Membaca Kegamangan Bali dari Tenganan

Membaca Kegamangan Bali dari Tenganan*

Pariwisata membuat hidup orang Bali berada dalam kegamangan antara dunia tradisi dengan modernitas. Ritual yang dilakukan, misalnya, hanya dilakukan seolah-olah untuk melestarikan tradisi, padahal semata untuk menarik turis. Demikian dikatakan Ambarwati Kurnianingsih, penulis buku Simulacra Bali: Ambiguitas Tradisionalisasi Orang Bali pada diskusi dan bedah buku tersebut di Lodtunduh, Ubud, Jumat (5/6/2009).

Ati, panggilan akrab Ambarwati, adalah staf Yayasan Wisnu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pengembangan masyarakat. Ati melakukan penelitian tentang dampak pariwisata pada masyarakat desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Tenganan adalah salah satu desa tua di Bali. Penelitian itu bagian dari tesisnya di S2 Antroplogi Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Tesis itulah yang dijadikan buku terbitan INSISTPress ini.

Buku setebal 127 halaman ini sebenarnya sudah diterbitkan setahun lalu. Namun baru kali ini didiskusikan. Menurut Agung Alit, Direktur Mitra Bali, yang menyelenggarakan bedah buku, momentumnya kali ini adala hari lingkungan hidup sedunia.

Diskusi kemarin dihadiri sekitar 40 orang. Selain kalangan aktivis LSM, hadir pula beberapa peneliti dan penulis yang intens menulis tentang Bali. Antara lain Adrian Vickers, penulis buku Bali: A Paradies Created, terbitan Periplus tahun 1996 dan Michael Picard penulis buku Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture terbitan Archipelago Press tahun 1995.

Adapula Emma Baulch, penulis Making Scene buku tentang komunitas punk, reggae, dan death metal di Bali. Degung Santikarma, antropolog yang sering menulis tentang Bali terutama identitas kebalian dan tragedi 1965, pun hadir.

Nama-nama tersebut sangat sering saya baca sebagai referensi tulisan-tulisan tentang Bali baik sebagai sebuah kajian antropologi ataupun tujuan pariwisata. Atik pun banyak mengutip tiga nama (Adrian Vickers, Michel Picard, dan Degung Santikarma) dalam bukunya. Jadi bagi saya diskusi kemarin berjalan menarik.

Atik, lahir di Singaraja dan bekerja di Yayasan Wisnu sejak 1997, melakukan pendampingan di Desa Tenganan sejak 1999. Meski demikian, dalam rangka penulisan buku ini, Atik juga melakukan penelitian intensif selama pada November 2003 hingga Mei 2004. Total, selama sekitar empat tahun Atik mengenal Tenganan sebagai sebuah bahan kajian yang dibukukan.

Menurut Ati, seperti ditulis di bukunya maupun diskusi kemarin, kata “Simulacra” dia artikan sebagai “Seolah-olah”. Ini untuk menunjukkan perilaku masyarakat Bali yang seolah-olah. Atik mengambil contoh Bali tersebut dari Tenganan. Misalnya dalam Perang Pandan. Ritual tiap tahun ini pada awalnya dilakukan sebagai latihan perang. Namun, menurut Atik, saat ini lebih bertujuan untuk menarik turis.

Ambigu masyarakat Tenganan itu juga tergambar dari perilakunya yang berubah. Dari semula bergantung pada pertanian, sekarang pada pariwisata. Lahan-lahan tanah pertanian yang dulu jadi sumber penghidupan, kini disewakan pada penyakap (pekerja). Warga Tenganan tak lagi jadi penggarap tapi tuan tanah.

Potret di Tenganan, bagi Atik, mewakili Bali secara umum yang saat ini makin bergantung ke pariwisata dari yang semula hidup dari pariwisata. Tapi sebelum itu mungkin perlu diingat lagi bahwa Bali mewakli citra tentang sesuatu yang eksotis. Bali adalah surga, demikian kata iklan pariwisata tentang Bali. Tapi ini adalah citra yang dibuat. Ini adalah citra yang dikemas untuk tujuan promosi pariwisata. Ini adalah citra yang melebihi kenyataan itu sendiri.

Orang asing pun mengenal Bali berdasarkan citra-citra yang disampaikan melalui berbagai media termasuk media kartu pos dan poster itu. Karena itu, bagi Adrian Vickers, Bali adalah surga yang diciptakan, a paradise created. Sebab seperti daerah lain, Bali pun bukan daerah bebas masalah.Ada kekerasan, penggusuran, kerusakan lingkungan, dan seterusnya. Tapi ini gambar yang berusaha dikubur demi menampilkan wajahBali yang luhur dan menarik turis.

Pencitraan terhadap Bali ini kemudian menggiring orang Bali pada bentuk kehidupan yang nyata tetapi tidak nyata. Kehidupan orang Bali adalah kehidupan yang “dibuat-buat”, dianggap lebih nyata dari kenyataan sesungguhnya. “Mereka berusaha menyajikan diri sesuai keinginan turis, bukan atas kemauan sendiri,” kata Atik.

Orang Bali kemudian melakukan tradisionalisasi diri, menyesuaikannya dengan “permintaan pasar”. Inilah yang oleh Atik disebut dengan dengan istilah yang diciptakan Jean Baudrillard, simulacra, sikap seolah-olah. Padahal turis ke Bali belum tentu karena budaya Bali.

Menurut Adrian Vickers dalam diskusi kemarin, tidak ada pariwisata budaya di Bali, yang ada hanya pariwisata resort. Bali dijadikan tujuan bagi turis bukan karena budayanya tapi karena harganya yang murah.

Anak Agung Gede Putra, alumni Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol) Universitas Atma Jaya yang jadi pembedah buku ini mengatakan bahwa buku ini jadi semacam otokritik bagi Bali juga bagi para antropolog. “Sebab citra dan identitas Bali saat ini juga penciptaan oleh para antropolog,” kata Putra. [b]

*Anton Muhajir. Lansir dari: www.balebengong.net – 6 Juni 2009.

*Rehal buku: Simulacra Bali: Ambiguitas Tradisionalisasi Orang Bali/ Ambarwati Kurnianingsih/ Yayasan Wisnu dan INSISTPress, 2008.