MENGORGANISIR RAKYAT (Review Terhadap Analisa Kasus Buku “Mengorganisir Rakyat”)

MENGORGANISIR RAKYAT (Review terhadap Analisa Kasus Buku “Mengorganisir Rakyat” Karya Jo Hann Tan & Roem Topatimasang)*

Dalam buku Tan dan Topatimasang yang berjudul “Mengorganisir Rakyat”, yang melukiskan tentang proses-proses pengorganisiran masyarakat di Asia Tenggara khususnya di Indonesia, Malaysia, Kamboja dan Vietnam memiliki nilai-nilai yang besar dalam menggerakkan kekuatan dan kemandirian masyarakat terhadap kondisi yang kurang beruntung. Ketidakmampuan dalam memperoleh akses sumber daya dan keterbatasan untuk mengorganisir komunitas sendiri serta kondisi miskin yang disebabkan struktur politik dan budaya menambah permasalahan sosial yang cukup kompleks di masyarakat. Dengan demikian dibutuhkan penyadaran terhadap kondisi yang dialami serta pola pikir kritis dari masyarakat agar mampu merubah kondisi dan dapat hidup sesuai semestinya.

Proses pengorganisiran masyarakat dibutuhkan peran serta seorang pengorganisir untuk merangsang  masyarakat agar memiliki kepedulian terhadap kondisi yang dialami. Kegiatan seorang pengorganisir dalam mendidik masyarakat sangat penting guna menyadarkan individu dan kelompok di masyarakat untuk menggerakkan seluruh komponen sumber daya yang ada. Pendidikan kritis dan kemampuan dalam mengendalikan kondisi permasalahan di masyarakat menjadi kunci utama untuk menciptakan kemandirian dan keberdayaan. Sehingga metode komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan kristis di masyarakat terhadap kondisi yang sedang dialaminya harus dapat memunculkan pengorganisir baru (indigieous organizer) di komunitas tersebut, supaya terjadi keberlanjutan gerakan yang telah dilakukan.

Melalui proses perjuangan dan tahapan dalam mengorganisir komunitas yang dilakukan oleh seorang community organizer, selayaknya dibutuhkan generasi baru untuk menjalankan apa yang telah dilakukan sebelumnya di komunitas yang telah diorganisir, sehingga terjadi regenerasi dalam memperjuangkan kehidupan masyarakat. Mekanisme pengorganisiran dapat dilakukan dengan menggali isu-isu yang menjadi permasalahan di komunitas serta melakukan pendekatan yang berbasis gender untuk menggerakkan seluruh komponen agar berpartisipasi langsung dalam menciptakan kesamaan pandangan dan tujuan yang diinginkan. Melalui pendekatan lintas sektor dan struktur di masyarakat, pengorganisiran dapat berjalan efektif di banding hanya memfokuskan pada satu alternatif pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Selain itu permasalahan baru akan muncul apabila one way approach dalam menganalisa permasalahan yang berkembang di masyarakat. Prinsip dalam mengorganisir tidak harus monoton dalam melihat permasalahan yang dikaji namun pendekatan kreatif dan inovatif yang dimunculkan akan mengakibatkan ide-ide yang telah dibangun serta mengkonstruk pemikiran individu untuk bergerak dan sadar akan kondisi yang dialami oleh masyarakat.

Melihat perkembangan dan permasalahan kasus pengorganisiran masyarakat di Asia Tenggara yang terhadapat dalam buku Tan dan Topatimasang, maka kajian dalam paper ini akan memfokuskan pada bagian kasus yang terpenting saja dan kasus tersebut mewakili dari beberapa kasus yang sudah di paparkan dalam buku tersebut. Dari beberapa kasus yang terdapat di buku Topatimasang mengenai pengorganisiran rakyat, setelah dilakukan review dan pengelompokan terhadap beberapa kasus yang ada, maka penulis memilih kasus pengorganisiran masyarakat yang dilakukan di Malaysia khususnya komunitas Masyarakat Selangor dan Wilayah Persekutuan (Permas) yang memusatkan pengorganisiran kaum miskin perkotaan di Malaysia khusunya di Kuala lumpur[1].

Kajian yang diambil dalam kasus pengorganisiran masyarakat melalui Permas ini mencerminkan tentang ketidakadilan pemerintah Malaysia dalam memberikan kehidupan yang layak khususnya tempat tinggal bagi masyarakat kurang mampu. Ketimpangan sosial dan kemiskinan struktural menjadi awal permasalahan yang susah untuk diselesaikan melalui pendekatan individu dan organisasi saja yang hanya bersifat temporer. Namun proses pengorganisiran masyarakat melalui Permas dilakukan dengan pendekatan lintas sektor dan terus menerus untuk mendapatkan sumber daya untuk masyarakat yang tertindas guna meningkatkan kesejahteraan sosial. Disinilah letak keunikan kasus ini dalam mengungkap kegiatan pengorganisiran masyarakat. Seharusnya pemerintah memberikan dukungan bagi peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan perumahan layak huni tetapi malah merusak rumah yang telah dibangun oleh masyarakat, sehingga berimbas pada rusaknya tatanan nilai sosial, kesehatan, pendapatan dan pendidikan bagi anak yang menjadi korban kebijakan pemerintah Malaysia.

Untuk melihat dan menge-chek adanya persamaan kasus pengorganisiran masyarakat pada Permas di Malaysia dengan kasus di negara lain seperti di Indonesia, kasus pengorganisiran melalui Yayasan Wisnu dan Perserikatan Petani Sumatra Utara serta Rakyat Yamdena di Maluku. Sedangkan di Kamboja pengorganisiran melalui Urban Woman Development[2]. Persamaan beberapa kasus yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari minimnya peran pemerintah terhadap kesejahteraan warganya. Sehingga warga yang membutuhkan penghidupan layak dari pemerintah berupaya untuk melakukan tindakan (mengorganisir diri) agar terjadi proses distribusi sumber daya untuk mendorong keberlajutan hidup dan melawan penindasan negara.

Dari kesamaan kasus pengorganisasian rakyat yang terjadi di negara Asia Tenggara inilah, penulis memilih Permas sebagai obyek analisa kajian dalam paper ini, bukan berarti mencari kajian yang “lebih mudah”, namun titik tolak kajian ini lebih mengarah pada substansi dari teori yang digunakan untuk proses analisis kasus. Dengan demikian kiranya pengorganisiran rakyat dapat memberikan sumbangsih yang besar bagi terbentuknya keadilan masyarakat dan pendistribusian public goodsoleh pemerintah guna menjaga kesinambungan dan mengupayakan kesejahteraan dalam bingkai negara.

Ketimpang dan Awal Pengorganisiran

Semenjak tumpuk kekuasaan pemerintahan Malaysia di pegang oleh perdana menteri Mahatir Mohammad kebijakan yang dilakukan pada seluruh lapisan struktur dan sistem sosial masyarakat di Malaysia mengalami masalah yang cukup besar seperti sulitnya menuntut hak-hak dan kebutuhan hidup masyarakat yang kurang mampu. Minimnya akses dan sarana pendukung bagi masyarakat bawah dalam mendapatkan hak atas kehidupan yang layak dan kebebasan individu untuk menciptakan kreatifitas menjadi persoalan yang penting untuk diadvokasi pada pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. Namun kebijakan Mahatir yang cukup otoriter layaknya Soeharto menyebabkan awal munculnya kesadaran masyarakat untuk berkumpul dan menorganisir diri guna menuntut hak yang belum di berikan oleh pemerintah Malaysia.

Sejak terjadinya gerakan reformasi politik di Malaysia tahun 1999, rakyat mulai sadar dan berani untuk menuntut pemerintah terhadap kebijakan yang telah dilakukan dan berdampak minimnya akses kebutuhan hidup masyarakat. Melalui Menteri Besar Negara Bagian Selangor akhirnya proses mediasi berupa dialog dengan perdana menteri Mahatir dengan tujuan untuk menuntut kesamaan akses sumber daya bagi masyarakat yang kurang beruntung menjadi awal dari proses kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk menuntut hak pada pemerintah. Dari awal kegiatan mediasi yang dilakukan pemerintah, maka sikap dan pandangan yang dihasilkan melalui pertemuan tersebut dapat dilihat bahwa konteks keberpihakan pemerintah lebih mengerucut pada pemberian akses yang lebih besar pada kalangan pengusaha di banding masyarakat biasa.[3]

Melihat proses dialog yang telah dilakukan oleh Menteri Besar Negara Bagian Selangor belum menunjukkan hasil yang positif bagi masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh untuk menuntut haknya, maka organisasi Permas yang memperjuangkan nasib masyarakat yang termarginalisasi akibat kebijakan pemerintah, mulai mendatangi masyarakat guna melihat kondisi yang dialaminya. Model Permas dalam mengorganisir masyarakat lingkungan kumuh lebih memfokuskan pada model pemberdayaan atau empowermen model. Menurut Williams bahwa empowermen model facuses on a kind of freelance organizer, who comes into community to help find and develop leadership and help build the capacity to solve problem[4]. Model ini memfokuskan pada pembentukan capasity building pada masyarakat agar tercipta kesadaran untuk menorganisir diri guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Awal mula proses pengorganisiran masyarakat tidak harus bersikap kaku dan resmi untuk menawarkan sebuah perubahan layaknya pahlawan. Namun kegiatan pengorganisiran dapat dilakukan dengan mendatangi masyarakat tanpa ada tujuan pasti untuk mengorganisir tapi hanya melakukan pendekatan saja. Pendekatan ini lebih efektif karena dapat mengetahui karakteristik sosial dan budaya serta permasalahan yang berkembang di wilayah pemukiman kumuh tersebut

Dari kegiatan pendekatan langsung di masyrakat dapat memunculkan rasa kepedulian terhadap permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Burgar bahwa Organizer must empathize with people, that is understand what people are feeling and why[5] (pengorganisir dalam hal ini Permas harus memiliki rasa empati dan memahami apa yang dirasakan oleh masyarakat dan mengapa). Rasa empati ini menjadi salah satu alat untuk mempermudah pendekatan dan menghindari jarak antara Permas dengan masyarakat yang akan diorganisir. Sikap empati merupakan hal yang penting dimana seorang pengorganisir masyarakat harus memahami nilai-nilai kesetaraan dan demokrasi guna mempercepat dan mempermudah proses pengorganisiran bukan mendikte dan memerintah masyarakat. Bentuk nilai kesetaraan ini diungkapkan oleh Burgan bahwa exemplify the empowering, democratic proses that bring about community development…..to seek out what community members can teach them, so that learning is not always one way[6] (tingkah laku pemberdayaan dalam proses demokrasi melihat pengembangan masyarakat untuk melihat keluar anggota komunitas dalam mempelajari sehingga belajar tidak hanya satu arah). Dalam hal ini kegiatan pengorganisasian harus dapat memberikan pelajaran akan nilai demokrasi dan saling belajar terhadap sesama untuk merumuskan tujuan dan manfaat dari kegiatan yang dilakukan.

Perspektif Kesetaraan dalam Pengorganisasian

Dalam proses pengorganisiran masyarakat, nilai kesetaraan khususnya kesetaraan Gender terhadap sesama komunitas sangat penting dalam memberikan kontribusi berhasilnya sebuah pengorganisiran. Hal ini dilakukan oleh Permas yang memfokuskan pada pengorganisiran para perempuan di pemukiman kumuh. Keberadaan perempuan di komunitas kumuh sangat penting mengingat permasalahan dan dinamika yang terjadi di wilayah tersebut, posisi perempuan menjadi media yang paling mudah untuk mendapatkan informasi. Keaktifan perempuan mengikuti kegiatan Permas memunculkan rasa kesadaran bahkan pengorganisir dari Permas dapat digantikan oleh masyarakat setempat karena proses pendidikan yang dilakukan berhasil sehingga memunculkan kesadaran bagi mereka. Tipe pengorganisir yang tumbuh dari kalangan mansyarakat sendiri sangat effektif untuk menggerakkan masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan teknik pengetahuan dan sikap serta belajar dari pengalaman dan kondisi yang dialami mempermudah proses penyampaian kepada seluruh warga masyarakat yang berada di lingkungan kumuh. Tipe pengorganisir ini menurut Gramci adalah tipe organic intellectual. Lebih lajut Gramci menjelaskan bahwa organic intellectual learning from experience, reflecting on the meaning in action and moving easily back and forth between theory and action……responds to problem, get into the middle of things and than step back to analyze the situation and figure out what to do [7].  Tipe organic intellectual juga dilakukan oleh Permas dalam mengorganisir masyarakat di Malaysia, sehingga proses yang telah difasilitasi dapat memunculkan katalis baru untuk memberikan kontribusi bagi kelompok lain guna memberikan dukungan bagi para perempuan untuk ikut berkecimpung dalam pengorganisasian masyarakat[8].

Namun untuk menuju proses perubahan yang dilakukan Permas tidak hanya pada tataran di internal masyarakat lingkungan kumuh dengan empowerment modelsaja, tetapi juga dilakukan dengan model advokasi guna mendorong pemerintah untuk peduli terhadap permasalahan di masyarakat dan memberikan program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat[9]. Mekanisme model advokasi juga di tegaskan oleh Burgan bahwa advocate’s work is to push for program that enable people with problem[10]. Dengan demikian dukungan dari pemerintah untuk mempercepat perubahan sosial di masyarakat kumuh sangat penting sekali. Melalui pendistribusian public goods, maka kesetaraan dan keadilan dapat diperoleh masyarakat.

Media Komunikasi Pengorganisiran Berdasarkan Tipe Komunitas

Pengorganisiran masyarakat yang dilakukan Permas di lingkungan masyarakat kumuh membutuhkan cara agar mudah di pahami dan di sampaikan pada masyarakat. Media sosialisasi untuk menciptakan kesadaran masyarakat harus bisa disesuaikan dengan lingkungan sekitar. Media yang diberikan harus memuat hal yang bersifat positif dan mudah dicerna dalam mengkonstruk pemikiran individu dan kelompok. Mengingat masyarakat kumuh yang berada di Malaysia merupakan tipe komunitas yang terbatas dan memiliki kepentingan untuk mendapatkan akses sarana perumahan yang layak, maka penyampaian ide-ide dan gagasan harus berupa pendidikan kerakyatan dan visualisasi yang terkait dengan permasalahan sama. Hal ini sangat penting guna menyadarkan masyarakat terhadap kondisi kehidupan dan hak setiap warga negara. Lebih jauh lagi setelah kegiatan advokasi dari pemerintah dan empowerment Permas, masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh harus dapat membangkitkan perubahan sosial terutama perubahan perilaku sehat terkait dengan kegiatan yang telah dilakukan. Tipe komunitas ini yang diorganisir oleh Permas merupakan tipe community limited leability. Tipe komunitas ini lebih menonjolkan tingkat partisipasi pada isu-isu yang terjadi di komunitas mereka terutama ketidak pedulian pemerintah terhadap kehidupan komunitas masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh. Janowitz juga menjelaskan bahwa community of limited liability may participate in their neighborhoods on an issue-by-issue basis, if their interests are directly afected[11]. Dengan demikian media komunikasi yang dilakukan harus terkait isu dan permasalahan yang berkembang di masyarakata dalam komunitas ini supaya kesadaran dan solidaritas sosial antar sesama semakin kuat.

Merancang Strategi Pengorganisiran dan Perubahan Sosial

Dalam mencapai tujuan dari pengorganisiran yang dilakukan oleh Permas untuk mencapai perubahan sosial maka dibutuhkan pihak-pihak yang berikutserta untuk mendukung perubahan yang akan dilakukan. Pihak-pihak yang dilakukan ini bisa berasal dari Parpol, Pemerintah, Tokoh Agama dan Media Massa. Perlunya menggalang pihak-pihak tersebut untuk mempermudah kegiatan advokasi yang dilakukan pada pemerintah untuk memperbaiki nasib masyarakat yang tinggal di wilayah kumuh. Hal ini untuk menarik perhatian dan memunculkan rasa empati serta kepedulian pemerintah terhadap nasib masyarakat bawah. Kerjasama yang dilakukan oleh Permas yaitu dengan para aktivis GRP yang telah pecah akibat krisi politik yang melanda Malaysia. Sebagai organisasi sosial, Permas harus dapat menjalankan fungsinya yaitu sebagai organisasi yang memiliki jaringan bebas. Artinya Permas bukan bagian dari partai politik maupun underbow dari pihak yang berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan belaka. Permas sebagai liberated network organization involve a range of relationship between people, some based on issues, other kindship, interpersonal social ties along which help, information, or support might flow[12]. Mengingat Permas adalah organisasi sosial yang memfokuskan pada pengorganisiran masyarakat hendaknya harus bisa mengedepankan profesionalitas kinerja organisasi.

Dalam kasus Permas dan GRP, terlihat bahwa fungsi liberated network organization mempengaruhi keputusan kedua organisasi tersebut untuk membangun bentuk dan sifat hubungan yang baru dan berbeda dengan pihak pemerintah. Tetapi kegiatan yang dilakukan tersebut dengan berkoalisi yang bersifat taktis memberikan tekanan yang besar sekaligus membentuk opini publik tentang permasalahan yang terjadi di masyarakat kumuh. Dengan melakukan koalisi tersebut maka hubungan dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi semakin banyak melalui peliputan media massa. Berbagai acara yang dilakukan oleh Permas mendapatkan respon yang baik dari pemerintah tentang penyediaan sarana rumah bagi masyarakat yang berada di lingkungan kumuh[13].

Merancang proses pengorganisiran masyarakat yang dilakukan oleh Permas dirumuskan secara rinci dan jelas apa yang sebenarnya diperjuangkan saat ini. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalisi keadaan mikro maupun makro di dalam organisasi dan di luar organisasi yang menyangkut proses pengorganisiran. Terkait dalam proses analisa maka yang diciptakan dengan cara membangun isu-isu yang berkembang di tingkat lokal, nasional bahkan internasional. Seperti yang diungkapkan oleh Scoot bahwa The issue network are important especially as they link together the original activist core in a progressive organizaion[14]. Dari isu yang berkembang maka dapat merumuskan kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat dan sumber daya dari masyarakat guna mencapai kebutuhan yang diinginkannya.

Dari kegiatan tersebut maka masyarakat mulai merumuskan bentuk-bentuk tindakan yang akan dilakukan serta cara-cara yang dilakukan. Kegiatan ini dapat memunculkan proses konsentisasi dari individu yang akan pentingnya kesadaran kritis dan partisipasi guna menghasilkan perubahan yang dapat meningkatkan kesejahteraan komunitas masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh. Dengan demikian maka intergerasi sosial menjadi tumbuh seiring dengan perubahan yang ada di komunitas tersebut dalam mengeakses sumber-sumber yang telah di rumuskan sebelumnya secara bersama-sama. Lebih kongkritnya however, social integration is a means to bring about change and not en end in itself.[15]

Menggerakan Aksi Masyarakat

Menggerakan aksi yang dilakukan oleh Permas dan masyarakat menumbuhkan kepercayaan diri terhadap apa yang telah direncanakan. Keberhasilan dalam membangun capacity building  dari masyarakat sehingga memiliki keberanian dan kesadaran kritis adalah tujuan pokok dari sebuah pengorganisiran masyarakat. proses penggerakan massa tidak harus dilakukan dengan cara turun ke jalan namun bisa dilakukan di lokasi dimana kegiatan pengorganisasian dilakukan. Kegiatan pengorganisasian masyarakat dengan menggerakkan aksi ditempat juga dilakukan oleh Permas pada masyarakat korban penggusuran dari kebijakan pemerintah Malaysia. Penggerakan aksi massa dilakukan dengan menggalang aksi kesetiakawanan dan unjuk rasa spontan. Kegiatan penggalangan kekuatan dengan cara menggalang aksi dan demonstrasi merupakan alat untuk mencari simpati pada publik akibat penggusuran pemerintah. Dengan menggerakkan aksi secara terus menerus maka membangun dan mengkonstruk pemikiran publik untuk mendukung perjuangan yang dilakukan oleh Permas pada warga yang kurang beruntung.

Reaksi yang dilakukan oleh Permas merupakan bentuk pengorganisasian berbasis organisasi dalam memfasilitasi dan menadvokasi setiap ketidakadilan yang di dapat oleh masyarakat lemah. Reaksi secara cepat merupakan entry poin dalam menjalankan mekanisme eksternal organisasi yang meliputi membangun isu dan menindakalanjuti proses perkembangan pengelolaan isu yang berada di masyarakat. Berdaarkan tingkat karakteristik kerja Permas dalam menggalang isu, maka jenis organisasi ini adalah organization react quickly. Isu yang berbasiskan organisasi dengan respon yang cepat mendesak pemengku kebijakan untuk memenuhi keinginan yang diharapkan dari kegiatan pengorganisiran masyarakat. Lebih lanjut Henig menjelaskan bahwa  organization react quickly is the power of organization become a parent by the speed with which it enable people to respond to problem….react quickly to problem that would be ignorede elsewhere[16]. Kegiatan organisasi dalam menggerakkan aksi bisa saja dilakukan dengan mengadakan kegiatan sosial seperti donor darah. Namun dibalik kegiatan sosial tersebut terdapat unsur lain yaitu membangun kepercayaan dan membangkitkan solidaritas sosial masyarakat miskin dengan mengesplore kondisi kehidupan warga yang kurang sehat dengan bekerja sama melalui media massa. Kegiatan kerjasama dengan media masa untuk memberitakan kondisi warga merupakan bagian dari aksi massa dengan pendekatan media.

Kolaborasi dan Partnership Organisasi Sosial

Mengamati perjalanan Permas sebagai organisasi sosial yang memperjuangkan masyarakat marginal akibat kebijakan pemerintah Malaysia dan ketidakpedulian swasta dalam menyediakan sumber daya (lapangan kerja dan upah yang layak) dibutuhkan kolaborasi untuk menangani permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat bawah. Proses pengorganisiran yang terlalu radikal dan bahkan merugikan masyarakat yang menjadi obyek organizer untuk memunculkan kesadaran kritis harus dilakukan pergeseran paradigma pergerakan. Pendekatan yang meletakkan interasi antara pemain sosial di masyarakat harus bisa saling bekerja sama guna mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kedaulan harus dapat menyediakan pelayanan publik yang dapat di akses oleh masyarakat tanpa memandang perbedaan status sosial, agama, ras an budaya.

Melalui proses pendistribusian public good melalui pelayanan publik dari pemerintah, maka masyarakat akan mendukung program-program yang dijalankan oleh pemerintah sebagai alat legitimasi adanya kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur kehidupan warga negara. Adanya hubungan antara pemerintah dengan warga perlu dibutuhkan kontrol untuk melihat efektifitas pelayanan yang telah dilakukan. Alat kontrol dalam melihat pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dibutuhkan pihak swasta yaitu NGO, Akademisi dan Pasar untuk memberikan pendidikan serta informasi yang dibutuhkan terkait kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Kolaborasi tiga sektor tersebut memunculkan tanggung jawab bagi Walikota khusunya di Kuala Lumpur Malayasia sebagai bagian dari kasus yang di tangani oleh Permas lebih bertanggung jawab terhadap warga yang tinggal di wilayah administratif tersebut. Dengan demikian tugas khusus dari walikota atau Manager City dengan memberdayakan warga sekitar agar terjadi perubahan sosial guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Nalbandian bahwa City manager is to empower the governing body and citizen by helping to develop and use the tools of engagement. This facilitative leadership role enter-farming issues and processes (1) to deal with diverse interests, (2) to focus on interensts and (3) to develop collaborative partnership in policymaking and service delivery[17].

REFERENSI

Bahan Buku Kasus

Tan dan Topatimasang. 2004. Mengorganisir Rakyat. Yogyakarta: Insist Press

Bahan Buku Teori Analisa Kasus Dari Kumpulan Chapter Materi Presentasi

John Nalbandian.1999Chapter: Facilitating Community, Enabling Democracy. New York: ASPA

Janowitz,. 1967. Chapter: Community and Organization.

Burgan. Chapter: Community Organizer: Professional Activists and Activist Profesionals.

Footnotes

[1] . Tan dan Topatimasang. 2004. Mengorganisir Rakyat. Yogyakarta: Insist (Hal 12)

[2]  Kasus Yayasan Wisnu (Lebih jelas baca hal 80 &92), Kasus Rakyat Yamdena Maluku Tenggara (Lebih jelas baca hal 50), Kasus Perserikatan Petani Sumatra Utara (Lebih Jelas baca hal 78), Kasus Urban Poor Woman Development Kamboja (Lebih jelas baca hal 67 & 81)

[3] . Tan dan Topatimasang. 2004. Mengorganisir Rakyat. Yogyakarta ( Cerita 4, hal 12)

[4]  Burgan. Chapter:  Community Organizer: Professional Activists and Activist Profesionals (hal 50)

[5]  Burgan. Chapter: Community Organizer: Professional Activists and Activist Profesionals (hal 53)

[6] Ibid

[7]  Ibid

[8] Tan dan Topatimasang. 2004. Mengorganisir Rakyat. Yogyakarta ( Cerita 9, hal 29)

[9] Tan dan Topatimasang. 2004. Mengorganisir Rakyat. Yogyakarta ( hal 37)

[10] Burgan. Chapter: Community Organizer: Professional Activists and Activist Profesionals (hal 51)

[11] Janowitz,. 1967. Chapter: Community and Organization. (Hal 83)

[12] Janowitz,. 1967. Chapter: Community and Organization. (Hal 93)

[13] Tan dan Topatimasang. 2004. Mengorganisir Rakyat. Yogyakarta ( hal 73)

[14] Janowitz,. 1967. Chapter: Community and Organization. (Hal 94)

[15] Janowitz,. 1967. Chapter: Community and Organization. (Hal 95)

[16] Janowitz,. 1967. Chapter: Community and Organization. (Hal 97)

[17]  John Nalbandian.1999Chapter: Facilitating Community, Enabling Democracy. New York: ASPA.

*Oleh: Didit Susiyanto. Sumber: trimongalah.wordpress.com – 13 November 2013.

*Rehal buku: Mengorganisir Rakyat: Refleksi Pengalaman Pengorganisasian Rakyat di Asia TenggaraJo Hann Tan dan Roem Topatimasang/ INSISTPress, 2011.