Syair untuk Sebutir Padi*
Ketika seorang teman menanyakan apa padanan “Ohoi” di kawasan Maluku Tenggara di dalam sistem pemerintahan administratif saat ini, Roem Topatimasang mencoba menjelaskan “bahwa Ohoi, kira-kira, adalah teritori adat selevel Desa,” walau tidak sesederhana itu karena Ohoi di kawasan Nuhu Evav 1) bisa juga berdasar marga. Hedar Laudjeng yang juga ada ketika diskusi itu berkata: “kalau sudah mengerti maksudnya, tidak perlu cari padanannya lagi, apalagi mencocok-cocokkan dengan istilah administratif saat ini. Pakai saja Ohoi, sudah!,” tegas dan seperti menutup kemungkinan kompromi. Begitulah Hedar yang kami kenal.
Buku tipis “Dunia Orang Tompu” yang turun cetak hanya beberapa hari setelah wafatnya Hedar, mungkin seperti “manual kehidupan” Orang Kaili Tompu, salah satu suku tua di Sulawesi Tengah. Buku ini, kendati narasinya disiapkan oleh Hedar Laudjeng, Syahrun Latjupa dan Motoko Shimagami, dengan penyalaras akhir “kawakan” yang kami punya, Roem Topatimasang, sesungguhnya merupakan hasil kerja kolektif kolaboratif antara teman-teman Perkumpulan Bantaya dan i-i network (Reaserch and Action for Community Governance) Kawasaki City, Jepang. Mungkin anda akan beranggapan bagaimana bisa buku, yang prosesnya mulai digarap pada tahun 2008 dan baru tuntas turun cetak pada 2012, hanya 79 halaman saja? Selain kesibukan lain setiap anggota tim, juga rentang geografi Palu-Kawasaki City, saya percaya, bila anda sudah membaca habis buku ini, dengan pengertian dan penghayatan akan nilai-nilai yang ada di dalam buku ini, termasuk pendekatan etnografis yang digunakan, anda mungkin akan mengerti: mengapa diperlukan waktu 4 tahun untuk buku hanya 79 halaman ini.
Paragraf pembuka di atas hanya penggalan kisah, yang substansi penyikapannya nampaknya agak mirip dengan pengantar Hedar pada buku Dunia Orang Tompu ini. Hedar menulis, setelah dia bertemu dengan seorang tua di sebuah desa pedalaman Jepang yang menceritakan bagaimana pentingnya hubungan manusia dengan tanah, padi, hutan, Hedar terkejut dan melihat kesamaan pandangan dengan Orang Tompu di bukit Kalinjo, Sulawesi Tengah. Hedar yang juga orang Kaili itu menulis: “… Karena sebagian besar dari kita sendiri sebenarnya berlatar sosial dan budaya pedesaan juga, maka belajar memahami alam pikiran dan kehidupan kampung seperti Orang Tompu adalah, pada dasarnya, belajar memahami kembali bumi tempat kita berpijak. Rasanya itulah yang tersirat dalam peringatan Pak Tua Goto di Ishimushiro: agar –dalam ungkapan syair orang Kaili sendiri– le mabunto kita rabuntoina (kita tidak akan durhaka)!”
Frasa “durhaka” di atas lebih dimaksudkan memberi tekanan agar para Tupu (bisa berarti Tuhan, Dewa, Leluhur, Nenek/Kakek), Maya Mpae (Roh Padi), Anitu ri tana (Penjaga dunia bawah) dan Anitu ri laerava (Penjaga dunia atas) tidak marah dan mengirimkan bencana sehingga panen gagal.
Orang Tompu memang memiliki semacam “manual kehidupan” yang berisi ajaran tentang bagaimana manusia harus berhubungan dengan alam. Alam di sini bukan semata tanah, tanaman, hutan dan sebagainya, tetapi juga para “penjaga” alam: termasuk penjaga dunia atas dan penjaga dunia bawah. Begitu lengkapnya “manual” tersebut, karena ia dimulai dari asal-muasal alam dan manusia. Oleh Tupu, penciptaan alam dimulai dari tana sanggamu (tanah segenggam) yang dikais-kais oleh seekor ayam, lalu jadilah dunia. Hingga saat ini ada beberapa tanaman yang dipercaya Orang Tompu sebagai tanaman generasi awal sejak alam ini ada. Betapa pentingnya arti dan fungsi tanaman-tanaman itu, sehingga mereka harus dijaga demi terjaminnya keberlangsungan kehidupan.
Hewan, tumbuhan, tanah, makhluk halus para penjaga, bagi Orang Tompu adalah “subyek” yang mempunyai namanya sendiri, yang harus dikenali dengan benar, dan hanya boleh disebut pada waktu tertentu saja, seperti di dalam ritual adat. Begitu pentingnya pengetahuan tentang nama-nama tersebut, bisa dilihat dalam ungkapan bahasa Kaili (bahasa Orang Tompu): “tana, poiri, apu, pae, naria pura sangana. Ane kita mopakande tana, nikakai sangana. Ane le rasanita sangana…makajamo” (tanah, angin, api, air, semua ada namanya. Kalau mau menggarap tanah, harus tahu nama tanah sesungguhnya, dan kita sapa. Kalau tidak tahu nama sesungguhnya, kita bisa dibikin celaka).
Tanah adalah subyek! Tanah bukan obyek! Sesat pikir yang menganggap tanah adalah obyek inilah yang menguasai “kepintaran” manusia modern, sehingga pemuliaan terhadapnya sama sekali tidak ada. Nihil! Seenaknya saja para penguasa negeri ini, baik penguasa pengetahuan di Perguruan Tinggi maupun penguasa politik di kursi-kursi kekuasaan, memberlakukan tanah semena-mena: dikonversi, direkayasa, dijejali pupuk-pupuk kimia, dan diperlakukan secara bedebah. Bibit-bibit diperjual-belikan. Bibit tanaman, yang bagi kebanyakan pemulia kehidupan seperti Orang Tompu, adalah kehidupan itu sendiri seperti juga anak-anak kandung kita sendiri, diperjual-belikan! Inilah sisi sesat dan bebal manusia modern.
Bab 5 dari buku ini, Padi Yang Mulia, bagi saya adalah Bab yang begitu menyentuh bahkan mengharukan. Sebuah syair di laman pemuka Bab, tentang bagaimana perasaan Orang Tompu terhadap padi:
Bandera imposarara iya no bandera
Noilimo uwe mata
uwe mata nolintomo
Kudungga nte uwe mata
Saudaraku yang menyembul seperti bendera
Air matanya sudah mengalir
Air matanya sudah tergenang
Akan kujemput dengan air mata
Padi, bagi Orang Tompu adalah Emas: Nitopotove kami mpu ngena pae hi pade bulava (Kami lebih menyayangi padi daripada Emas). Dari mulai mempersiapkan lahan, menanam, hingga panen, semua harus disiapkan dengan benar sesuai adat. Syair voja di atas, menunjukkan bagaimana perasaan terdalam Orang Tompu, bahkan terhadap hanya sebutir padi. Ia dipotong lewat Nokato(proses pemotongan) dengan menggunakan Pua (ani-ani) dengan sangat hati-hati. Bahkan Orang Tompu bisa menangis membayangkan sebutir padi yang tersisa dan sendirian, sehingga mereka merasa perlu segera memotong dan meletakkannya di lumbung bersama padi-padi yang lain. Mereka menggendong tumpukan padi yang sudah dipotong itu, layaknya menggendong seorang bayi, dengan penuh perasaan dan kasih sayang. Tidak seperti manusia modern yang membabatnya begitu saja, sebagian bahkan menggunakan mesin, dan meletakkan padi-padi itu secara serampangan. “Ane le ria pae, le ria ada” (kalau tidak ada padi, maka tidak ada adat lagi). Di sini, bila kita pakai perspektif Orang Tompu ini, kita paham betapa kita dan kebanyakan orang modern, sesungguhnya tidak beradat!
Terhadap kehidupan, dan seluruh Subyek yang ada di dalamnya, yang profan ataupun terutama yang gaib, Orang Tompu akan senantiasa berjanji untuk menjaganya. Pada Bab 10 dari buku yang disetting dan dilayout oleh “Rumah Pakem” di bawah kendali Roem Topatimasang, dengan tampilan yang tampak sederhana tetapi memukau ini, anda dapat menikmati narasi dan gambar dari prosesi “perjanjian Orang Tompu dengan makhluk halus, para Anitu, para penjaga jagad raya” demi keberlangsungan kehidupan.
Siapa Lebih Beradab? Sudah sejak lama saya tidak begitu menyukai wacana “civil society” yang dipaksa konstruksikan oleh kaum “cendekia”, dan juga lembaga-lemabaga kerjasama pembangunan internasional. Secara etimologis saja, dan juga dari segi sejarah dan latar belakangnya, “civil society” jelas bias Orang Kota: kata “civil” itu berasal dari bahasa latin “civis”, dan dari “civis”lah muasal “city” di dalam bahasa Inggris. “Keberadaban” kemudian menjadi wacana Orang Kota, “Orang Modern”.
Kita mengerti bila kemudian, demi syahwat modern “Orang-Orang Kota” itu, kehidupan masyarakat di pedalaman diluluh-lantakkan oleh mesin-mesin kekuasaan politik dan pengetahuan. Karena di benak para penguasa syahwat ini, keberadaban bukanlah pemuliaan terhadap alam, apalagi makhluk halus.
Agar jelas, saya tidak anti asing! Saya hanya ingin mengatakan betapa kita sudah begitu lama tenggelam dan dibuat repot oleh wacana-wacana yang begitu asing: Wacana-wacana yang –dalam wacana masyarakat Nuhu Evav di Maluku Tenggara– dikatakan tidak “berdiri di atas tanah sendiri, dengan kaki sendiri, menuju matahari.”
Dari Pengantar, Bab pertama hingga akhir, dengan sistematis anda bisa menikmati “manual kehidupan” yang ditulis dengan bahasa yang begitu mengalir seperti orang bertutur. Kendati ada beberapa istilah teknis dan praktis, tetapi selalu ada greget terkandung di dalamnya, dengan rujukan pada nilai dan kepercayaan Orang Tompu. Seperti juga kisah Randomayang di Mamuju Utara, atau Nen Mas Il di Ohoi Evu, Maluku Tenggara, dan kisah-kisah lain yang berhubungan dengan kehidupan dari berbagai daerah inilah yang semestinya banyak dipublikasikan. Bukan melulu hanya karya-karya terjemahan, yang terjemahannya pun sering tidak bermutu.
_________________
1) Secara harfiah berarti “tanah,” atau “pulau di seberang”. Di dalam pengertian berati “tanah atau bumi kami”. Di dalam wacana hari-hari di Maluku Tenggara sering digunakan istilah “Evav” saja. Sementara kesalahan fatal berbau kolonial resmi untuk menamakan kawasan tersebut saat ini, adalah Kei. Di dalam peta Maluku Tenggara kita kenal Kei Kecil dan Kei Besar. Menurut riwayat, ketika bangsa Portugis menginjak Nuhu Evav, mereka bertanya dalam nama pulau itu, dan dijawab oleh masyarakat “bet kei..”, yang berarti “kami tidak mengerti apa yang bicarakan.” Oleh Portugis pulau itu kemudian dinamakan Kei. Penjajah Portugis kemudian menggunakan nama sesat Kei bagi kawasan tersebut. Dan penggunaannya dilanjutkan pula oleh negara ini, hingga hari ini.
*Oleh: Saleh Abdullah. 4 September 2012 | Lansiran dari: facebook: Saleh Abdullah
*Rehal buku: Dunia Orang Tompu/ Hedar Laudjeng, Motoko Shimagami, Syahrun Latjupa/ INSISTPress, 2012.