Mengingat Melalui Cerita

Mengingat Melalui Cerita*

Membaca cerpen-cerpen Puthut EA dalam buku kumpulan cerpennya yang terbaru, Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali (INSISTPress, Maret 2009), seperti membaca lembaran-lembaran kisah yang disajikan oleh seorang pencerita ulung. Cerpen-cerpen dalam buku ini memiliki satu benang merah tentang ingatan akan peristiwa 1965, yang dihadirkan dari berbagai sudut pandang penceritaan, akibat-akibat yang dialami secara tidak langsung oleh mereka yang tidak bersalah, dan trauma bagi sebagian orang. Cerpen-cerpen dalam buku ini juga memberikan arti penting bagi upaya mengingat peristiwa, menimbang kembali akibat yang ditimbulkan, dan memandang nilai kemanusiaan sebagai suatu keniscayaan.

Sebagian besar cerpen yang ada dalam buku ini menggunakan teknik flash back. Kilas balik dalam cerpen-cerpen ini merentang masa yang beragam.Adayang dalam beberapa tahun, dan tidak sedikit yang melewati beberapa periode dasawarsa. Teknik ini juga membuka kemungkinan untuk menyatakan pentingnya ingatan pada peristiwa masa lalu. Puthut nampaknya memilikigayaini untuk membangun cerita-ceritanya, membangun imajinasi pembaca, menciptakan ruang dalam cerita itu sebagai masa yang dapat dimasuki lewat hantaran bahasa cerita.

Cerpen pertama dalam buku ini sudah dimulai dengan penceritaan dengangayaini. Cerpen “Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali” dimulai dengan kisah dengan masa lalu ketika salah satu tokoh cerita melihat seekor bebek yang mati di tepi sungai, yang kemudian menjadi pusat arus cerita selanjutnya. Sementara cerita berlangsung di sebuah stasiun kereta api, dan dalam waktu kekinian. Cerpen kedua,  “Kawan Kecil”, masih menyisakan kesan akan teknik ini, meski tidak menonjol. Ron, teman lama aku cerita, yang tinggal di Desa, juga menceritakan tentang kisah masa lalu keluarganya. Dan seperti terkesan dari judulnya, kisah ini tentang seseorang yang secara regular mengunjungi teman lamanya, teman sejak masa kecilnya. Pembandingan ini dapat dibantu dengan pembedaan yang jelas dalam dialog-dialog tentang desa dankota, sebagai dua kutub yang berseberangan, dalam arti kultural dan juga spasial.

Cerita “Rahasia Telinga Seorang Sastrawan Besar” secara tersurat juga memberikangayabercerita yang sama. Sebuah usaha untuk mengetahui rahasia apakah betul pendengaran seorang sastrawan yang telah meninggal itu memang rusak akibat kena popor senjata dulu. Ia berkali-kali menjadi saksi ketika dalam pertemuan sang sastrawan besar selalu meminta lawan bicaranya untuk berbicara keras karena telinganya sudah tidak berfungsi maksimal. Apakah betul bahwa sang sastrawan itu tidak bisa mendengar dengan jelas, apakah betul ia terkena popor senjata, bagian telinga sebelah mana, atau itu hanya sebagai bentuk perlawanan sang sastrawan, siasat provokatifnya, dan berbagai pertanyaan lain.

Sementara cerpen “Doa yang Menakutkan” meski menggunakan alur maju, tetap saja ia menceritakan masa lalu, sebuah kisah yang pernah dialami oleh seorang anak yang trauma pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa kanak-kanaknya. Teror yang berkepanjangan, ancaman-ancaman terhadap keluarganya, dan juga pada aktivitas kanak-kanak seusianya, baik di sekolah maupun di surau. Demikian juga dengan cerpen “Dongeng Gelap” yang bercerita tentang berbagai peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam penjara, terutama kejadian-kejadian tidak manusiawi yang dialami oleh para tahanan perempuan. Kisah masa lalu ini juga dapat dijumpai pada cerpen “Anak-anak yang Terampas”. Kisah tentang seorang yang merasa tidak bersalah karena aktivitasnya, namun ia terkena getah akibat peristiwa yang terjadi pada masa lalu, namun ia tidak menyesal karena semua yang dilakukannya dianggapnya baik. Kisah masa lalu yang remang dan menyedihkan ini juga dialami oleh tokoh dalam cerpen “Retakan Kisah”. Seorang guru TK yang karena keterlibatannya dalam organisasi social harus ikut menanggung akibat dipenjarakan karena kegiatannya itu.

Cerpen “Koh Su” merupakan salah satu cerpen yang memiliki alur dangayabercerita yang menarik. Sebetulnya kisah ini tentang hilangnya sebuah daerah, penghasil padi kualitas bagus, karena penduduknya sama sekali habis karena dianggap terlibat dalam gerakan yang dilarang. Namun cerita tentang nasi goreng dengan resep special Koh Su ini juga menghadirkan rasa keingitahuan pembaca akan kelanjutan bagian-bagian fragmen yang digunakan oleh penulisnya, dan juga mampu menghadirkan suasana dan kekompleksan informasi cerita. Tarik ulur antara kenangan masa lalu dan kondisi kekinian ini juga muncul dalam cerpen “Rumah Kosong”.

Melalui strategi yang dikembangkan oleh Puthut, cerita dapat digunakan untuk mengingat peristiwa yang pernah terjadi, apakah itu fakta sejarah atau peristiwa fiktif yang memiliki nilai dan relevansi dengan kehidupan. Faktor mengingat dan ingatan ini penting di tengah suasana kesadaran historis yang dimiliki manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.

Karena itu, cerita sebagai pengingat bisa jadi menghadirkan sesuatu yang mungkin saja tak harus benar dan enak untuk dibaca, tapi ia juga menghidangkan kisah tragis, traumatis, horor, atau juga momok bagi pemegang kekuasaan. Cerita-cerita Puthut banyak berkisah tentang peristiwa 1965, dari berbagai sudut penceritaan, pihak yang terlibat, dan kemungkinan yang masih buram, seperti juga pembicaraan dan kajian di luar fiksi, yang masih terus diusahakan untuk membuka kebenaran peristiwa 1965 itu.

Mengingat bagi Puthut juga menjadi perhatian yang serius, sebagaimana prolog dalam cerpen “Retakan Kisah”: Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk mengingat. Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu. Mengingat adalah kerja masa kini yang mungkin melelahkannya. Sedangkan masa lalu adalah belukar lampau yang terus tumbuh, dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat yang sulit dijangkau. Mengingat dan masa lalu, adalah dua hal yang terpilin, dan sama-sama berdebu (hlm. 97).

Dengan menghadirkan segala sisi dari peristiwa itu, penulis cerpen memberikan ruang yang leluasa bagi pembaca untuk memasukinya. Demikian juga, sikap netral penulisnya juga memberikan ruang yang lebih luas bagi tokoh-tokoh dalam cerita untuk langsung bersaksi, bercerita, dan mengungkapkan pandangannya masing-masing. Dalam sejumlah cerpen dalam buku ini, kita dapat melihat sudut pandang yang berbeda, generasi yang berbeda, jenis kelamin yang berbeda, dan latar belakang lain, yang membuka cakrawala baru dalam melihat peristiwa itu. Sebagai pembaca, kita disuguhi keragaman dan kemungkinan yang menarik dan menegangkan.

Dalam menghadirkan cerita, Puthut bersikap netral. Ia memberikan porsi yang sebenarnya kepada tokoh-tokoh dan narator. Karena itu, kadang kita temukan perbedaan dalam memandang sebuah peristiwa karena berbeda tokoh dan naratornya, meski tentang tema cerita yang sama. Ini pula yang mungkin membedakan posisi Puthut dibanding dengan cerpen-cerpen yang ditulis oleh Martin Aleida yang juga mengolah cerita dari bahan yang sama (baca: Damhuri Muhammad, Kompas, 2/8/2009). Perbedaan ini, bisa juga disebabkan karena latar belakang usia, keterlibatan, cara kerja dalam menciptakan cerita, dan cara memandang peristiwa.

Pilihan tema yang diolah oleh Puthut juga tampaknya memberikan peluang besar dalam karya-karyanya dalam buku ini, dan juga karya lainnya serta karya-karya berikutnya. Peristiwa 1965 masih menyisakan banyak pertanyaan, seiring dengan fakta dan kisah sesungguhnya dari peristiwa itu. Apa yang sudah dihadirkan dalam cerita ini, mungkin masih terbatas pada wilayah atau tempat yang ada.Adapeluang untuk mengikuti dan membukanya dalam wilayah yang lebih luas, di berbagai daerah yang belum tergarap, berbagai sumber yang masih belum terbuka, cerita yang masih belum tercatat, dan juga kebenaran sejarah yang masih ditunggu.

Inilah kepekaan yang dimiliki oleh Puthut. Membuka kenangan peristiwa 1965 sebagai sebuah lahan penciptaan dan sudut pandang yang digunakan. Ia dengan sendirinya memiliki bahan cerita yang menarik untuk diolah dan ditunggu oleh pembaca.

*Pengulas: Sudarmoko. Sumber: Ruang Indonesia.com, Maret 2010.

*Rehal buku: Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali: kumpulan cerpen/ Puthut EA/ INSISTPress, 2009.