Sejarah Panjang Pendidikan Indonesia

Sejarah Panjang Pendidikan Indonesia*

Dulu, bermacam sanjungan dan penghormatan terlimpah kepada seseorang guru. Dalam tubuh masyarakat, posisi guru bukan saja sebagai profesi berkelas atau strata sosial berkelas, namun juga di-elu-elu sebagai tokoh sosial yang dianggap memiliki kemampuan di atas rata-rata, bahkan lebih.

Sayangnya, meski sampai saat ini gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” masih menempel, nasib tak selamanya berpihak pada kaum akademis ini. Kini, guru mulai menuai banyak kritik bernada sinis. Entah kenapa, kredibilitas guru sebagai pendidik sayup-sayup mulai diragukan. Keluh kesah kekecewaan masyarakat terhadap kinerja guru-guru kita yang makin mengkristal.

Ada apa dengan guru? Kenapa persepsi terhadap insan penebar pengetahuan tersebut kini mulai diragukan kemampuan dan pengetahuannya. Tentu fenomena guru yang demikian ini sangat berkaitan sekali dengan lembaga yang selama ini menghasilkan para guru, yakni lembaga pendidikan guru. Inilah tesis yang melandasi Mochtar Buchory untuk menulis buku ini. Melalui buku yang berjudul “Evolusi Pendidikan di Indonesia, Dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998”, Buchory ingin melacak perkembangan “profesionalisasi” lembaga pendidikan guru di Indonesia.

Watak lembaga pendidikan guru di Indonesia memang sering berubah. Misalnya Lembaga pendidikan guru pada zaman Hindia Belanda tentu berbeda dengan zaman Jepang, demikan pula pada zaman kemerdekaan.

Lembaga pendidikan guru yang pertama kali ada di Indonesia didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, yakni Kweekschool (1852). Sedangkan yang pertama kali didirikan oleh pemerintah Indonesia ialah IKIP (Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan) pada tahun 1954. Secara kelembagaan IKIP boleh jadi mandiri, namun dalam praktiknya masih banyak diwarnai pola-pola sistem pendidikan kolonial.

Sayangnya, Buchory tidak banyak mengkritisi dinamika Kweekschool. Barangkali, usaha ini cukup tepat mengingat ia hanya ingin menggambarkan konteks awal-mula lembaga pendidikan guru di Indonesia. Dengan memahami sistem awal pendidikan Hindia Belanda, kita akan mengetahui sisa-sisa sistem pendidikan kolonial yang masih mengakar hingga sekarang. Buchory patut diapresiasi karena telah berhasil memetakan belantara dunia pendidikan guru di negeri ini.

Selama kurun waktu 126 tahun, telah banyak perubahan yang dialami lembaga pendidikan guru. Sebagai cikal bakal, Kweekschool telah banyak melahirkan beragam sistem pendidikan guru. Dua perubahan yang berlangsung pada periode ini (1850-an), yaitu perkembangan horisontal dan vertikal. Pada perkembangan horisontal, muncul pendidikan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) khusus calon guru. Sementara pada arah vertikal, lahir SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) untuk fungsi yang sama.

Perkembangan selanjutnya semakin kompleks. Lebih-lebih ketika muncul lembaga pendidikan yang bersifat segregatif secara rasial, etnis dan sosial-ekonomis. Masing-masing merasa perlu untuk menyediakan tenaga pengajar dari kalangan sendiri. Itu sebabnya, lahir pula lembaga pendidikan guru yang bersifat eksklusif. Ketika kemudian Jepang menduduki Indonesia, terjadi penyederhanaan besar-besaran. Kebijakan Dai Nippon menyebabkan heterogenitas itu melebur.

Untuk fase paska kemerdekaan, Buchory membagi rentang waktu sistem pendidikan menjadi empat periode secara arbitrer berdasarkan semangat zaman. Pertama, periode 1945-1949. Ia menyebutnya sebagai periode rehabilitasi sistem pendidikan. Selama masa ini, kebanyakan usaha yang dilakukan adalah memulihkan kembali sistem pendidikan guru yang selama masa Jepang telah mengalami penyederhanaan.

Kedua, periode 1950-1965, sebagai periode ekspansi sistem pendidikan guru. Usaha yang banyak dilakukan dalam kurun waktu ini ialah penambahan sekolah-sekolah guru di seluruh Indonesia, yakni mulai dari sekolah guru paling bawah (Kursus Pengantar untuk Pengantar Kewajiban Belajar) sampai jenjang perguruan tinggi (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru / IKIP).

Ketiga, periode 1966-1983, sebagai periode modernisasi pendidikan guru. Perbaikan yang terjadi pada periode ini lebih difokuskan untuk memutakhir-kan (updating) kondisi pendidikan guru, misalnya pembaharuan metode-metode pembelajaran terbaru beserta penambahan perlengkapan teknologi. Melalui langkah inilah Indonesia berusaha mengejar ketertinggalan dari Negara-negara tetangga, terutama Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filippina.

Terakhir, keempat, 1984-1998, sebagai periode ambivalensi. Penting untuk dicatat, bahwa selama periode ini, lembaga pendidikan guru (IKIP) menghadapi keraguan-raguan mengenai identitas dirinya. Saat itu, lembaga pendidikan guru seolah terbelah menjadi dua, yakni identitas sebagai perguruan tinggi yang bertugas mengembangkan disiplin keilmuan tertentu (seperti matematika dan sosiologi) atau sebagai kawah candradimuka calon-calon guru baru belaka.

Di satu sisi, IKIP ingin memiliki kapasitas untuk mengembangkan disiplin keilmuan, namun di sisi lain terbentur statusnya yang masih institut. Ambivalensi ini juga dipicu keinginan untuk menyetarakan gengsi akademik dengan Universitas. Sejak itulah banyak institut bermetamorfosa menjadi Universitas. Harapan dari perubahan ini, selain menambah penghargaan masyarakat, juga lembaga ini akan lebih yakin dalam mempersiapkan guru, serta mengembangkan pengetahuan.

Namun kenyataannya, konsep universitas ini akhirnya membuat kompetensi lembaga pendidikan guru makin kabur dan ruwet (complicated) . Akibatnya, banyak keluhan masyarakat mengenai kelemahan-kelemahan guru sekolah. Hingga kini, kekaburan konseptual mengenai makna kompetensi guru ini masih belum teratasi.

Segenap langkah telah dilakukan, namun lembaga pendidikan guru tak juga mampu menjawab tantangan zaman, apalagi menghasilkan kemajuan. Semua usaha yang pernah dilakukan hanya mewariskan persoalan baru, misalnya penurunan mutu dan kinerja guru.

Persoalan juga muncul ketika heterogenitas sosial dan cultural masyarakat yang disikapi dengan pola yang sama. Berbeda dengan dulu, dulu setiap guru ditempatkan pada sekolah yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Setelah format pendidikan sekolah Indonesia diseragamkan, persoalan yang dulu telah teratasi tersebut kini malah mencuat.

Beberapa faktor kemunduran yang lain, misalnya tidak adanya parameter untuk mutu guru, ke-ruwetan birokrasi, kurikulum maupun buku ajar yang berubah-ubah, dan beragam persoalan lain. Namun yang paling sering dikemukakan ialah faktor kesejahteraan materiil. Sabenarnya kompleksitas persoalan kemunduran guru masih banyak, dari beberapa sudah disebutkan diatas, masih ada factor yang lain.

Dengan sejarah panjang yang demikian, dapatkah kita mereka-reka unsur inti dari kemampuan mengajar bagi guru-guru kita masa depan. Kita perlu mengapresiasi pemetaan system pendidikan yang dilakukan Buchori, sebab selain bisa memberikan gambaran perjalan panjang dunia pendidikan, juga bisa kita jadikan acuan untuk melangkahkan system pendidikan kita kedepan.

Akhirnya, Buchory berpesan, Perjuangan perbaikan pendidikan bukanlah milik satu generasi, juga bukan kewajiban pemerintah saja. Persoalan ini hanya akan bisa diselesaikan secara berangsur-angsur apabila setiap generasi turut menyumbang solusi baik bersifat konkrit maupun konseptual.

*Rifqi Muhammad | Sumber: rifqiblog.wordpress.com – 23 April 2008.

*Rehal buku: Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998/ Mochtar Buchori/ INSISTPress, 2007.