Menguak Paradoksi Buruh Mebel*
Nama “Jepara” selalu identik dan dikenal dengan laku sejarah yang ditorehkan R.A. Kartini dan tradisi ukir masyarakatnya. Tak pelak, Jepara kerap disebut “Jepara Bumi Kartini” dan “Kota Ukir Jepara”.
Secara historis, kerajinan ukir masuk ke Jepara dibawa oleh bangsa Tiongkok pada masa kerajaan hindu Shima. Ada hal menarik, yakni keterkaitan Kartini dan Ukiran. Di mana produk ukir-ukiran Jepara bias mendunia salah satunya berkat usaha pemasaran Kartini lewat korespondensi surat dengan teman luar negerinya. Dari kurun itu, produk mebel Jepara sudah mulai dikenal, namun ketertarikan bergelut pada profesi itu masih minim. Jika dilihat dari tipikal pencaharian masyarakat Jepara sebelum paruh akhir 1990-an, adalah sebagai buruh tani, buruh bangunan, dan nelayan. Namun paska 1997-an, ada pelejitan pergeseran terhadap paradoks mebel. Bila kurun krisis itu melilit jenis usaha lain, tidak dengan mebel, proyeksi pasar malah semakin luas dengan prosotan nilai tukar rupiah dan menambah pundi keuntungan yang naik dari pengusaha (hal.3).
Buku berjudul “Kapitalisme Perkayuan dan Advokasi Buruh di Jepara” ini adalah catatan penelitian YPL yang berbicara secara lugas dan argumentatif disertai data pendukungnya. Diuraikan historisitas dan nasihat kedepan ihwal nasib kapitalisme perkayuan dan buruh mebel Jepara. Ya, kian melemahnya pangsa pendapatan buruh, menjadi indicator penelitian ini. Bagaimana tidak, ditengah era emas permebelan Jepara yang memegang 30% produksi Jawa tengah, dan dengan tingkat antusiasme ekspor furnitur tinggi, nasib buruh tak membaik. Bahkan sebagian besar masih menerima gaji dibawah UMK kabupaten, juga tak ada sistem jaminan sosial. Intinya, Kaum buruh ukir Jepara adalah kaum lemah—buruh masih dipandang sebelah mata. Padahal ia berperan vital terhadap hasil produksi. Buku bertemakan advokasi buruh ini memang menempati posisinya menguak paradoks perjuangan dan pemenuhan hak buruh.
Hasil sorotannya, mencuatnya status “lemah” buruh disebabkan kondisi buruh itu sendiri maupun faktor luar seperti negara, pengusaha, dan aktor prodemokrasi lain di Jepara. Buku ini juga menjelaskan labirin kelemahan yang terjadi akibat; pertama, lemah kesadaran hak dan tanggung jawab. Kedua, lemahnya pengorganisasian di setiap tempat kerja. Ketiga, lemah dalam beraliansi untuk memobolisasi buruh secara signifikan baik pada aras lokal, regional, maupun nasional. Keempat, negara yang tidak proaktif membela kepentingan buruh, alih-alih memberi alokasi anggaran secara formal. Kelima, ketidakmengertian pengusaha dalam menetapkan regulasi perburuhan (ketenagakerjaan, perselisihan, jaminan sosial, kondisi lingkungan yang layak) (hal.18).
Dari konteks di atas, setidaknya menggelindingkan kaum buruh mebel Jepara dalam protet buram. Tak bisa dipungkiri bila, produk ukir yang membanggakan dan berciri khas tersebut didukung entitas buruh yang belum terkonsolidasi dalam hal soliditas, progresivitas, dan rasionalitas. Dan bagi saya, keadaan buruh mebel Jepara laik menyimbolkan fenomena gunung es, bahwa permukaan kecil yang dialami buruh Jepara, juga menjadi persoalan sama di kota-kota lain di negeri kita. Ikhtiar buku ini memang menjadi kritik konstruktif untuk kehidupan buruh yang lebih baik kedepan. Semoga.
*Muhammad Bagus Irawan, aktivis Jepara Pena Club, mahasiswa IAIN Walisongo | Lansir dari Okezone.com – Senin, 06 Februari 2012.
*Rehal buku: Kapitalisme Perkayuan dan Advokasi Buruh di Jepara: Sebuah Evaluasi atas Advokasi Buruh Ukir di Jepara 2007-2009/ Joko Legowo. dkk./ Yayasan Pamerdi Luhur (YPL) dan IMU, 2011.