Menyoal Desa Perdikan*
Pembangunan tidak sekedar menghabiskan anggaran, ia butuh evaluasi yang berkelanjutan.
Sebagian orang mungkin berpikir untuk memajukan masyarakat pedesaan cukup dengan menggelontorkan sejumlah anggaran dan melaksanakan saja rencana tersebut. Kebanyakan mereka, termasuk di dalamya pemerintah dan donatur tidak ikut campur tangan dalam pembangunan desa dari hulu hingga hilir. Mereka hanya berpangku tangan menunggu hasilnya.
Padahal kebanyakan masyarakat membutuhkan pendampingan dalam proses membangun desanya. Kasus yang terjadi kemudian adalah bagaimana mengorganisasikan masyarakat tersebut agar bisa mandiri. Sebab tidak jarang dana pembangunan putus di tengah jalan. Tidak jarang pula rencana pembangunan itu justru membuat masyarakat pedesaan menjadi semakin bergantung dari luar. Sehingga pembangunan yang seharusnya mampu menyelesaikan permasalahan pedesaan, justru menjadi sumber persoalan baru.
Permasalahan ini pernah dicoba dengan membentuk sebuah komunitas yang terdiri dari para pendidik dan pengorganisir atau fasilitator. Komunitas Perkauman Pendidik untuk Perubahan (Perdikan) adalah salah satunya. Mampukah solusi baru ini bisa dipertanggungjawabkan?
Problem utama inilah yang ingin dikaji oleh Nurhady Sirimorok, melalui bukunya Merdesa: Jatuh-bangun Membangun Desa. Penelitian yang ia lakukan ini bertujuan mengevaluasi sejauhmana komunitas itu menunjukkan perkembangannya dalam mengorganisasikan masyarakat pedesaan. Peneliti yang juga seorang aktivis INSIST ini, secara jujur mencoba mengulas keruwetan, persoalan-persoalan, dan kegagalan dalam menjalankan proses-proses pendidikan dan pengorganisasian untuk mewujudkan Desa Perdikan.
Berbagai langkah ia tempuh baik secara kelembagaan maupun metodologi, juga tantangan dan kebuntuan yang seringkali ditemui komunitas tersebut. Secara umum, penulis melihat bahwa kajian mengenai pembangunan, bukan terletak pada ‘hasil’nya, tetapi pada proses dan metode yang digunakan. Oleh karena itulah, buku ini lebih banyak membicarakan pengalaman pengorganisasian di pedesaan. Pengalaman masyarakat pedesaan selama proses pembangunan perlu ditinjau karena penting untuk proses evaluasi. Untuk itu, Perdikan dibentuk.
Perdikan merupakan sebuah himpunan sekelompok orang yang mengerjakan program Desa Perdikan. Mereka terinspirasi dari kata perdikan itu sendiri yang dalam bahasa Jawa artinya tanah merdeka. Program Desa Perdikan ini diancangkan untuk mencapai masyarakat yang merdeka dan berdikari di pedalaman Jawa. Ada beberapa desa yang dipilih dari kabupaten yang berbeda untuk menjadi situs program ini, yaitu Andong (Boyolali), Donorejo (Purworejo), Sendangsari (Bantul), Ngandong (Klaten), Palihan (Kulon Progo), Wonokeling (Karanganyar), Ketro (Pacitan), dan Sangiran (Sragen).
Program desa ini dibentuk bertolak dari pandangan kalangan lembaga swadaya masyarakat atas ketidakmampuan pemerintah memaknai esensi pembangunan. Pemerintah dianggap tidak mampu menciptakan kemandirian warga desa, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar pangan, energi, palayanan pendidikan dasar, kesehatan serta lingkungan hidup.
Pengalaman yang diangkat di dalam buku ini merupakan hasil wawancara kepada para fasilitator atau pengorganisir itu sendiri, pengampu, dan satu tim kecil penyelia yang disebut sebagai Dewan Guru. Tentunya juga selain staf sekretariat dan manajemen program sebagai tim pendukung. Tujuannya jelas, untuk melihat apa yang telah mereka lakukan berikut hambatan-hambatan yang dihadapi. Serta apa yang sudah mereka pikirkan dan rencanakan, sekaligus untuk mengungkap harapan-harapan serta kekecewaan mereka.
Selama ini penulis menjumpai persoalan di desa bahwa kebiasaan warga desa dan juga fasilitatornya yang semakin bergantung pada proyek. Kehidupan pedesaan menjadi semakin memburuk oleh kebijakan dan praktik buru rente aparat pemerintahan. Ditambah lagi serbuan industri milik korporasi internasional. Pasalnya, kedua aspek tersebut telah menciptakan dampak kelangkaan pangan dan energi, serta penurunan mutu dan jangkauan pelayanan dasar sosial di pedesaan.
Sebagai bentuk kajian mengenai proses pembangunan, penulis membicarakan pengalamannya secara rinci apa yang ditemui Perdikan di lapangan selama empat tahun. Pengalaman menyedihkan dari sana adalah keluarnya delapan belas dari dua puluh delapan anggota aktif di tahun pertama. Selain itu, penulis mendapati fakta di pedesaan, bahwa tidak mudah melibatkan warga dalam usaha ekonomi berbasis kemandirian modal. Pasalnya, dalam usaha tersebut warga membutuhkan adanya saling kenal dan percaya terlebih dahulu di antara semua yang terlibat.
Banyaknya proyek bantuan ini menyebabkan masyarakat pedesaan cenderung semakin individualistis dalam usaha ekonomi. Walaupun demikian dalam kesehariannya, mereka masih tetap bergotong royong dalam upacara-upacara kemasyarakatan dan ritual-ritual lain. Pokok persoalan inilah yang menjadi sorotan utama dalam mengembangkan program Desa Perdikan yang mandiri dalam perekonomian.
Buku ini secara gamblang juga memaparkan bagaimana pengalaman setiap fasilitator di sekian desa yang masing-masing mempunyai programnya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, Nardi, salah seorang petani Wonokeling, Pacitan, berupaya mengembangkan ujicoba pemuliaan benih jagung lokal. Ia mengembangkan benih tersebut secara tekun selama tujuh kali masa tanam untuk menghasilkan benih ‘murni’ yang sesungguhnya. Dia sadar bahwa usahanya ini belum dilirik oleh banyak petani di desanya yang masih membeli bibit impor. Ia secara tekun tetap melanjutkan keinginannya dengan berbekal kepercayaan dari para fasilitator.
Hal yang tidak jauh berbeda juga dilakukan di desa lain, seperti Zamzaini dari desa Andong, Boyolali yang mengembangkan usaha gaduh dengan sistem yang tidak lazim. Ia membagi keuntungannya 60% untuk penggaduh dan sisanya untuk dirinya. Cara ini tempuh agar benar-benar mudah dan lebih menarik minat warga yang lain. Dengan sistem gaduh ini, dia hanya meminta satu syarat, yakni setiap penggaduh diharuskan berkumpul setiap bulan untuk koordinasi dan evaluasi. Usaha ini ia bangun selama kurang lebih dua tahun. Ia bertekad demikian karena ingin menyukseskan program desa yang mampu bergotong royong dalam usaha perekonomian. Inilah tujuan akhir yang dicanangkan dalam program Desa Perdikan yang realisasinya tidaklah gampang.
Buku ini disusun untuk memperlihatkan bagaimana pembangunan seharusnya dimaknai secara lurus. Dengan memdeskripsikan secara langsung dari mereka yang terlibat atau menjadi sasaran pembangunan, maka realitas yang nampak dari sana menjadi jelas. Buku ini sangat cocok untuk menjadi bahan referensi bagi mahasiswa, dosen, peneliti, dan pemerhati pedesaan karena di sana ditemukan banyak sekali persoalan-persoalan baru dalam mengorganisir masyarakat pedesaan. Melalui buku ini pula kita dituntut untuk merenungi kembali konsep pembangunan dalam arti yang sebenarnya.
*Rosyid | Sumber: Balairungpress – 28 Mei 2011.
*Rehal buku: MERDESA: Jatuh-bangun Membangun Desa/ Nurhady Sirimorok/ Roem Topatimasang (ed.)/ INSISTPress, 2010.