Menimbang Karya Sastra Seno*
Di Indonesia, sastra dan politik bagai dua sisi mata koin. Begitu cara ungkap Seno Gumira Ajidarma (disingkat: SGA), lewat sastra dia menggunjingkan kritik pedas kepada dunia politik pemerintah. Pisau sastra postmodernisme Seno memang menggiurkan; mengecam tindak arogansi militer yang semena-mena, kebebalan oknum yang korup, penjual Undang-undang ke kepentingan terselubung, dan berjubel kasus yang menyelimuti negeri Indonesia.
Buku berjudul “Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma” ini hadir menelanjangi citra dan cerita SGA yang mencapai ratusan. Karya SGA yang meliputi; novel, cerpen, puisi, kritik film, komik, dan naskah lakon menjadi obyek empuk bagi Andy Fuller. Walhasil penelitian mendalam yang dilakoni Andy ini mengantarkannya meraih gelar Phd dari Universitas Tasmania tahun 2010.
Buku ilmiah ini sejatinya mengungkap eksistensi sastra SGA yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Bagaimanapun ratusan karya SGA yang termuat dalam buku, majalah, Koran, dan media daring, menjadikan rona tersendiri dalam pergolakan dunia sastra Indonesia. Andy memandang SGA, sebagai pionir sastra bergenre posmodernisme. Di mana, karya yang dihasilkan selalu berubah-ubah, tak bisa ditebak. Adakalanya, sastra bercirikan tradisional, modern, dan populer, kadang juga pertautan antar beragam ciri. Kepiawaian SGA menganalisis suatu kasus dan menjabarkannya menjadi kerja fiksi menjadi bahan penelitian Andy.
Disimpulkan, SGA menggunakan empat teknik; pertama, teknik mikronaratif, Seno meramu sastra melintasi pandangan biasa. Sederhana namun berbobot, walaupun kadang tak kelihatan sastrawi dan lebih bercorak laporan reportase. Kedua, pembangunan identitas karakter yang labil dan tak koheren. Sebagai contoh, penokohan “Sukab” yang secara intens dipakai SGA dalam cerpennya. Pelbagai macam perawakan (muda/dewasa/tua/mati, kaya/miskin/biasa, dan lainnya) yang dinamai Sukab, bahkan dalam pandangan umum, nama yang tak lazim bagi masyarakat Indonesia ini begitu populer ketimbang lainnya. Ketiga, teknik metafiksi yang dibadani dengan tuturan fiksi yang bersifat sadar diri.
Elaborasi SGA lebih ditujukan pada proses penyadaran makna yang dikandung dan disampaikan cerita. Dan keempat, teknik olah citra dan cerita dari khazanah sastra populer. Di mana, budaya populer sekali lagi menjelmakan karya SGA sebagai rasa sastra pop pertama Indonesia. Segmentasi populer disini menjadikan buruan banyak kalangan (dari kecil hingga tua) dari kelas apapun (dari yang miskin hingga kaya), semuanya mampu mencerna. Buku karya Andy terbagi kedalam 5 pembahasan.
Sebagai contoh, pembicaraan ihwal “Wisanggeni.” Seperti biasa, SGA meramu sastra dengan unsur posmodernis dan berbuah novel berjudul Wisanggeni, Sang Buronan. Serunya, novel ini mendapat wacana tandingan dari Marshall Clark (2004). Cralk menilai cerita pengibaratan sikap superior Hanoman menggugah rasa ingin tahu, bak refleksi diri yang menempatkan tokoh cerita dalam cerita yang sama, dan juga sebagai tingkat penutur cerita. “Maka, Hanoman duduk di atas batu dan mulai bercerita. Tapi oh, maafkan penulis yang bodoh ini kalau tidak bisa menceritakan kembali dongeng ini sebaik Hanoman yang agung (….) jadi pembaca yang budiman, kalian harus memaklumi saya dan bayangkan yang tertulis di sini hanyalah sebutir pasir (…).” Di mana, pembaca dibuat sadar ihwal keterbatasan teks dan ketidakmampuan penulis menuturkan peristiwa secara akurat.
SGA merumuskan teks secara tak terkendali dan super sekali. Buku ini menjadi catatan kritik sastra yang penting dan langka. Patut menjadi bacaan siapa saja yang peduli sastra Nusantara.
*Muhammad Bagus Irawan, pegiat Idea Studies, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang | Lansir dari: kreatifonline.com – 14 Februari 2012.
*Rehal buku: Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma/ Andy Fuller/ INSISTPress, 2011.