Menggugat Penanganan Kasus Lumpur Lapindo

Menggugat Penanganan Kasus Lumpur Lapindo*

Kasus Lapindo adalah mimpi buruk warga di sekitar Porong, Sidoarjo, yang terkena dampak. Betapa tidak, sebelumnya mereka hidup normal, memiliki rumah dan pekerjaan. Tetapi, semua itu musnah ketika terjadi kebocoran pengeboran dan menimbulkan bencana meluapnya lumpur panas sehingga mengubur halaman dan rumah mereka. Lebih parah lagi, hingga kini, para korban yang tidak bersalah apa-apa itu harus terlunta-lunta karena banyak ganti rugi belum selesai.

Buku ini ditulis secara kronologis oleh dua aktivis yang turut mengadvokasi masyarakat korban lumpur Lapindo sejak awal untuk merangkum perkembangan bencana ini sejak awal hingga tahun 2011.

Penulis menceritakan sebuah ekspedisi dari berbagai disiplin ilmu, seperti geologi, arkeologi, dan sejarah. Beragam cerita sedih serta karut-marutnya penanganan nasib para korban oleh pemerintah menjadi potret tragis warga Porong. Sekali lagi, ini mempertebal fakta bahwa pemerintah tidak banyak mengalami kemajuan dalam menangani perlindungan terhadap para korban.

Lima tahun lalu perut bumi Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, tiba-tiba memuntahkan lumpur panas. Bagaikan lumpur bah membeludak hingga menggulung apa pun yang ada: rumah, pekarangan, fasilitas umum, hingga kenangan. Tujuh desa tenggelam dalam lautan lumpur panas. Tidak ada yang mengira bencana itu akan datang begitu mendadak.

Pada saat pertama kali lumpur mengalir ke dalam sungai terletak di antara Desa Glagah Harum, permasalahan semburan lumpur masih diurusi Tim Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS). Slamet Yudianto, Ketua Tim 7 (pagayuban warga Besuki Timur, disebut 7 karena terdiri dari 7 RT) menyatakan bahwa sebelum lumpur masuk ke desa lain, Besuki Timur sudah terlebih dulu dimasuki lumpur panas. Kondisi ini membuat warga resah dan terjadi bentrok antara warga dan aparat.

Selain pencemaran udara yang berbau menyengat (aroma metana), juga terjadi pencemaran tanah. Sebelum bencana, warga menggunakan air tanah yang dipompakan dari sumur untuk keperluan sehari-hari.

Dalam kasus lumpur Lapindo, ada banyak model bisnis pascabencana yang muncul. Namun, tulisan ini tidak menyajikan semua praktik bisnis yang terjadi. Tulisan ini hanya menyajikan tiga hal pokok yang dianggap sebagai prototipe dan secara representatif diharapkan mewakili model-model bisnis yang terjadi dalam bencana (hlm 210).

Namun, ini bukanlah azab seperti dalam kisah Nabi Nuh tentang Tuhan yang murka. Penyebabnya adalah pengeboran minyak yang dilakukan PT Lapindo Brantas Inc. tiga bulan sebelum lumpur meluap. Kejadian ini tetap sebagai bencana lumpur Lapindo meski hingga kini pemerintah belum juga menentukan siapa yang bersalah atas bencana ini. Pemerintah gamang, sementara warga desa-desa yang rumahnya tenggelam malah semakin ditenggelamkan dalam kesulitan hidup sehari-hari karena mekanisme koruptif dan licik di lapangan.

*Juniaty Ginting, pustakawati Koran Jakarta | Sumber: Koran Jakarta, 21 Mei 2012.

*Rehal buku: Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas Di Sidoarjo/ Bosman Batubara dan Paring Waluyo Utomo/ INSISTPress, 2012.