Imaji Modernitas Andrea Hirata

Imaji Modernitas Andrea Hirata*

Usai saya membaca buku kritik sastra ini, selongsong rasa tak percaya sontak menyergap, “Mengapa novel-novel Laskar Pelangi kok sampai digandrungi ‘banyak’ orang?” Padahal, bila merujuk pemaparan buku ini, imaji tentang modernitas dalam karya Andrea Hirata itu terasa sesak. Imajinasi yang panjang dan detail ihwal “menjadi” manusia modern: lewat tokoh Ikal yang mendaki cita-cita dari tangga pendidikan formal, kuliah di perguruan tinggi yang sebaik-baiknya yakni di Eropa, keliling ke sudut-sudut Eropa sampai Afrika, lengkap dengan idealisasi profesi sebagai karyawan sebuah perusahaan negara.

Anehnya, lantaran larut menanggapi isi buku ini, saya pun merasa didesak keingingan untuk segera membaca-tuntaskan novel pamungkas tetralogi Laskar Pelangi, Maryamah Karpov, yang diluncurkan akhir November lalu. Saya amat berhasrat mencari tahu, “Akankah Andrea masih mengimajinasikan kesuksesan orang yang diukur dari sekadar keberhasilannya merampungkan sekolah formal, lantas berprofesi cukup sebagai pekerja kerah putih? Bukankah kekeliruan ketika saking mudahnya kita tergelincir dalam arus modernitas semacam itu?”

Nurhady Sirimorok, penulis buku Laskar Pemimpi: Andrea Hirata, Pembacanya, dan Modernisasi Indonesia ini bersikap “menghakimi” novel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor. Dan tak luput pula Andrea Hirata sebagai pengarangnya. Nurhady merangkai kalimat-kalimat penghakimannya dalam bahasa dan nuansa tutur yang menggebu-gebu dan ekspresif.

Dalam kajian kritik sastra, Nurhady berpedoman pada orientasi ekspresif yang menilai karya sastra “sebagai ekspresi, luapan, ucapan hasil dari imajinasi pengarang, pikiran-pikiran, dan perasaannya” (Rachmad Djoko Pradopo, 1995). Ini mudah dibaca dari caranya melihat jauh-ke-dalam ke tiga novel tersebut. Ia amat bernafsu menerangkan tabiat khusus dan pengalaman-pengalaman Andrea, yang sadar atau tidak telah membukakan diri dalam karyanya.

Apalagi, sedari mula, sudah disiarkan oleh Andrea bahwa tetralogi Laskar Pelangi merupakan rekonstruksi pernak-pernik kehidupannya sejak dari bocah. Ini disiapkan bukan untuk diterbitkan, tapi “sekadar” bingkisan buat Bu Mus, sang pendidik bocah-bocah SD Muhammadiyah di Belitong. Andrea pun melukiskan dalam latar dan suasana yang inspiratif, sebagaimana benar-benar dirasakan oleh hampir seluruh pembaca fanatiknya.

Nah, mula-mula Nurhady menyusuri persepsi pembaca itu dari Internet: komentar-komentar di mailing list, blog, dan ruang-ruang laman yang lain (Bab 1 Komentar Pembaca sebagai Narasi). Ini merupakan teknik yang termudah dan mutakhir dalam menyusun bukti bagaimana kini sebuah karya sastra dipersepsikan oleh pembaca. Dan tentang Laskar Pelangi, Nurhady menyimpulkan (hlm. 24), “Begitu banyak orang yang terinspirasi, tergugah, termotivasi, dan memberi apresiasi yang luar biasa.”

Maka, tak mengherankan, Laskar Pelangi pun mencatatkan diri sebagai novel terlaris dalam sejarah penerbitan sastra di Indonesia. Merujuk Majalah Rolling Stone, sampai Agustus 2008, Laskar Pelangi telah terjual lebih dari 600.000 eksemplar. Angka ini masih akan terus merambat naik. Cukup menakjubkan. Dan lagi, “ledakan” Laskar Pelangi ini terjadi di tengah kelesuan penerbitan novel karya anak bangsa, atau malahan penerbitan novel pada umumnya.

Usai mengetahui persepsi pembaca, Nurhady memaparkan karakteristik pembaca novel Andrea. Pada Bab 2, yang berjudul Membayangkan Sejarah Pembaca Andrea, Nurhady terlampau melabrak hakikat penulisan kritik sastra. Ia sepenuhnya keluar dari pakem penulisan yang cukup menyoroti karya dan pengarangnya. Tapi, usai merampungkan bab ini, saya segera memahami bahwa hal itu semata-mata teknik supaya kita terbawa dalam konteks ruang-waktu masa Orde Baru, ketika bibit-bibit modernitas subur disemai di Indonesia.

Baru selanjutnya, di Bab 3 (Laskar Pelangi: Resep Menjadi Modern), Nurhady menguraikan kritiknya terhadap novel Laskar Pelangi. Dengan panjang lebar, ditunjukkannya bagian-bagian novel yang dinilainya aneh. Misalnya, bagaimana mungkin tokoh Lintang yang berusia sangat muda, baru sekolah dasar, begitu mahir dalam banyak bidang. Mulai dari astronomi, ilmu ukur, teori Isaac Newton dan Copernicus, teori dekomposisi tetrahedral, aksioma arah, teorema phytagoras, dan ilmu sejenisnya. Semua itu, bagi Andrea, adalah pendefinisian atas “ilmu”. Di sinilah, menurut pandangan Nurhady, Andrea telah salah kaprah membedakan antara “ilmu” dan “bukan ilmu”. Parahnya lagi, Laskar Pelangi jarang menyebut pengetahuan yang diperoleh para tokoh dari luar sekolah sebagai “ilmu”!

Tak cukup menyelami Laskar Pelangi, Nurhady lantas melakukan studi komparasi di Bab 4. Buku yang didedah adalah cerita anak karya Mansur Samin, Kuto Anak Desa Terasing, yang terbit pada 1994, masa ketika Orde Baru menghegemoni modernisasi di Indonesia. Baik di Kuto Anak Desa Terasing maupun Laskar Pelangi, Nurhady mendapati satu kemiripan gelagat: sama-sama menyebarkan modernitas di ranah pendidikan pada kelompok ”masyarakat terasing”. Menarik pula menyimak temuan Nurhady atas kemiripan kisah di bagian awal dan akhir dari narasi kedua pengarang.

Nah, di sinilah klimaksnya. Pada Bab Andrea Hirata Mundur Dua Abad, Nurhady seperti menyempurnakan kritiknya atas modernitas ala Andrea Hirata dengan pisau teori Orientalisme Edward Said. Sayang, sebagai bagian terpenting buku ini, keseluruhan tubuh tulisan ternyata banyak dibaca dan diperbincangkan di Internet jauh sebelum buku ini terbit. Dalam Bab 5, Nurhady baru menuliskan analisisnya secara khusus terhadap novel Sang Pemimpi dan Edensor dengan proporsi yang sangat sedikit (masing-masing halaman 140-146 dan 146-151). Barangkali ini pengaruh dari penerbitan keduanya yang mesti disunting sehingga kekacauan kronologi penuturan jarang ditemukan, tak seperti Laskar Pelangi (sekaligus Maryamah Karpov) di mana Andrea Hirata dibebaskan menulis, tanpa pengeditan yang ketat.

Sementara itu, di bab terakhir, Nurhady mengajak kita terlibat secara batin dalam proses kreatif buku ini. Di sebagian masa penulisan, dua minggu ia habiskan di sebuah desa di Makassar bernama Je’ne’ Tallasa’, yang berarti mata air. Dengan narasi yang ilustratif, ia seperti melukis kehidupan masyarakat setempat yang “perawan”, yang belum tergulung arus modernitas. Karena modern itu toh cuma cap. “Sebuah cap yang sudah sejak lama senantiasa menindas orang-orang yang menghalangi mimpinya…. Cap yang cenderung memulai dengan keserbatahuan dan keserbabisaan sebagaimana tokoh pujaan dalam Laskar Pelangi, Lintang. Cap yang terlalu memuja mimpi seperti Ikal,” demikian Nurhady, memungkasi isi bukunya ini.

Sekali lagi penting ditekankan, buku ini “menghakimi” tiga novel awal tetralogi Laskar Pelangi (sekaligus pengarangnya). Sungguhpun demikian, seperti dipesankan Puthut E.A. di sampul belakang buku, Nurhady hanya “meminjam” novel-novel Andrea untuk menjelaskan kerisauan hatinya.

“Nurhady berusaha membersihkan kacamata kita yang telah buram karena terlewat asyik menyimak pandangan-pandangan yang homogen.”

Singkat kata, buku ini adalah ungkapan vonis. Karena itu, ia sama kadarnya dengan kebanyakan orang yang “memvonis” Laskar Pelangi itu inspiratif. Di titik inilah, kepengarangan Andrea Hirata dilepas-bebaskan dari karyanya. Bukankah penjatuhan vonis atas setiap karya selalu jadi domain otoritatif pembaca? Begitupun, bila penghakiman Nurhady juga dipandang sebagai ketakberimbangan, baiknya kita tak usah gerah dan bermerah muka.

Sudah semestinya kita tak lagi membaca novel karena latah dan termakan konstruksi media, tapi hasrat ingin membuktikan penilaian atas sebuah karya. Dalam benak saya, keinginan menuntaskan Maryamah Karpov, misalnya, lebih karena keingintahuan, “Akankah imaji Andrea kembali terjebak pada kungkungan wacana modernitas?” Ini sebentuk dorongan yang sekurang-kurangnya memaksa saya untuk sesekali mengernyitkan dahi.

Demikianlah, masuk ke sela-sela kata dalam buku ini, meminjam istilah Michael Foucault, menghadirkan ruang discourse untuk sejenak menghela napas di tengah riuh-rendah memperbincangkan Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor yang sudah terlebih duhulu terbit, dengan Maryamah Karpov yang muncul belakangan.

*M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. (pemimpin Redaksi BPPM Balairung UGM Yogyakarta) | Sumber: Koran TEMPO – 30 Desember 2008.

*Rehal buku: Laskar Pemimpi: Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi IndonesiaNurhady Sirimorok/ Puthut EA (ed.)/ INSISTPress, 2008.