Menimbang Mitos Jawa Sejahtera*
Tim Java Collapse berhasil menyuguhkan isu menggelitik ihwal proyek pembangunan keindonesiaan. Mereka menengarai ada misi terselubung dari proyek modernisasi kota.
Pembangunan mulai dari kerja paksa yang ditanamkan Gubernur Deandels hingga kini tidak memihak kepentingan publik. Penelusuran Tim Java Collapse mendedahkan sejarah dengan tinta merah.
Keramahtamahan pemerintah dalam menjembatani kesejahteraan masyarakat menemui kendala hebat. Pemerintah dihadapkan pada dua sisi mata ketertarikan, antara memaksakan kehendak untuk memenuhi hasrat ekonomi dan niatan pelayanan publik yang lebih membumi.
Di bagian muka, buku Java Collapse menyuguhkan narasi mengapa Pulau Jawa demikian eksotis untuk dieksploitasi. Penulis menyebutkan keunggulan Jawa sudah diburu sejak lama, yakni lantaran letaknya sangat strategis karena berada di Selat Malaka, yang kemudian menjadi pos perdagangan yang cukup menjanjikan. Hal itulah yang membuat Jawa dilirik kalangan Eropa dan VOC (Verenidging Oost Indie Compagnie) untuk sekadar singgah memecah lelah. Keuntungan ini ditambah lagi dengan rempah yang meruah di Jawa.
Buku ini menghadirkan pertanyaan menggelitik soal kesejahteraan rakyat. Ditengarai sistem kekuasaan telah menempatkan diri sebagai yang menguasai. Adalah Daendels, sosok pertama yang meletakkan dasar-dasar industrialisasi yang, dalam buku ini, disangka sebagai akar kesenjangan antar sesama. Rezim pembangunan Jalan Raya Pos dilanjutkan dengan sistem Tanam Paksa. Bergitu selanjutnya, berbagai rezim menindas atas nama pembangunan dan nasionalisme.
Kesejahteraan tak benar dimiliki warga, mereka hanya dikabari tanpa ada realisasi pasti. Tak berhenti di situ. Ironisme pun menyeruak pascagempa di pelbagai daerah. Ketakcekatan pemerintah dalam menyalurkan bantuan kepada korban dinilai sebagai kelalaian yang tak manusiawi. Seolah-olah jabatan yang diemban oleh segelintir orang itu bukan untuk memberikan pelayanan yang sepenuhnya. Termasuk kepada yang tertimpa musibah.
Kisah tragis terbaca lewat perjuangan sejumlah korban dalam penanganan bencana di Yogyakarta. Mereka melanjutkan kehidupan di tengah puing kepercayaan diri. Kejadian itu menambah rentetan kisah pilu Pulau Jawa yang pernah dicatat oleh Boomgard. Menurutnya, di sepanjang abad ke-19, Jawa mengalami sejumlah pemburukan. Paling tidak, terdapat tahun yang sangat kering dan sangat basah. Terjadi pada rentang 1816 hingga 1824. Jauh sebelumnya, Raffles dan van der Cappelen pun mengenalkan sistem bernapas liberalisasi. Oleh mereka, masyarakat dibebani pajak bagi kepemilikan tanah mereka sendiri. Wajah pembangunan dan kebangsaan pun dilumuri dengan darah-tangis anak negeri. Publik yang sewajarnya ikut menikmati kekayaan negeri harus diperas keringatnya demi melakukan kewajiban yang tiba-tiba jadi kebijakan mutlak.
Kolaps Jawa diartikan sebagai proses penurunan kualitas hidup manusia dan kemampuan alam. Ini disebabkan oleh sikap predasi (saling memangsa) antara manusia dan alam dalam sejarah kekuasan di Jawa.
Tiadanya keseimbangan di antara keduanya menjadikan Jawa kian rapuh. Keserakahan pemuatan masalah yang coba diangkat buku ini sekaligus menjadi kelemahan tersendiri dalam melakukan penelaahan realitas.
*Ahmad Khotim Muzakka (penulis lepas, tinggal di Semarang). Lansir dari Harian Koran Jakarta – Rabu, 18 Agustus 2010.
*Rehal buku: Java Collapse: Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo •Penulis: Tim Riset Java Colapse •Penerbit: INSISTPress dan WALHI •Edisi: I, Mei 2010.




