Hak Cipta: Solusi Kesejahteraan Seniman atau Alat Kapitalisme

Hak Cipta: Solusi Kesejahteraan Seniman atau Alat Kapitalisme*

Masih ingat Inul Daratista? Pedangdut yang sempat didamprat Rhoma Irama karena goyangannya yang dianggap menjual sensualitas. Kali ini, Inul Daratista kembali dirundung masalah. Soal tuduhan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) terhadap bisnis karaoke yang tengah dijalani istri Adam Suseno itu. Karena telah melanggar aturan hak cipta dan tidak membayar royalti.

Inul dituduh membayar royalti terhadap karya musik musisi Indonesia dengan harga yang tidak layak. Syahdan, sebagai pengampu atas hak cipta musisi Indonesia YKCI menuduh Inul memakai karya musisi Indonesia, untuk kepentingan bisnisnya semata. YKCI menilai Inul dan bisnis karaokenya, tidak mengindahkan hak dan kewajiban atas karya cipta.

Guna melerai konflik ini, Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel datang dengan gagasan cerdas. Dalam bukunya yang berjudul, Dunia Tanpa Hak Cipta. Sepasang ilmuwan politik dan budaya asal negeri Belanda ini menjelaskan bahwa sebuah karya cipta ketika dia sudah dilabeli dengan hak cipta, pasti akan menimbulkan masalah. Smiers dan Marieke melihat hak cipta sebagai bentuk privatisasi terhadap karya.

YKCI mengamini paradigma atas lahirnya hak cipta yang berfungsi sebagai usaha penjagaan sebuah karya dari tindak pembajakan. Serta hak cipta diyakini akan memberikan penghasilan (income) bagi para seniman. Tanpa hak cipta, kita tidak akan pernah mendapatkan semua film, musik, dan novel yang kita sukai. Tidak akan ada lagi insentif dalam menciptakan karya-karya tadi. (hlm 13)

Industri, khususnya, senang menggunakan argumen ini. Tetapi, para seniman dan sebagian besar organisasinya juga punya pendapat. Bahwa mereka juga bisa bangkrut jika sumber penghasilan mereka lenyap. Atas hal ini kemudian menyempurnakan lahirnya gagasan hak cipta.

Tapi dalam buku ini Smiers dan Marieke melihat hak cipta seringkali tidak dimiliki oleh si pencipta, melainkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang kebudayaan. Mereka tidak hanya menguasai produksi atas sebuah karya. Tetapi juga distribusi dan pemasaran sebagian besar film, musik, teater, karya sastra, dan seni visual.

Selama ini kita dikelilingi asumsi bahwa hak cipta adalah ekspresi dari peradaban kita. Artinya kita merawat para seniman dengan baik dan menjamin mereka mendapatkan penghargaan yang layak atas karya mereka. Untuk itu, melalui buku ini dijelaskan bahwa hak cipta justru gagal memenuhi harapan itu.

Hak cipta memberikan kepada para pemegangnya sejenis kontrol eksklusif atas penggunaan sebuah karya, dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Hak cipta sejauh ini adalah bentuk lain dari penguasaan pasar. Mereka adalah sejumlah konglomerat global yang memiliki kekuasaan penuh terhadap produksi, distribusi, dan pemasaran.

Banyak sekali uang yang dipertaruhkan dalam hak cipta, yang mengingatkan kita bahwa para pemegang hak cipta akan sangat menderita jika kita menghilangkan sistem tersebut. Tetapi seperti yang terungkap dalam buku ini, mereka sendiri sudah cenderung mengarah ke sistem kontrak, mensponsori produk, dan mengarahkan keuntungan dari iklan sembari menarik diri dari hak cipta. (hlm 89)

Hak cipta memiliki konotasi yang cukup emosional sebagai salah satu cara yang diharapkan membuat pekerjaan dan kehidupan seniman menjadi lebih mudah. Bahkan, hak cipta telah berkembang menuju ke pelbagai arah yang berbeda-beda. Karena itu banyak aspek yang memerlukan pertimbangan. Buku ini sengaja lebih didedikasikan untuk menelusuri persoalan-persoalan itu.

Pokok bahasan buku ini adalah perhatian pada para seniman dan perantara mereka, yang tak terhitung jumlahnya. Yang melihat soal bagaimana mereka bisa menjual karya mereka dan mendapat penghidupan yang layak, tanpa ada lagi kekuatan dominan di pasar yang mendesak mereka ke luar dan tersingkirkan dari mata dan telinga publik. Juga bagaimana para penggemar bebas memilih berbagai jenis ekspresi sesuai cita rasa mereka sendiri. Dan bagaimana ranah publik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas seni tidak lagi diprivatisasi, tapi selalu menjadi milik bersama.

Buku ini layak dibaca oleh siapa pun, bahkan kalangan seniman (selebriti). Melalui buku ini dijelaskan bahwa konflik yang sesungguhnya terjadi antara Inul Daratista sebagai pebisnis karaoke dan YKCI. Sebenarnya terletak pada penyalahgunaan atas karya seni. Yang selama ini didominasi oleh pasar, baik itu perusahaan musik, film, ataupun pebisnis karaoke macam yang dilakukan Inul. Guna kepentingan bisnis semata dalam meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam hal ini, Dunia Tanpa Hak Cipta, juga ingin mempertanyakan apakah hak cipta dan lembaga pengampunya benar menjalankan tugas. Artinya dana yang selama ini benar masuk dan tersalurkan kepada seniman yang berhak atas itu. Nyatanya di Indonesia tidak begitu, lihat saja almarhum Mbah Surip. Keuntungan atas lagunya yang terkenal tidak mengalir ke dirinya, melainkan ke perusahaan yang telah memanfaatkannya.

*Oleh: @student_hijo. Lansir dari: jakmud.blogspot.com – 3 Desember 2012.

*Rehal buku: Dunia Tanpa Hak Cipta/ Joost Smiers dan Marieke van Schijndel/ Hastini Sabarita (penerjemah), Bonar Saragih (penyunting)/  INSISTPress, 2012.