Jangan Sekadar “Kegenitan” Aktivisme*
PERKEMBANGAN teknologi nirkabel yang begitu pesat, memunculkan apa yang kemudian disebuat sebagai media sosial (social media). Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Plurk, Friendster, dan semacamnya, kini semakin diakrabi publik. Masyarakat benar-benar telah memanfaatkan dunia maya secara efektif untuk mengekspresikan pendapatnya atau untuk memperluas jaringannya.
Di dalam suatu masyarakat terbuka, Karl Popper (1992) menggambarkan arus informasi akan menjadi kata kunci di dalam menentukan peradaban manusia. Manusia yang beradab adalah manusia yang mengikuti perkembangan informasi dan mampu mengelola informasi secara baik. Manusia yang tidak mampu mengikuti perkembangan informasi dan mengelola informasi secara baik akan digilas perkembangan zaman. Jejaring sosial di dunia maya merupakan jawaban atas pertanyaan bagaimana mengikuti dan mengelola informasi di dalam suatu masyarakat terbuka.
Jejaring sosial di dunia maya memberikan kontribusi besar untuk pembentukan opini di dalam kasus perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Khususnya ketika Usman Yasin membuat grup di Facebook guna menggalang dukungan untuk Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto dan telah berhasil menembus satu juta Facebookers. Ketika pemerintah dan DPR bersatu untuk membela Polri, jejaring sosial di dalam dunia merupakan wahana alternatif untuk menampung aspirasi masyarakat. Di dalam dunia maya, pendapat masyarakat tidak bisa dibendung atau disensor, seperti gelombang tsunami yang menghantam daratan pascagempa bumi. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), 1 juta suara masyarakat di dalam grup Facebook tersebut tidak boleh dianggap remeh oleh pemerintah dan DPR.
Menurut Juergen Habermas (2009), di dalam suatu negara hukum yang demokratis, legitimasi demokratis terletak pada kualitas wacana. Jadi, pada masa masyarakat terbuka seperti sekarang ini, legitimasi demokrasi tidak hanya ditentukan oleh pemerintah, DPR, dan pengadilan. Peran media dan jejaring sosial di dunia maya dalam membentuk kualitas wacana juga merupakan kunci legitimasi demokrasi. Artinya, legitimasi demokrasi ada pada media dan jejaring sosial di media ketika mereka mewacanakan sesuatu yang bisa diuniversalkan dan diterima oleh masyarakat. Jejaring sosial di dunia maya merupakan pilar kelima di dalam demokrasi yang secara efektif tidak hanya untuk membentuk opini publik, tetapi juga menentukan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pemerintahan dan tata kenegaraan.
Fenomena maraknya situs jejaring sosial yang akhirnya memunculkan idiom baru dalam teknologi informasi dan komunikasi, yakni media sosial. Pada perkembangannya, media sosial mulai menempatkan diri sebagai bagian dari transparansi informasi dan menjadi pilar kelima demokrasi.
Buku Oposisi Maya ini berusaha melihat dengan kritis persoalan tersebut dan mengupasnya dari berbagai sisi. Sebuah kajian yang serius, tetapi ditulis dengan gaya yang santai. Buku ini merangkum rangkaian tulisan dari Lies Marcoes-Natsir, Saleh Abdullah, Nezar Patria, Linda Christanty, Nurhady Sirimorok, Dodi Yuniar, Mulyani Hasan, Nilam Indahsari, dan Puthut E.A. sebagai editor.
Hal terpenting dari apa yang dipaparkan adalah jangan sampai fenomena aktivisme lewat internet atau juga sering disebut dengan jargon armchair activism tidak terjebak menjadi sekadar “kegenitan” aktivisme atau gajala latah. Yang penting adalah ia harus menjadi bagian sadar dari upaya untuk terus mengembangkan demokrasi.
*Anang Suryaman. Sumber: Pikiran Rakyat.com – Maret 2010.
*Rehal buku: Oposisi Maya •Penulis: Dodi Yuniar, Nezar Patria, et. al. •Penyunting: Puthut EA •Penerbit: INSISTPress •Edisi: I, Februari 2010.