Saat Tragedi Berada di Sirkum Kekuasaan*
Ironis memang. Tragedi kemanusiaan di depan mata ditangani pemerintah dengan cara tawar-menawar kepentingan politik
TANGGAL 29 Mei nanti menjadi hari sejarah kelabu bagi warga Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Hari itu, pada 2006, akibat aktivitas industri pertambangan yang dilakukan secara ceroboh oleh PT Lapindo Brantas, sebanyak 100 hingga 150 ribu meter kubik lumpur panas menyembur dari perut bumi dan tak terkendali hingga menjelma menjadi bencana kemanusiaan yang mengerikan. Lumpur Lapindo (seperti banyak orang Jawa Timur menyebutnya), jika dihitung hingga tahun ini, sudah enam tahun mengubur wilayah Sidoarjo, sebuah wilayah yang dulunya kawasan pertanian yang subur dan industri yang berpenduduk padat. Sekitar 13.237 kepala keluarga menerima dampak buruk dan harus hengkang dari kampung halaman mereka. Tragedi kemanusiaan itu, yang hingga sekarang masih berlangsung, menorehkan tangis duka, hilangnya harta benda penduduk, dan dampak psikologis yang tidak ringan pada masyarakat Sidoarjo.
Bila dilihat dari dampak dan derita rakyat yang tak tertangani dengan baik oleh pemilik industri dan pemerintah, peristiwa Lumpur Lapindo nantinya akan dicatat sebagai sejarah tragis kemanusiaan yang terabaikan.
Lewat buku Kronik Lumpur Lapindo, Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo, pengarang Bosman Batubara dan Paring Waluyo Utomo mencoba mengingatkan kita kembali untuk lebih respek melihat bencana lumpur itu dan menggugah pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperhatikan penderitaan masyarakat yang menjadi korban.
“Ide penulisan buku ini begitu saja menghampiri kami,” katanya seperti dikutip dalam catatan penulis. Dengan jujur penulis buku ini menyatakan bahwa menulis tentang Lumpur Lapindo tak ada bedanya dengan menulis biografi orang yang masih hidup. Itu karena peristiwa bencana dan kronik lain yang menyertainya hingga kini masih berlangsung dinamis.
Bisnis dan politik
Salah satu kelebihan buku ini ialah penulisnya yang sejak tragedi lumpur Lapindo menyembur melakukan pendampingan hukum kepada penduduk Sidoarjo yang menjadi korban bencana tersebut.
Jadi bisa dipastikan bahwa apa yang dituangkan dalam buku setebal 267 halaman ini begitu mengena dan dilengkapi data-data dari lapangan yang akurat. Dengan detail, misal, penulis mengungkap bagaimana sebelum peristiwa mengerikan tersebut terjadi ada usaha-usaha dari keluarga Bakrie untuk menguasai tanah milik penduduk demi memperluas area pertambangan mereka.
Operasi bisnis itu pun berjalan mulus meski pemerintah daerah dan provinsi juga punya perda tentang ruang kota yang menetapkan Sidoarjo sebagai daerah untuk permukiman pertanian dan industri. Di situlah terendus bahwa bencana Lapindo tidak terlepas atau sarat dengan kepentingan bisnis dan politik tingkat tinggi. Maklum, pada masa-masa awal bencana pemilik PT Lapindo Brantas adalah keluarga Bakrie yang juga memiliki pengaruh politik kuat di lingkar kekuasaan negara. Kala itu Aburizal Bakrie menjabat Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam buku ini juga diulas bagaimana pergumulan bisnis dan politik memengaruhi berlarut-larutnya penanganan dampak lumpur Lapindo yang merugikan rakyat. Juga, kekhawatiran penulis terhadap dampak semburan lumpur Lapindo yang belum bisa dihentikan dan bisa mengubur peradaban di Jawa Timur.
Penulis buku ini bahkan berani menyimpulkan penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang dihadapi korban serbatidak pasti. Itu terjadi lantaran sedari awal pemerintah bersikap gamang.
Awalnya keluar keputusan presiden yang meminta PT Lapindo Brantas bertanggung jawab atas segala hal terkait penanganan kasus ini. Tak sampai setahun, pemerintah merevisi kebijakan itu. Melalui perpres, pemerintah membagi ‘tanggung jawab’ antara PT Lapindo Brantas dan pemerintah.
“Bagi saya ini kebijakan yang aneh. Sebuah bencana kasatmata, tetapi diselesaikan secara politik,” ujar tokoh nasional asal Jombang, Jawa Timur, yang memberi pengantar dalam buku ini. Buku ini, jika dilihat dari kepentingan masyarakat, berhasil memberikan gambaran bagaimana penanganan sebuah bencana kemanusiaan di Tanah Air bisa ‘dilipat’ menjadi kepentingan politik karena ketidaktegasan pemerintah. Rakyat yang akhirnya menjadi bulan-bulanan penguasa dan (sekaligus) pengusaha.
*Soelistijono | Sumber: Media Indonesia – 27 Mei 2012.
*Rehal buku: Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas Di Sidoarjo/ Bosman Batubara dan Paring Waluyo Utomo/ INSISTPress, 2012.