Menimbang Kembali Sistem Ekonomi Kerakyatan

Menimbang Kembali Sistem Ekonomi Kerakyatan*

Kebijakan ekonomi sering bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan rezim. Maka, konsep pembangungan ekonomi senantiasa disesuaikan dengan selera dan kepentingan rezim. Dalam konteks Indonesia, pemerintah dituding dalam kebijakan ekonomi cenderung mengikuti paradigma neoliberalis. Pemerintah juga disorot tidak menjalankan program prorakyat.

Dalam buku ini, Dawam Rahardjo mencoba menegaskan bahwa ekonomi kerakyatan merupakan sistem yang sangat sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Sistem ini dapat mengubah paradigma pembangunan yang cenderung menggadaikan kedaulatan dan membuat kemerosotan di bidang pangan, energi, dan lingkungan hidup.

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian: paradigma pembangunan, ekonomi kerakyatan, dan rekayasa ulang manajemen pembangunan.

Pembangunan yang disebut juga modernisasi berpusat pada manusia dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam guna mencapai kemakmuran generasi masa kini (halaman 7). Dampaknya akan menerpa generasi mendatang, seperti kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran sumber daya alam.

Ini harus diubah agar pembangunan sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang berlandaskan rakyat sebagai pemegang kedaulatan ekonomi dan membebaskan rakyat dari cengkeraman sistem ekonomi kapitalis (halaman 20).

Namun, demokrasi ekonomi harus diimbangi dengan semangat juang dan kerja keras untuk mengikis kemiskinan. Sampai kini, jumlah orang miskin 29 juta lebih. Ekonom Estonia, Ragnar Nurkse, menemukan kenyataan bahwa negara-negara berkembang sulit beranjak dari kemiskinan karena produktivitasnya rendah (halaman 39).

Bagian kedua buku memberi solusi untuk bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan dengan menawarkan konsep ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan diperkenalkan Bung Hatta tahun 1930-an (halaman 48). Sistem ekonomi kerakyatan menitikberatkan pembangunan atau perkembangan ekonomi tidak dimotori negara maupun pasar, melainkan rakyat (halaman 94).

Jadi, anggota masyarakat sebagai subjek perekonomian yang memiliki konsekuensi luas terhadap penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan. Revrisond Baswir menyebutkan bahwa sebagai subjek perekonomian Indonesia, setiap anggota masyarakat harus memiliki alat-alat produksi. Mereka turut mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Rakyat juga ikut menanggung akibat dari pelaksanaan keputusan-keputusan ekonomi tersebut.

Bagian terakhir buku ini menegaskan harus ada rekayasa ulang manajemen pembangunan. Strategi pembangunan negara-negara berkembang harus dievaluasi, dimulai dari pertanian ataupun bisa langsung loncat ke industrialisasi (halaman 124).

Indonesia sebagai negara berkembang harus mengawali pembangunan dari sektor pertanian. Walaupun kondisi Indonesia saat ini sudah mulai melompat ke industri manufaktur, untuk memulai lagi dari awal pembangunan pertanian belumlah terlambat (halaman 135).

*Pengulas: Yuli Afriyandi, Mahasiswa Pascasarjana UII Yogyakarta. Tulisan ini pernah dimuat Koran Jakarta – Selasa, 11 Desember 2012. .

*Rehal buku: Pembangunan Pascamodernis: esai-esai ekonomi politik/ M. Dawam Rahardjo/ INSISTPress dan INFID, 2012.