Cara Seno Gumira Ajidarma Mengkritik Penguasa

Cara Seno Gumira Ajidarma Mengkritik Penguasa*

KRITIK terhadap penguasa bisa disampaikan melalui apa saja. Bagi seniman tentu melalui karya-karyanya. Salah satunya  Seno Gumira Ajidarma. Sebagai cerpenis, novelis sekaligus jurnalis, Seno menyampaikan kritik tajamnya kepada penguasa melalui tulisan-tulisannya. Balutan kalimat Seno dengan bahasa yang lugas selalu bisa diikuti pembaca dengan enak, meski ujung-ujungnya mengajak pembaca ke sebuah kisah suram. Meninggalnya seseorang dengan tidak wajar, kondisi sosial yang mengenaskan serta pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara.

Cerpen-cerpen yang dihasilkan Seno mengukuhkan dia sebagai oposan bagi penguasa Orde Baru. Ia mulai mengkritisi Orba sejak 1980-an.  Cerpen-cerpen Seno memang menyuarakan  perlawanan, dan menentang budaya Orba. Jauh sebelum kejatuhan rezim Soeharto, Seno menuliskan hal-hal yang tabu untuk ditulis pada masa itu, seperti tema-tema yang mengangkat persoalan ras, suku, korupsi, ketamakan manusia, kebohongan, penindasan manusia atas lainnya, serta perbedaan kelas.

Meskipun karya-karya sastra yang mengkritisi arogansi dan dominasi penguasa sebenarnya tidak hanya ditulis Seno. Sejumlah sastrawan juga melakukan hal serupa.  Kita bisa menyebut nama-nama seperti Pramoedya Ananta Toer, penyair Wiji Thukul, Emha Ainun Nadjib, Y.B Mangunwijaya, Putu Wijaya. Mereka punya cara masing-masing untuk menyampaikan kritiknya. Dan karya-karya Seno menduduki salah satu titik penting dalam khasanah sastra yang menggugat politik kekuasaan.

Cerpen Telepon dari AcehSaksi MataJakarta 2039Seorang Wanita di Halte Bis, juga Sarman hanyalah sedikit dari banyaknya karya-karya Seno yang bersikap kritis terhadap realitas Orde Baru yang begitu mendominasi dan mengakar sekaligus menebar ketakutan. Ia mengajak pembaca untuk menyaksikan peristiwa itu sambil mendorongnya untuk melakukan refleksi terhadap itu.  Peristiwa-peristiwa dalam cerpennya mampu membuka hati dan pikiran pembaca untuk menyadari bahwa di luar sana, tak jauh dari tempat pembaca terjadi peristiwa memilukan.

Karya-karya Seno yang berani dan rasa simpatinya kepada orang-orang yang menderita, lalu dikemas dengan gaya posmodern ini seringkali membuat pembaca mendapatkan akhir cerita yang tak terduga. Selalu ada yang membekas disetiap karya Seno. Hingga tak berlebihan jika Andy Fuller,  peneliti sastra Indonesia,  tertarik  dengan karya-karya Seno dan menggunakannya sebagai obyek penulisan tesis S2 di The University of Melbourne (2004). Tesis itulah yang kemudian diterbitkan menjadi buku ini.

Perkenalan Fuller dengan karya-karya Seno tak sengaja. Ketika sedang berburu buku di Yogyakarta, pandangannya tertuju pada buku berjudul Jazz, Parfum dan Insiden. Semula ia belum tertarik dengan tema insiden atau pembantaian yang diangkat Seno. Tetapi Jazz, Parfum dan Insiden yang  menghadirkan perenungan impresionistis tentang Jazz dan parfum, menjadi magnet bagi Fuller untuk terus membaca karya-karya Seno selanjutnya.

Ketertarikan Fuller adalah pada tema yang diangkat dalam karya Seno. Menurut Fuller, Seno melibatkan karya dan dirinya pada masalah-masalah Indonesia di masa Orde Baru kemudian berperan membangun wacana politik di masa itu.  Seno melalui karyanya telah berusaha membangkitkan dialog yang kritis, membangun kesadaran diri, untuk kemudian menyelesaikan krisis politik dan krisis budaya.

Karya Seno yang banyak mendapat sorotan dan perhatian para akademisi adalah Saksi Mata dan Jazz. Karya ini menuturkan penindasan Orde Baru terhadap rakyat Timor Timur. Bagi Fuller, meski tokoh-tokoh cerpen Seno itu absurd, tetapi sejatinya nyata. Ini karena karya-karya Seno selalu mengambil dari peristiwa nyata.

Kelebihan Seno adalah pada cara dia bercerita. Biarpun memuati kritisme, cerpen-cerpennya tetap tersaji ringan. Ini menunjukkan betapa Seno seorang pendongeng yang mahir dalam tehnik dan punya banyak cara untuk bercerita.

Karya-karya Seno yang selalu mengkritik penguasa bisa jadi dipengaruhi oleh kegiatan yang ia akrabi.  Seno disamping cerpenis,  adalah seorang jurnalis. Karyanya pun tak sebatas cerpen saja, tetapi juga laporan jurnalistik, puisi, kritik film, juga novel. Karyanya tersebar di berbagai media dan mendapat sambutan baik di tanah air.

Namun Seno tak hanya menulis karya-karya yang melulu menghantam penguasa orde baru. Ada sejumlah cerpen yang bersifat surealis romantis, seperti cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku. Dan tak jarang Seno menyajikan karyanya dengan gaya metropolitan bahkan seperti “keluar”  dari sastra. Agaknya Seno tak terlampau memikirkan apakah karyanya bisa disebut karya sastra atau bukan.

Menurut Fuller, watak dari karya Seno adalah posmodern. Buku ini juga hendak menyampaikan bagaimana gaya posmodern mampu berkelindan dengan karya sastra.  Buku ini kemudian memberi identifikasi teknik-teknik estetika posmodern. Teknik-teknik tersebut, menurut Faruk dalam pengantar buku itu, digunakan untuk menyampaikan pendapat dan sikap terhadap penguasa Orde Baru yang represif.

Michael Bodden juga mengukuhkan Seno sebagai salah satu cerpenis bergaya posmodern. Menurut Bodden, tampilnya karya posmodernisme di Indonesia merupakan usaha untuk menciptakan tulisan baru, sekaligus merupakan metode perlawanan terhadap menyebarnya manifestasi sosial dan budaya dari rezim otoriter Presiden Soeharto (Halaman 61). Michael Bodden juga akademisi yang melakukan penelitian terhadap  karya-karya Seno.

Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama menyajikan seluk beluk posmodernisme. Bagian kedua mengetengahkan tentang politik kebudayaan Orde Baru, lalu bagian ketiga adalah tinjauan Karya sastra Seno. Kemudian bagian empat menyajikan pembahasan tentang metafiksi dan budaya populer. Sejumlah kesimpulan, yang termaktup di bagian kelima, menutup buku ini. ***

*Dianing Widya Yudhistira | Lansir dari: Harian Detik – Minggu 18 Maret 2012.

*Rehal buku: Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma/ Andy Fuller/ INSISTPress, 2011.