Menggugat Monopoli Hak Cipta

Menggugat Monopoli Hak Cipta*

Banyak fakta menunjukkan bahwa hak cipta tidak sepenuhnya mampu menjamin kemakmuran para seniman. Royalti seniman-seniman disunat, bahkan tidak dibayarkan oleh perusahaan, meski karya mereka best seller di pasaran.

Kesemarakan jagat budaya populer di bawah asuhan industri selalu melahirkan karya-karya baru di bidang musik, film, lukisan, fotografi, sastra, maupun karya seni lainnya. Ketatnya persaingan dalam produksi budaya populer tak ayal diwarnai problematika hak cipta (copy right) yang makin sensitif, khususnya terkait plagiasi dan pembajakan.

Menurut Joost Smiers dan Marieke van Schijndel, hak cipta merupakan hak kekayaan intelektual yang mencakup kepemilikan (right of ownership) sebagai aspek utamanya (halaman 2). Bagi seniman atau pencipta, hak kekayaan intelektual adalah nilai eksklusif sebagai bentuk apresiasi atas hasil jerih payahnya. Hak cipta untuk mengamankan integritas sebuah karya dari berbagai tindakan yang merugikan secara ekonomis.

Industri hiburan menggenggam hak cipta sebagai kewenangan memproduksi, menggandakan, dan mendistribusikan karya seorang seniman atau kreator. Hak cipta menjadi pengabsah untuk melakukan monopoli serta kontrol atas karya-karya yang diterbitkan atau diedarkan. Selain itu, juga alat dominasi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Banyak fakta menunjukkan bahwa hak cipta tidak sepenuhnya mampu menjamin kemakmuran para seniman. Royalti seniman-seniman disunat, bahkan tidak dibayarkan oleh perusahaan, meski karya mereka best seller di pasaran.

Realitas hak cipta yang penuh dengan nuansa negatif itulah yang digugat Smiers dan Schijndel dalam buku Dunia Tanpa Hak Cipta. Buku yang tersaji dalam lima bab ini memaparkan argumen-argumen menentang hak cipta yang dianggap sudah tidak relevan lagi sehingga perlu dihapus. Diajukan pula beberapa usulan alternatif pengganti hak cipta demi menjaga kelangsungan industri budaya yang sehat.

Smiers dan Schijndel mengemukakan selain menimbulkan monopoli pasar, hak cipta juga telah merampas pengetahuan lokal masyarakat. Hak paten justru menjadi alat untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan masyarakat lokal (halaman 48). Banyak sekali seni tradisional seperti lagu atau tari, pengetahuan kolektif masyarakat tradisional seperti pembuatan jamu atau obat herbal, dalam perkembangannya, dipatenkan oleh individu atau perusahaan.

Maka, tindakan konglomerasi karya budaya dianggap bertentangan dengan upaya pemeliharaan pengetahuan, kebudayaan, serta kreativitas di wilayah publik. Hak cipta perlu diselaraskan dan dibatasi dengan kepentingan kolektif masyarakat yang meliputi aspek sosioekonomi, makroekonomi, ekologi, dan budaya.

Para pengkritik berikhtiar meletakkan kembali hak cipta di jalur yang semestinya dengan mengurangi periode atau batas hak cipta dan prinsip penggunaan yang adil (fair use).

Smiers dan Schijndel sendiri kukuh berargumen perlunya menghapuskan hak cipta yang diiringi dengan penerapan undang-undang persaingan untuk mengatur dan mendukung keberagaman konten dan kepemilikan suatu karya di pasar budaya. “Tidak ada gunanya berpikir tentang atau bertindak terhadap hak cipta kecuali jika kondisi pasar juga direstrukturisasi” (halaman 143).

Buku ini memperluas cara pandang masyarakat dalam memaknai hak cipta. Di satu sisi hak cipta memang bentuk penghargaan bagi seniman. Tetapi, di sisi lain, tak lebih “pepesan kosong” kapitalisme yang dijadikan dalil untuk mengeruk keuntungan tak terbatas dari taktik konglomerasi yang dijalankannya. Argumentasi-argumentasi kritis buku ini mengajak pembaca untuk menilai ulang kasus-kasus sengketa hak cipta di panggung hiburan dalam negeri maupun jagat internasional.

*Pengulas: Musyafak, staf Balai Litbang Agama, Semarang. Lansir dari: Koran JakartaJumat, 14 Desember 2012.

*Rehal buku: Dunia Tanpa Hak Cipta/ Joost Smiers dan Marieke van Schijndel/ Hastini Sabarita (penerjemah), Bonar Saragih (penyunting)/  INSISTPress, 2012.