Sisi Lain Sebuah Perjalanan

Sisi Lain Sebuah Perjalanan*

Sebagian besar buku tentang catatan perjalanan selalu membahas eksotisme sebuah daerah. Deskripsi keindahan lokasi wisata dibumbui dengan pesona kuliner, penginapan, dan biaya murah. Tujuannya tentu agar pembaca tertarik untuk datang ke daerah tersebut. Catatan tersebut serupa brosur promo dan panduan wisata untuk menarik minat pelancong.

Karena hanya memberikan deskripsi permukaan, sisi lain sebuah tempat luput untuk ditampilkan. Padahal, narasi sisi lain ini biasanya penting untuk proses pembelajaran. Di sinilah letak keunikan buku Sigit Susanto yang berjudul Menyusuri Lorong-Lorong Dunia yang terbit dalam tiga jilid ini. Sigit adalah orang Indonesia yang menetap di Swiss. Tiga jilid buku tersebut merupakan kumpulan catatan perjalanannya mengunjungi 36 negara di dunia.

Yang menarik, ia tidak bertutur mengenai keindahan sebuah daerah semata. Lebih dari itu, Sigit menulis daerah-daerah yang ia kunjungi dan mengaitkannya dengan referensi sejarah, sastra, politik, termasuk juga kebudayaan. Tak heran jika buku ini pun kaya referensi. Dengan kelindan antara berbagai sudut pandang, cakrawala catatan ini menjadi lebih luas.

Dalam jilid satu dan dua, Sigit membahas tentang sastrawan-sastrawan besar yang berasal dari negara tersebut. Sebagai contoh Franz Kafka dari Ceko dan James Joyce dari Irlandia. Dengan pembahasan yang renyah dan mengalir, pembaca diajak untuk berkenalan dengan pemikiran-pemikiran yang melekat dengan daerah tersebut. Pembaca juga diberikan perspektif untuk melihat lebih dalam dari kunjungan di sebuah lokasi wisata.

Sementara di jilid ketiga, Sigit memotret hal berbeda dibanding sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri, nuansa murung begitu terlihat di sepanjang catatan ini. Masa lalu yang kelam, diskriminasi akses, dan tragedi kemanusiaan telah menjadi bumbu yang melekat di sebuah daerah.

Simak saja catatan perjalanannya ketika berkunjung ke Hongkong, Swiss, dan Kamboja. Di Hongkong, Sigit menulis tentang perjuangan buruh migran Indonesia. Kebanyakan buruh migran Indonesia berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun ada peraturan yang melindungi buruh migran, nyatanya mereka sering mendapatkan diskriminasi. Jika apes, buruh migran akan mendapatkan majikan yang kasar dan suka menyiksa.

Gaji mereka pun sering ditahan tanpa alasan yang jelas. Karena tekanan harus mengirim uang ke desa asal, mereka terjebak untuk meminjam uang di rentenir dengan bunga yang tinggi. Seringkali hutang ini tidak terbayar. Lingkaran setan yang sungguh menjebak. Victoria Park menjadi tempat berkumpul para buruh migran sekadar untuk melepas rindu dengan kampung halaman.

Di Swiss, Sigit menulis tentang 34 buruh asal Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan namun hanya diberi tempat tinggal di bekas kontainer. Mereka ditipu perusahaan tersebut karena hanya diberi fasilitas seadannya. Gaji yang diterima pun tidak layak, sekitar Rp 2 juta per bulan. Bandingkan dengan gaji buruh pabrik di Swiss yang berkisar di angka Rp 34 juta per bulan.

Sedangkan dalam perjalanan ke Kamboja, Sigit memotret kesengsaraan rakyat negeri tersebut selama kekuasaan rezim Khmer Merah. Lebih dari satu juta penduduk Kamboja yang berseberangan dengan rezim dibunuh. Sisa-sisa episode menyedihkan itu masih terlihat sampai saat ini. Penjara-penjara yang dulu digunakan untuk menahan warga masih utuh.

Wajah kelam masa lalu ini juga terekam dari warga korban ranjau yang dipasang Khmer Merah. Banyak warga yang kehilangan tangan maupun kaki karena terkena ranjau. Salah satunya adalah penjual buku yang dikenal oleh Sigit. Perjalanan ke Kamboja adalah perjalanan memanen duka.

Dengan menampilkan jejak historis, Sigit berhasil menampilkan sisi lain sebuah daerah yang selama ini luput dikisahkan. Karena itu catatan perjalanan ini layak dibaca oleh siapapun yang ingin mendapatkan hikmah dari sebuah perjalanan.

*Wisnu Prasetya | Sumber: wisnuprasetya.wordpress.com – 18 September 2012.

*Rehal buku: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan Jilid 3/ Sigit Susanto/ INSISTPress, 2012.