Menyoal Kerumunan Virtual

Menyoal Kerumunan Virtual*

Buku ini tidak bermaksud membredel eksistensi dunia maya sebagai “realitas baru”. Buku ini jauh menandai dialektika dalam perkembangan wacana dan intimitas ihwal wajah virtual dewasa ini. Sebagian (besar) dari kita merupakan manusia produksi virtual. Secara spesifik, sepuluh tulisan dalam buku ini menyoalkan peran dunia virtual dengan melantunkan bermacam-macam perspektif.

Pada ulasan pertama, pembaca disuguhi proyek penceritaan ulang kasus yang sempat menggegerkan jagat media dan dunia maya. Ini menjadi jalan untuk membuka diskusi yang lebih mengalir. Niatan yang diajukan dalam tulisan bertajuk Gotong Royong untuk Mendapatkan Keadilan mengapresiasi kehadiran dunia maya sebagai alternatif. Saat dunia realitas sudah dikerubungi dengan lobi-lobi politik yang kebal, dunia virtual menerobos momentum dalam perayaan pemerdekaan berkelanjutan. Aksi satu juta mendukung Bibit-Chandra dan Koin untuk Prita di Facebook diajukan sebagai pembukti paling ampuh. Oposisi maya kentara dalam Tiga Layar Kerumunan Virtual.

Nezar Patria menandai “kolaborasi tiga layar” sebagai pemandu kesuksesan penggelembungan wacana yang irit. Tiga entitas itu meliputi layar komputer lewat Internet, telepon seluler, dan televisi. Layar kaca televisi menjadi pejuang paling tangguh dalam memberi suguhan yang impresif. Semua kalangan menjadi juru bicara sendiri dalam membincangkan kasus. Setelah melakukan pengadopsian gagasan umum. Kendati mendapat bayang-bayang dalam takaran kapitalisme. Dunia virtual disambut John Perry Barlow (1996) dengan sebutan “rumah baru bagi pikiran” yang “di sana, tirani tak berlaku”.

Keleluasaan mengakses dan menyebarkan informasi via Internet menjadikannya lebur dengan dunia nyata. Konsep keterjalinan, meski dengan rentang jarak yang jauh, membuat manusia modern kian menikmati khayalan modernisasi.

Dalam aksi dukung pejabat, artis, dan orang-orang urban, masyarakat begitu antusias. Namun, tidak berkutik dan kurang bergairah menyuarakan orang-orang pedalaman dan aksesibilitasnya terhadap Internet memang masih minim.

“Adakah empati masif serupa kepada ratusan orang di Yahukimo, Papua, atau si tetangga yang tak bisa makan?” Pernyataan pedas menampar ingar-bingar penggunaan dunia virtual yang sudah didewakan.

Pengakomodasian masa belum menempuh jalan sunyi dan sepi. Hiruk-pikuk dunia virtual masih setengah hati melakukan pembelaan terhadap realitas, dengan melakukan pemilahan isu.

Mengenaskan! Dalam Dari Melawan Rezim sampai Menggalang Koin, Linda Christanty mengakui pertemuannya dengan Gavin Menzies, penulis buku 1421 Saat China Menemukan Dunia lewat dunia virtual, Facebook. Di sana, ia pun berjumpa dengan Lloyd Parry, seorang jurnalis dan penulis buku tentang konflik Dayak-Madura di Kalimantan dan Timor Leste The Time of Madness. Melawan kediktatoran via Internet sudah berlaku dari dulu. Milis Apakabar yang dikelola John MacDoughall menggagas perspektif berbeda dengan Orde Baru. Linda pun lebih suka membaca berita yang disuguhkan milis ini. Menyoal kasus Prita, ia menengarai ini adalah buah kritisisme melawan kediktatoran.

*Ahmad Khotim Muzakka, pengelola www.ideastudies.com | Sumber: Koran JakartaSelasa, 20 Juli 2010.

*Rehal buku: Oposisi Maya •Penulis: Dodi Yuniar, Nezar Patria, et. al. •Penyunting: Puthut EA •Penerbit: INSISTPress •Edisi: I, Februari 2010.