Menimbang Kembali Transgenetika

Bayangkan bagaimana bila seekor ternak memiliki ciri-ciri dari wujud ternak lainnya: kepalanya berbentuk babi, bertanduk kambing, badan atasnya berbulu domba, badan bagian belakangnya berasal dari sapi perah, dan yang mengejutkan lagi kaki belakangnya adalah kaki anak manusia. Tentu kalau ini mewujud di sekitar kita, tentunya masyarakat berduyun-duyun melihat, meramal-ramal tentang peristwia yang akan terjadi, atau bahkan para “orang kaya” berani menawar harga yang tinggi.

Syukurlah, ini hanya gambar sampul buku “ Bioteknologi, Imperialisme & Kejahatan Globalisasi” terbitan Insist Press. Memang, dari sampulnya, buku ini menggelitik pembaca. Pasalnya, sebuah jarum suntik yang di dalamnya berbagai macam gen ( digambarkan dengan bayi, sapi, domba, dan babi) diinjeksikan ke dalam ternak dan menghasilkan ternak seperti yang telah digambarkan di atas.

Buku ini mencoba mendedah masalah bioteknologi, transgenetika dari sisi yang mungkin saja luput dari liputan banyak orang. Kemajuan sains dan teknologi, dan kemudian bersimbiosis, menjadi harapan baru sebagai pemecah berbagai masalah dunia. Permasalahan yang sering dibawa ke permukaan adalah kemiskinan, kelaparan, dan masih banyak lagi. Maka tak heran banyak usaha berbagai negara segera ingin mengentas kemiskinan, ancaman kelaparan yang mendera negerinya.

Di bidang pertanian, kehandalan teknologi dan ilmu pengetahuan modern diperlukan untuk menggantikan solusi kuno yang dinilai kurang cepat dalam menyelesaikan permasalahan di bidang tersebut. Apalagi, dunia pertanian menghadapi berbagai macam problem. Masalah hama, daya tahan produk pertanian, dan penyimpitan lahan pertanian menjadi permasalahan yang segera dicarikan solusinya.

Bioteknologi dan transgenetika hadir menjawab tantangan dunia pertanian tersebut. Bioteknologi, yang berkecimpung dalam dunia pertanian, terdiri dari dua kelompok teknologi utama. Kelompok pertama adalah rekayasa genetis (genetic engineering). Teknologi ini melakukan semacam proses ” gunting dan tempel” bagian tubuh makhluk hidup, termasuk gen, untuk menciptakan makhluk yang unggul.

Kelompok kedua adalah kultur jaringan (tissue culture), yaitu penanaman sel yang telah diisolosi dari jaringan atau potongan kecil jaringan in vitro (dalam tabung) dalam medium biakan (Adiwibowo, 1995). Tulang punggung pengembangan teknologi baru ini adalah teknik rekombinasi DNA. Dengan teknik ini, DNA suatu makhluk hidup dipindahkan ke makhluk hidup jenis lain, bahkan yang sangat jauh hubungan kekerabatannya (hal. 140).

Proses “potong dan temple” inilah yang diharapkan mampu menjawab permasalahan dunia pertanian dewasa ini. Gen dari tanaman tertentu, atau makhluk tertentu diinjeksikan ke dalam tanaman/hewan tertentu sehingga tanaman/hewan tersebut kelak menjelma menjadi tanaman/hewan yang tahan terhadap hama, tidak perlu insektisida untuk mengendalikan hama, hasil panen melimpah dan tahan lama dan yang paling penting pendapatan petani meningkat pesat. Benarkah demikian?

Artikel Martin Khor, Direktur Third World Network Malaysia, “Awas, Bahaya Tanaman Rekayasa Genetis Intai Lingkungan” menuliskan ancaman yang ditimbulkan oleh tanaman transgenetika di antaranya adalah ada kemungkinan tanaman itu sendiri kelak menjadi gulma, atau tumbuhan yang tidak diinginkan di ladang, bertindak sebagai perantara masuknya gen-gen asing ke tumbuhan liar yang kemudian berubah menjadi gulma, tanaman rekayasa mengandung virus akan mudah menciptakan virus-virus baru yang mungkin lebih intensif menimbulkan penyakit baru pada tumbuhan, tanaman yang direkayasa untuk menghasilkan senyawa beracun seperti obat-obatan dan pestisida dapat menjadi ancaman yang membahayakan organisme lain (hal. 113-114).

Di bidang penanganan hama, para ilmuwan melakukan eksperimen dengan menyisipkan gen penghasil Bt (Bacillus thuringensis), ke dalam beberapa jenis tanaman, sehingga tanaman tersebut dapat menghasilkan toksin Bt sepanjang musin tanam. Tiga tanaman pengahasil Bt yang dihasilkan di laboratorium diantaranya: jagung, kentang, dan kapas. Ketiganya ini telah disetujui oleh Badan Perlindungan Lingkungan (Enverimontal Protection Agency/EPA) pada tahun 1995 dan siap dikomersilkan ke penjuru dunia.

Perlu diketahui Bt merupakan pestisida organik yang sangat berharga, dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, dan yang pasti telah digunakan dalam dunia pertanian selama berpuluh tahun. Bt adalah sejenis bakteri tanah yang racunnya mempunyai kombinasi efektifitas unik untuk melawan hama dan penyakit, tetapi aman bagi organisme lain.

Namun, keberadaan tanaman transgenik dapat mengancam keberadaan Bt tersebut. Pasalnya, komersialisasi tanaman Bt diketahui akan meningkatkan kekebalan serangga terhadap Bt dan meningkatkan kekebalan terhadap toksin, akhirnya Bt tak menjadi berdaya dalam membasmi hama. Jika ini terjadi maka, perilaku petani menggunakan insektisida buatan akan kembali terulang, dan tentunya dengan dosis yang lebih tinggi.

Indonesia, sebagai negara agraris dan berpotensi sebagai pangsa pasar penjualan temuan-temuan tanaman/hewan transgenik harus matang-matang memikirkan penggunaan teknologi ini. Jangan sampai tujuan untuk mensejahterakan masyarakat malah menjadi bumerang. Pihak berwenang harus lenih jeli, selektif, memperitimbangkan untung-ruginya dari segi ekonomi, ekologi, social, budaya, dan kesehatan.  Informasi mengenai bioteknologi, tanaman/hewan transgenetik sebisa mungkin dapat diakses masyrakat luas, khususnya para petani.

Buku ini, meskipun terbitan lama, masih relavan dengan perkembangan  dunia bioteknologi, masalah transgenetika. Setidaknya buku ini menjadi penyeimbang dari genjarnya kampanye penggunaan bioteknologi, budidaya tanaman/hewan transgenetika yang terkadang hanya menonjolkan sisi keuntungannya semata, tanpa memaparkan bahaya yang berkelanjutan.

*Pengulas: Kaha Anwar, pegiat MJS Press. Oktober 2012.

*Rehal buku: Bioteknologi: Imperialisme Modal & Kejahatan Globalisasi/ Hesty Widayanti  dan Ika N. Krishnayanti (ed.)/ INSISTPress dan Konphalindo, 2003.