Membedah Sastra Posmodern Seno

Membedah Sastra Posmodern Seno*

Dalam jagat kesusastraan Indonesia kontemporer, nama Seno Gumira Ajidarma (SGA) tentu tak asing lagi di telinga. Ia adalah salah satu di antara sekian banyak sastrawan Indonesia yang produktif melahirkan karya pascamodern. Berbagai karyanya, seperti Jazz, Parfum dan Insiden, Wisanggeni Sang Buronan, Kasus Sukab, dan Kematian Donny Osmond, merupakan representasi berkategori pascamodern.

Mayoritas karyanya itu hadir ke pembaca sebagai bentuk perlawanan atas problem-problem akut bangsa, yakni ekonomi, sosial, politik, dan budaya, baik yang terjadi selama masa Orde Baru maupun setelahnya. Tak berlebihan bila SGA kemudian dikenal sebagai “sastrawan pembangkang” dalam kesusastraan Indonesia.

Buku Andy Fuller yang semula adalah tesisnya di University of Melbourne Australia (2004) berjudul Postmodernism and How Seno Gumira Ajidarma Used It against the New Order ini bermaksud mengaitkan penggunaan gaya pascamodernis dalam sastra sebagai kritik terhadap represi politik pada era Orde Baru.

Buku setebal 128 halaman ini mencoba mengidentifikasi teknik-teknik estetika pascamodern dalam karya sastra SGA sekaligus memahami pemanfaatan teknik-teknik itu dalam menyampaikan pandangan dan evaluasi politik SGA terhadap sistem politik otoriter Orde Baru. Selain itu, menurut Fuller, buku ini penting dibaca karena dapat membangun wacana politik masa kini dalam rangka membangkitkan dialog yang lebih kritis dan lebih sadar diri dalam menyelesaikan krisis politik dan budaya yang tengah melanda Indonesia.

Menurut Fuller, karya sastra SGA didominasi pascamodern. Hal itu dilandaskan pada temuannya mengenai empat aspek pascamodernisme yang berbeda-beda dalam berbagai contoh karya fiksi SGA, yakni representasi mikronaratif, karakterisasi yang jamak, ketakpercayaannya pada metafiksi, dan keterkaitannya dengan budaya populer (halaman 14).

Pertama, aspek mikronaratif yang sering ditonjolkan SGA di antaranya ideologi, identitas, etnis, geografi, kelas, atau agama. Sebagai tamsil, dalam cerpen “Clara Eksodus”, “Clara Jakarta 2039”, atau “Jakarta Suatu Ketika”, SGA tampak berani menonjolkan pembelaannya pada identitas etnis Tionghoa serta perlawanannya terhadap pemerkosaan dan kekerasan massal.

Kedua, karakterisasi yang jamak dalam penokohan cerpen pascamodern SGA biasanya dicirikan dengan kepribadian yang tidak labil, kurangnya kedalaman psikologis, dan kepribadian tokoh yang membingungkan. Sebagai tamsil, dalam cerpen berjudul “Kasus Sukab”, SGA menggunakan nama Sukab lantaran nama itu tak lazim bagi orang Indonesia. Sukab digambarkan sebagai “orang biasa” atau seorang “tokoh rakyat.” Dia tidak kaya dan tidak pula harus membanting tulang demi kebutuhan sehari-harinya. Ia hanyalah sosok biasa dengan dunia yang sederhana, tapi penuh dengan pesona.

Ketiga, ketakpercayaannya pada metafiksi, yaitu adanya batas kabur antara yang nyata dan hasil kreativitas pengarang. Seno seakan-akan hendak mengarahkan pembaca pada muslihat dalam penulisan teks fiksi.

Aspek keempat ialah keterikatan fiksinya dengan budaya populer. SGA biasanya menggunakan komik sebagai media untuk memvisualisasikan idenya. Selama ini, komik (mungkin) sekadar dipahami sebagai produk budaya sarat hiburan dan miskin edukasi. Komik hanya dijadikan bacaan santai yang tak membahas isu serius, tidak pula menelisik makna estetis. Tapi, lewat tangan SGA, komik justru disulap menjadi kebalikannya. Meski bisa dibaca santai, komik menjadi sarat makna mendalam. Kesan estetis dan variatif pun tak hilang.

Buku ini merupakan “dentuman besar” dalam kajian sastra pascamodern Indonesia, khususnya karya-karya SGA, karena isinya mampu mendedah sekaligus memotret seluk-beluk identitas karya SGA secara detail dan kritis. Hemat saya, persoalan mendesak dalam jagat kesusastraan saat ini bukan sekadar menemukan makna terdalam atas sebuah karya sastra, tapi juga bagaimana pembaca mampu memahami sastra pascamodern secara kritis.

*Ammar Machmud, tinggal di Semarang | Sumber: Koran Jakarta – Sabtu, 14 April 2012.

*Rehal buku: Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma/ Andy Fuller/ INSISTPress, 2011.