Mendobrak Kebuntuan Ideologi*
Kiranya sulit disangkal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Negara Dunia Ketiga, menempati posisi penting dalam gerakan transformasi sosial. Sebagai salah satu pilar demokrasi, secara normatif, LSM berfungsi sebagai penyeimbang potensi negatif—utamanya kecenderungan otoritarianisme—dari negara. Dan sebagai bagian dari masyarakat sipil, LSM mengemban tugas yang berat. Satu diantaranya adalah melakukan counter-Hegemony terhadap negara.
Akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an merupakan puncak frustasi bagi gerakan LSM di Indonesia. Bagai Tembok Cina, hegemoni developmentalism berdiri kokoh tiada bergeming. Tak pelak, seluruh dimensi kehidupan dibuatnya tak berkutik. Termasuk juga LSM. Seringkali LSM justru menjadi agen pelaksana lapangan dari program pembangunan negara, yang berarti memuluskan hegemoni pembangunanisme. Paham yang semestinya harus mereka perangi.
Buku Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, memberikan pemahaman bagaimana sebagian besar LSM di Indonesia turut hanyut dalam mainstream diskursus kreasi kapitalisme tersebut. Buku yang terbit tahun 1996 ini, sebenarnya merupakan catatan penelitiannya tentang bagaimana posisi ideologi, paradigma, hingga metodologi dan teknik LSM dalam melakukan aksi dilapangan, beserta dinamikanya dibawah hegemoni pembangunanisme.
Sulit dipungkiri, banyak kalangan LSM mengalami sesat pikir dalam membaca realitas aktual saat itu. Dalam suatu program pendampingan pembangunan, proyek lazim saat itu, LSM banyak menggunakan perangkat metodologi kritis. Atau lebih parah lagi, mereka sungguh percaya dengan asumsi pembangunanisme dan menganggapnya bukan sumber ketergantungan dan keterbelakangan bagi masyarakat. Dengan sendirinya, riset Mansour Fakih ini bertujuan untuk menemukan masalah mengapa terjadi sesat pikir dan ambiguitas ideologi, paradigma dan metodologi dikalangan LSM. Secara kolaboratif, riset ini juga berusaha mengembangkan ideologi, paradigma, dan metodologi kritik-alternatif untuk melawan hegemoni kapitalisme tersebut.
Selain dua agenda besar itu, riset kolaboratif-partisipatoris yang dilakukan, bertujuan untuk: Pertama, memfasilitasi aktivis gerakan LSM untuk menyelenggarakan studi kritis yang mempertanyakan asumsi dasar, ideologi, dan paradigma mereka dan implikasinya terhadap teori dan praktik. Kedua, memfasilitasi pemahaman yang lebih baik atas posisi landasan teortis mereka. Ketiga, memfasilitasi suatu proses yang dapat memberi peluang kepada mereka untuk mengkaji secara kolaboratif ideologi dan teori tentang perubahan sosial. Ini ditujukan untuk memberi peluang agar mungkin bagi mereka untuk merumuskan paradigma dan teori tentang transformasi sosial, melakukan pemetaan posisi ideologi dan poliitk LSM dalam perubahan. Terakhir, riset kolaboratif Mansour Fakih dengan para aktivis LSM bertujuan mengembangkan paradigma perspektif LSM sendiri tentang perubahan sosial diIndonesia dan rencana aksi maupun agenda yang didasarkan pada ideologi, paradigma dan metodologi yang telah dikembangkan.
Keseluruhan riset ini dilakukan dengan metode partisipatif. Seperti yang dikatakan Yusuf Kasam (1982) dan Participatory Research in Asia (PRIA), bahwa “riset partisipatoris disusun melalui interaksi demokratis antara peneliti dan kelas rakyat yang tertindas dan mengambil bentuk unifikasi dialektis teori dan praktik secara resdiprokal antara peneliti dan yang diteliti (hal.14)”. Metode ini dipilih karena janjinya untuk menciptakan metode tanpa kekerasan dan demokratis.
Yang menjadi partisipan dari riset ini adalah para anggoya LSM.Parapartisipan ini tergolong dalam tiga kelompok. Yakni, lingkaran pertama terditi dari 8 aktivis kelompik inti yang bertugas mengumpul data, pengorganisasian dan fasilitator studi.Lingkaran kedua terdiri sekitar 180 aktivis dan intelektual yang berpartisipasi dalam diskusi, analisis dan distribusi informasi. Sedangkan lingkaran ketiga, adalah seluruh aktivis diluar dua lingkran pertama, yang menerima hasil-hasil laporan stuai dan secara indpenden mengadakan diskusi kecil tentang isu-isu studi.
Seperti yang telah diungkapkan diatas riset partisipatif menjanjikan proses yang demokratis dan tanpa kekerasan. Begitupula dengan pelaksanaan pengumpulan dan analaisa data. Semuanya itu melibatkan partisipan seutuhnya sebagai subyek yang setara dengan peneliti. Metodologi positivis yang disatu sisi, menempatkan partisipan sebagai obyek yang akan disadarkan, sedang disisi lain menempatkan peneliti seperti dokter yang serba tahu, mengagungkan netralitasnya keilmuannya dan obyektifitasnya, jelas akan digunakan.
Pendekatan tentang perubahan sosial di Negara Dunia Ketiga umumnya didominasi oleh perspektif perubahan sosial dominan, yang dalam hal ini merupakan hasil rekayasa negara, melalui apa yang disebut Pembangunan. Adalah fungsionalisme, sebuah teori sosiologi dominan yang menjadi akar dari berbagai kajian teoritis dalam perspektif modernisasi. Fungsionalisme memandang bahwa masyarakat dan pranata sosial saling bergantung, bekerja sama dalam harmoni untuk mencapai keseimbangan. Kerangka logika seperti ini menyebabkan kesalahan fungsionalisme mengartikan signifikansi konflik yang terjadi dimasyarakat. Bahwa konflik tidak lebih dari distorsi terhadap harmoni, menyengsarakan, sehingga wajib dihindari. Akibatnya, fungsionalisme cenderung setia pada keadaan statis, melanggengkan status quo.
Bertentangan secara diametral, pendekatan konflik justru melihat konflik sebagai sesuatu yang positif bagi perubahan sosial. Sederhananya ada tiga asumsi dalam pendekatan konflik. Pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha untuk memenuhinya. Kedua, kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan ini akan menimbulkan perjuangan untuk mencapainya. Ketiga, nilai dan gagasan merupakan senjata konflik berbagai kelompok untuk mencapai tujuan dari pada sebagai alat mempertahanakan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat, seperti pengandaian Fungsionalisme. Gerakan sosial sebagai gerakan yang diorganisir dengan tujuan, strategi dan metodologi yang di formulasikan secra jelas dan sadar berdasarkan analisis sosial yang kuat.
Kendati teori konflik berasal dari aliran Marxis, namun meraka tidak lagi percaya dengan determinisme ekonomi dan sejarah. Mereka menekankan peran manusia sebagi agen, termasuk ideologi, pendidikan dan kesadaran kritis yang saling terkait secara dialektis dalam suatu transformasi. Pandangan baru ini kuat dipengaruhi pemikiran Antonio Gramsci.
Dari perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan gerakan masyarakat sipil terorganisir. Masyarakat sipil versi Gramsci didasarkan pada analisis bahwa masyarakat sipil merupakan kondisi konfliktual dan dialektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara negara dan masyarakat. Disinilah LSM bisa dikategorikan sebagai salah satu unsur gerakan masyarakat sipil.
Dihadapkan hegemoni dari superstruktur negara, di masa lalu gerakan masyarakat sipil mengalami kontradiksi dan juga paradok. Bukannya berfungsi sebagai gerakan kontra hegemoni negara dengan melakukan popular education, pendidikan kritis dan menumbuhkan kesadaran kritis kepada rakyat bawah, LSM terjebak dalam program-program ‘proyek’ baik dari negara maupun lembaga dana Internasional.
Untuk lebih jelasnya, ada tiga kategori paradigma yang dianut oleh kalangan LSM.Pertama, konformisme. Tipe ini sering digolongkan LSM yang ‘bekerja tanpa teori’, atau mereka yang berorientasi proyek, dan meneysuaikan diri dengan sistem yang ada. Motivasi utamanya hanya ingin membantu rakyat yang kesusahan, tanpa mau mencari tahu apa yang sesungguhnya menjadi penyabab suatu persoalan. Penggunaan metodologi partisipatif hanya sebatas sebagai cara. Bukan berlandaskan paradigma partisipatoris sebenarnya. Karena kritik-kritik mereka lebih pada metode pemerintah yang selau top down dan kurang memberi ruang bagi arus bawah.
Kedua, Reformisme. LSM ini dicirikan oleh kuatnya pendekatan modernisasi daalm pelaksanaan program-programnya, dependensi terhadap dana asing sehingga justru sering menjadi pelaksanan program pesanan, dan berpandangan bahwa mereka berfungsi seperti resi, yang turun gunung menyadarkan orang awam. Secara spesifik, program mereka bergerak di bidang peningkatan ekonomi keluarga, pengembangan usaha kecil, menilai motivasi masyarakat dengan pendekatan N-Ach, dan beasumsi bahwa jika sebuah masyarakat miskin, itu tak ada hubungfan dengan konteks struktural. Hanya hambatan internal yakni, kultur kerja yang rendah.
Ketiga, Transformisme. Secara teoritis, LSM yang beevisi tranformasi akan berparadigma kritis. Program-programnya adalah pengentasan masyarkat menuju dunia yang lebih adil dan makmur. Rakyat ‘disadarkan’ secara partisipatoris. Artinya, rakyat diberi ruang untuk mengidentifikasi persoalannya sendiri, merumuskan/menentukan paradigma mana yang tepat, menganalisisnya untuk kemudian merumuskan agenda aksi lapangan. Selain itu LSM ini dicirikan segi pendanaannya akan relatif independen.
Namun ini hanya berjumlah sekitar 20% dari keseluruhan LSM. Paradigma transformatif faktanya kurang berkembang. Ini dikarenakan, pertama, ketergantungan dana terhadap pihak asing, yang notabene adalah agen-agen pelaku modernisasi di Indonesia. Kedua, ketiadaan waktu bagi LSM untuk membahas persoalan tentang visi, ideologi, metodologi. Hal ini disebabakan tidak adanya kesepahaman dikalangan anggota LSM tentang posisi ideologis mereka. Ketiga, adalahinkonsistensi antara ideologi, paradigma dan teori. Keempat, faktor yang tak kalah penting bahwa para aktivis pada nyatanya berasal dari kampus denganmainstream paradigma yang seragam. Mereka sudah terbiasa berpikir positivis dan mengabaikan baik interpretatif maupun kritik. Pola pikirnya di-set untuk setia pada sistem dan moderat. Empat faktor diatas pada akhirnya juga menyebabkan bias dikalangan LSM dalam menjalankan kewajibannya.
Dalam perjuangannya, LSM juga tak luput dari bias. Pertama, bias Negara. Setelah melalui serangkaian diskusi mendalam, wawancara dan pengumpulan data, hingga analisis, para aktivis mengakui bahwa mereka telah mengalami bias negara yang kuat. Pendekatan mereka, program-program sampai pada nama “Lembaga Swadaya Masyarakat”. Padahal kalau mengikuti alih bahasa yang sebenarnya, nama mereka adalah Organisasi Non-Pemerintah. Namun kooptasi negara yang begitu kuat nama mereka dapat diubah. Pengubahan ini tentu terkait dengan mobilisasi dukungan sebagagi bagian dari hegemoni Developmentalisme. Sebab istilah “Non-Pemerintah”, terdapat kesan anti pemerintah. Dan ini dinilai mengganggu stabilitas yang dibutuhkan pembangunan.
Kedua, bias Saintis Teknokratis. Bias ini erat dengan kesetiaan terhadap posotivisme, telah menggiring para aktivis untuk mengabaikan kearifan lokal (indegenous knowledge),dengan dalil empirisisme dan paham bahwa tujuan ilmu hanyalah menyadarkan agar rakyat menjadi rasional, terbuka, obyektif. Corak positivistik ini tampak jelas dari cara memandang mereka terhadap masyarakat, menyusun program, pengukuran terhadap keberhasilan program, dsb yang sangat kurang memberi partisipasi keoada rakyat. Kalaupun ada itu hanya pada level implementasi. Diskusi tentang Mahsab Frankurt misalnya memberi pengertian para aktivis tentang bias keilmuan dan dekonstruksi diskursus.
Ketiga, bias Modernis. Sebagian besar aktivis adalah pengikut setia logika Modernisasi. Bahwa manusia lokal merupakan sumber kegagalan pembangunan. Pengaruh kajian Daniel Lerner di Turki, tesis Huntington bahwa korupsi adalah produk budaya domestik, ataupun Teori lima tahapnya Rostow misalnya, menjejali pikiran mereka. Untuk mengentaskan masyarakat miskin bagi mereka harus dengan pembekalan pengetahuan tentang kredit, manajemen tani modern dan training-training mental. Keempat, Bias Gender. Pragram-program yang sebenarnya memang pesanan dari luar, sangatlah tidak memperhatikan hak-hak perempuan. Program keluarga Berencana misalnya. Selalu saja pihak perempuan yang menjadi target untuk dipaksa menjadi akseptor. Atatu mekanisasi pertanian dalam hal ini pengadaan huller-huller telah memangkas produktifitas perempuan-perempuan desa dalam produksi padi.
Kelima, bias psikiater dan pendeta.Para aktivis menempatkan masyarakat sebagai pihak yang sakit. Biasanya para aktivis tanpa melibatkan partisipasi, segera membuat program kerja. Logika ilmunya menjadi pembenaran mereka berhak berbuat demikian. Padahal, setiap masyarakat mempunyai seperangkat logika berpikir yang penilaiannya tidak bisa diukur dengan rasionalitas modern. Karena budaya bahwasannya bersifat relatif.
Studi ini memberikan pelajaran yang mendalam bahwa LSM sebelum jatuhnya Orde Baru lebih merupakan bagian dari negara daripada Civil Society. Lantas bagaimana LSM dimasa kini? Kecenderungan untuk tergantung terhadap dana asing sepertinya masih akan terjadi. Meskipun taraf kualitasnya bisa saja menurun. Pendekatan partisipatif, penerapan teori kritik juga sedang marak dikalangan LSM. Namun kerja model proyek ataupun pesanan kiranya masih terjadi. LSM yang baru berdiri biasanya sangat idealis. Tetapi, segera setelah mendapat proyek pesanan, sedikit sekali yang mampu berdiri independen. Bagaimana agenda kedepan?
Adadua agenda krusial paska studi ini. Pertama, Agenda ideologi. Pada dasarnya agenda ini mengembangkan mekanisme internal maupun eksternal untuk menciptakan ruang pendidikan. Melalui gerakan internal berarti LSM perlu menetapkan agenda jangka panjang. Yakni menggunakan lembaga-lembaga yang ada guna perubahan ideologi dikalangan aktivis sendiri dan mentransformasikan hubungan mereka dengan rakyat. Sedangkan agenda eksternal, adalah melakukan aksi lapangan di sekolah-sekolah ataupun media dalam rangka kontra hegemoni terhadap wacana hegemonik. Kedua, agenda politik. Agenda ini menyangkut analisis sosial kritis yang mengarah pada kesadaran rakyat yang akan menggantikan posisinya dalam sistem dan struktur yang ada dan mengaitkan analisisnya dengan aksi.Dengan kata lain mereka harus mampu mengupayakan jawaban jangka pendek untuk merespon kebutuhan praktis dari rakyat dan jangka panjang untuk menanggapi kebutuhan strategis. Kebutuhan praktis senantiasa dilakukan dala kerangka kebutuhan strategis, yakni perjuangan ideologi dan kultural. Keduanya saling terkait dan tak bisa dipisahkan.
Untuk menjalankan dua agenda ini, ada tiga hal yang mesti dilakukan. Pertama, Melakukan reposisi ideologi aktivis LSM. Para aktivis harus memegang posisi dalam gelanggang produksi pengetahuan. Ini dalam rangka counter-hegemony. Selain itu Pemberian ruang bagi rakyat untuk secara partisipatoris menganalisis struktur dan sistem yang kini menindas, dan menyebarkan hasilnya ke seluruh masyarakat. Hal ini akan merangsang kesadaran kritis massa. Kedua, menciptakn pendidikan alternatif bagi para aktivis. Hal ini untuk mewujudkan apa yang disebut gramsci sebagi intelektual organik.Ketiga, perlunya memperbaiki keampuan organisasional dan manajemen LSM. Dalam LSM sendiri proses-proses kerja harus dilaksanakan secara partisipatif. Mulai perencanaan sampai evaluasi.
Buku ini mampu mengidentifikasi persoalan mendasar mengapa terjadi sesat ideologis, bagaimana dampaknya, serta mampu mencari alternatif solusi yang praktis maupun teoritis bagi persoalan yang selama ini melilit LSM. Sulit untuk mencari kekurangan dari buku ini. Sebab meskipun penulisannya sekitar enam tahun yang lalu, tapi relevansinya dengan fenomena aktual tidaklah berkurang. Mungkin persoalan yang dihadapi sedikit bergeser. Kalau dulu LSM berada dalam hegemoni pembangunanisme, sekarang ini hantu globalisasi siap menelan tanpa ampun. Ini teruata erat dengan penyebaran wacana tertentu dari asing melalui program perndanaan terhadap LSM. Artinya, LSM sebagai lembaga produsen isu pesanan rentan terjadi. Terlepas dari semua kekurangan yang mungkin belum teridentifikasi, buku ini penting bagi siapapun yang ingin megetahui LSM lebih jauh maupun tentang civi society pada umumnya.
*Harie. Sumber: http://indekos.tripod.com/id3.html – diakses pada 1 Maret 2010.
*Rehal buku: Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia/ Mansour Fakih/ INSISTPress, 2010 (Cet. ke-5)