan yang paling mencolok adalah politik. Tapi—meminjam pernyataan Darwin—bukan yang kuat, melainkan yang paling adaptiflah yang bisa bertahan hidup. Nani salah satu di antara manusia adaptif itu.

Betapa tidak, perjalan hidup Nani berada dalam bayang-bayang Orde Baru yang amat tidak ramah terhadap perempuan. Artinya dominasi laki-laki dalam kepemimpinan amat sulit ditembus. Pasalnya orde ini menilai politik kaum perempuan adalah ancaman. Fantasi yang paling sering diembuskan adalah klimaks Gerakan 30 September 1965. Nani terbukti berhasil melalui semua itu.

Apa resepnya? Filosfi air. Nani menjalani kehidupan ibarat air. Mengalir. Terjadilah apa yang akan terjadi. Ia menjatuhkan seluruh keinginan dan bayangannya tentang hidup yang sejahtera di tanah kenyataan. Air yang mengalir menuju dataran yang paling rendah, menuju tanah kehidupan yang sesungguhnya (hal.53).

Itulah mengapa ketika keputusan Nani berjilbab di saat kontorversi berjilbab menjadi isu hangat tak menyurutkan niatnya. Meski dia akhimya kesulitan mencari kerja. Tapi kegigihannya itu yang justru membawanya ke PPSW dari situlah perjalanan politiknya dimulai. Pun ketika, Nani dituding menikam dari belakang atas kepemimpinan Chamsiah Djamal di PPSW, dia menghadapinya dengan tegar. Dia ikuti arus ibarat air. Bahkan perceraiannya dengan Sambas, sang suami, tak membuatnya goyah. Dia terus meniti kehidupan. Seperti air yang mengalir.

*Nurfa Rosanti, Guru SMP Sampang, Madura. Sumber: Harian Surya – Minggu,  25 November 2007, hal 23.

*Rehal buku: Jejak Air: Biografi Politik Nani Zulminarni Penulis: Puthut EA Penerbit: INSISTPress, 2007.