Penanganan Bencana Sebagai Muatan Lokal*
Secara geologis Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap bencana gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, bahkan tsunami. Bencana seolah menjadi sebuah rutinitas yang tak terelakan. Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam buku “Hidup di atas Patahan.” Penulis mengisahkan pengalaman pencegahan bencana khusus di tiga daerah. Yaitu Bengkulu Utara, Sinjai dan Maluku Tenggara.
Kisah pertama, kondisi pascagempa 7,9 skala richter yang melanda bengkulu pada 12 September 2007. Bengkulu yang merupakan salah satu wilayah paling rentan gempa di Indonesia, ternyata marak terjadi penambangan pasir pantai yang berlangsung sejak 1984 silam. Akibatnya, berderet pula beragam soal yang berpotensi menjadi bencana sampai saat ini.
Selanjutnya di ceritakan pula tentang daerah Sinjai. Angin kencang melanda kawasan ini antara Desember-Maret setiap tahun. Angin yang menerbangkan lembaran-lembaran atap seng rumah warga menjadi rutinitas. Sehingga warga menangkal fenomena ini saban tahun ini dengan menjepit atap rumah mereka menggunakan batang bambu.
Yang terakhir, dikisahkan tentang upaya masyarakat Kei di Maluku Tenggara. Ancaman bencana juga mengintai mereka karena letak Maluku Tenggara yang berada di jalur api dan memungkinkan terjadi gempa. Meskipun yang terjadi hanyalah gelombang pasang yang saban tahun selalu menghantui. Namun, dengan merujuk kasus dea Warbal yang kehilangan sumber air karena gelombang pasang, meyadarkan bahwa Indonesia lambat laun akan kehilangan pulau jika didiamkan saja.
Kepulauan Kei di Maluku Tenggara yang terbentuk dari pulau-pulau atol kini harus menghadapi ancaman kekurangan air bersih akibat pertumbuhan populasi dan permukiman berikut semakin dibukanya lahan hutan. Sementara itu, pemerintah meresponsnya dengan mengirimkan bibit jati putih yang merupakan tanaman penyerap air.
Muatan lokal
Di masing-masing daerah yang rentan bencana tersebut, bersama tim Pengurangan Risiko Bencana (PRB) berupaya memasukkan wacana PRB sebagai isu dalam dunia pendidikan. Di Sinjai misalnya, Cara sekolah yang berbeda dalam memasukkan PRB dalam pelajaran mengundang pandangan yag tak seragam. Ada yang mengganggap bahwa kalau sekadar menyelipkan atau praktik di waktu tertentu saja, dikhawatirkan tidak berkelanjutan. Karena itulah capaian progam ini mendorong dan menjadikannya sebagai muatan lokal atau menjadi mata pelajaran tersendiri.
Tak jauh berbeda dengan Sinjai, di Maluku Tenggara juga menyaring dan menggodok materi-materi yang kelak dimasukkan dalam muatan lokal kebencanaan. Meski begitu para peserta didik masih kebingungan memahami istilah ‘muatan lokal’ itu sendiri.
Dunia pendidikan Bengkulu Utara pun tak mau kalah, mereka juga mengajarkan muatan lokal kebencanaan di sekolah-sekolah. Namun, bukan berarti pekerjaan telah selesai. Harapan lain muncul, mengenai prakarsa dan inisiatif muatan lokal tersebut. Adanya perubahan perspektif dari pemerintah berkaitan soal kebencanaan, tidak semata behubungan dengan tanggap darurat saja.
Terbelit birokrasi
Hal yang lebih mencengangkan, pemerintah Bengkulu membangun sebuah gudang logistik pada pertengahan 2011 lalu. Namun sayangnya, pembangunan tersebut hanya seratus meter dari bibir pantai dengan tinggi sepuluh meter.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Layaknya istilah itu pantas ditujukan pada wilayah tersebut. Tak hanya bencana yang membelit. Tantangan paling dahsyat justru datang dari para pengambil keputusan yang membuat para tim PRB semakin tercekik.
Kapasitas pemerintah yang tidak memahami kebutuhan daerah dan wilayah ditambah proyek pemerintah dalam menjalankan tugas negara yang sering tak bersahabat dengan wilayah proyek itu dibangun. Selain itu kesan lepas tangan dari masalah bencana pasca proyek terlihat jelas.
Salah satu faktor penyebab wilayah Sinjai sangat ketinggalan bila dibanding progam yang sama di Bengkulu dan Maluku Tenggara adalah tidak intens dan lemahnya pendekatan formal ke pengambil kebijakan. Persoalan lainnya yang menghambat perkembangan program PRB di Kabupaten Sinjai ini berkaitan dengan benturan kepentingan politik. Pengaruh Makassar sebagai ibu kota provinsi sangat besar terhadap Sinjai, terutama menjelang pemilihan gubernur pada 2013 (hal 57). Kondisi politik inilah yang memengaruhi program-program yang dicetuskan oleh tim PRB.
Sedangkan di Maluku Tenggara, ada cerita perjuangan Fritz Elmas dan Uly dari Yayasan Nen Mas Il (YNMI), bersama Pak Nor, Edo Rahail, dan Pieter Elmas untuk menjamin kelangsungan bagi tersedianya sumber air pulau-pulau atol (karang) provinsi itu. Kisah suksesnya adalah mereka berhasil menarik simpati lembaga legislatif, DPRD Maluku Tenggara hingga mampu terus mendesak pemerintah daerah untuk memperhitungkan aspek kearifan lokal dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat maupun pemerintah. Meski tetap saja mereka mendapat tantangan dari paradigma proyek pemerintah dan seringnya tidak nyambung dengan kebijakan pemerintah pusat.
Buku ini dengan bahasa yang ringan dan mengalir mencoba menceritakan pengalaman dan perjuangan pencegahan bencana di tiga lokasi tersebut. Lengkap dengan harapan-harapan yang muncul di tengah keputusasaan setelah perjuangan ulang-alik mereka yang tak kenal lelah. Memang tak melulu kisah sukses yang disajikan. Namun pesan sederhana nan bermakna yang coba ditegaskan dari buku ini hanya demi sebuah tujuan, yakni belajar bersama orang-orang biasa. Semoga kita bisa saling belajar.
*Azid Fitriyah. Sumber: Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo Semarang | amanat-online.com – Senin, 15 April 2013.
*Rehal buku: Hidup di Atas Patahan: Pengalaman Kelola Bencana di Tiga Kabupaten (Bengkulu Utara, Sinjai, Maluku Tenggara)/ Anwar Jimpe Rachman/ INSISTPress, 2012.