Land Reform Torang Punya Gaya: sebuah provokasi riset*
Inilah buku pertama di Indonesia yang memakai frase “perampasan tanah” dalam judulnya. Klaim ini didasarkan atas dua fakta. Pertama, ketika memasukkan kata-kata kunci “perampasan tanah, googlebooks” di mesin pencari google, dari 5 lema hasil yang muncul di halaman pertama dari total 24.400 lema yang ditemukan oleh google, tidak ada satu judul buku pun yang muncul. Pengalaman di laman pertama ini lebih dari cukup untuk tidak meneruskan meng-klik laman-laman berikutnya. Kedua, ketika cara yang sama diulang dengan kata-kata kunci “perampasan tanah, goodreads”, maka di urutan paling atas muncul buku ini. Dan, dari 6 lema yang muncul di laman pertama, tidak ada satu lemapun yang menunjukkan buku yang lain yang mengandung frase “perampasan tanah”.
Mengapa frase “perampasan tanah” penting? Pasca Marx mendedikasikan satu bagian dalam Capital untuk primitive accumulation, orang berikutnya yang melakukan reformulasi terhadap konsep “akumulasi awal-mula” ini adalah David Harvey dengan “accumulation by dispossession” (akumulasi dengan cara perampasan hak milik). Konsep akumulasi dengan cara perampasan hak milik ini cukup memadai untuk menjelaskan berbagai perampasan tanah yang masif di berbagai belahan di Bumi ini.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Perkumpulan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) pada 2012, diketahui bahwa terjadi 232 konflik Sumberdaya Alam (SDA) dan Agraria di Indonesia. Ada banyak detil dalam angka di atas, tetapi kiranya magnitude itu sudah cukup untuk mengilustrasikan potret konflik agraria di kontemporer Indonesia. Hampir semua konflik di atas berhubungan dengan masalah akses, kontrol, dan kepemilikan terhadap tanah, terutama dari sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Pemakaian frase “perampasan tanah” dalam judul buku ini adalah tonjokan bagi kalangan intelektual di tanah air yang sebelumnya belum mampu secara lugas membahasakan permasalahan yang ada, setidaknya berdasarkan dua fakta pendukung klaim di atas. Meski di sisi lain, pemakaian frase ini juga mengundang masalah karena bisa jadi itu akan mereduksi makna agraria ke hanya permasalahan tanah (seperti yang selama ini terjadi), dan meluputkan kajian yang lain seperti air dan udara.
Ambil misal, kasus perampasan hak atas air juga bukan tidak ada di Indonesia. Mulai dari privatisasi yang dilakukan oleh perusahaan dan menjualnya secara mahal dalam bentuk air minum dalam kemasan, hingga permasalahan kontemporer yang beririsan dengan proses ekstraksi lain seperti pertambangan (terutama emas dan batubara) dan pemboran gas bumi. Dalam pertambangan ada satu istilah yang sangat dikenal, “dewatering” [pengeringan].
Dewatering adalah proses menurunkan muka air tanah pada lokasi tambang agar aktivitas tambang dapat dilaksanakan. Masalah muncul karena air tanah bukanlah sebuah kompartemen mekanik yang dapat diisolasi sesuai kehendak. Sistem air tanah mengikuti unit batuan sarang. Dewatering boleh saja dilakukan di dalam lokasi tambang, tetapi muka air tanah di luar lokasi tambang yang terkoneksi secara hidrogeologis juga akan turun. Ini bukan kecap. Beberapa hari yang lalu, keluhan akan “hilangnya air tanah” ini saya lihat di status facebook salah seorang teman yang berasal dari Kalimantan Timur pada lokasi sekitar tambang batubara.
Isu kedua adalah hydraulic fracturing (fracking). Teknik ini berguna untuk membuat rekahan pada reservoir dengan tujuan akhir meningkatkan permeabilitas batuan sarang.Fracking banyak digunakan dalam proses injeksi pada sistem geothermal, dan baru-baru ini, eksploitasi gas pada batuan serpih. Teknologi terakhir pada awalnya berkembang di Amerika, dan sekitar dua tahun terakhir mulai marak diperbincangkan di kalangan profesional di Indonesia. Selain isu krisis air yang tentu saja mengiringi fracking (darimana air untuk diinjeksikan ke dalam reservoir?), isu lainnya adalah: gempa bumi minor, kontaminasi air tanah, dan kebocoran gas.
Buku ini, selain cerita klasik (yang menyakitkan sekaligus mulai membosankan) tentang kedukaan rakyat yang dirampas tanahnya, menampilkan setidaknya dua isu menarik dan bisa dipakai lebih lanjut dalam advokasi kasus-kasus perampasan sumberdaya. Pertama, dalam proses perampasan pada lokasi proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), pihak yang mendapatkan keuntungan paling besar adalah korporasi (dalam hal ini Medco) yang bisa menjual kayu hasil “mengolah alam” dengan harga lebih dari Rp. 12 juta per meter kubik. Di ekstrim sebelah, untuk meter kubik yang sama para tuan dusun di lokasi MIFEE mendapatkan Rp. 1.400 (hlm. 69).
Berikutnya, janji pemerintah dan perusahaan “mengolah manusia” yang tinggal di sekitar area proyek MIFEE melalui berbagai proyek pembangunan, beasiswa, dan pelatihan, hanyalah pepesan kosong. “Sejak bapa bekerja menjadi buruh perusahaan, tubuh mama menjadi kurus seperti pinsil,…” Artinya, kemajuan yang diharapkan dengan masuknya perusahaan justru membawa hal yang sebaliknya, membuat “tubuh mama menjadi kurus seperti pinsil” karena ia menahan lapar “hanya makan satu kali satu hari” demi “mendahulukan bapa dan anak-anak,” (hlm.73).
Rumusan-rumusan mempertahankan tanah hadir di bab terakhir Mempertahankan Tanah, Merebut Masa Depan Anim. Pencerahan datang dari Paitua (Bapak) Sitompul yang datang merantau dari Sumatera pada 1970-an dan menikah dengan gadis orang Makaling. Paitua Sitompul kemudian menjadi penasihat adat golongan Mayo Ndaman. Terobosan baru yang dibuat Makaling atas inisiatif Paitua Sitompul adalah pemberlakuan pembagian tanah untuk semua warga tanpa pandang bulu. Dan pada Agustus 2013, tiga belas kampung dimana Makaling ada dalamnya, “menolak kehadiran perusahaan apapun di atas tanah ulayat mereka,” (hlm. 88-93).
Siapa Paitua Sitompul? Bagaimana latar belakangnya sebelum ia merantau ke Papua? Bagaimana ia sampai di Papua? Apa yang dia lakukan sehingga dapat diterima dan menjadi penasihat adat golongan Mayo Ndaman? Apa motivasinya menginisiasi pembagian tanah untuk semua warga tanpa pandang bulu? Apakah pembagian tanah adalah satu-satunya kebijakan di Makaling yang diprakarsainya? Semuanya adalah pertanyaan-pertanyaan yang dipancing oleh buku ini. Dan dengan demikian, seharusnya menjadi agenda penelitian berikutnya bagi orang yang bekerja di sekitar Merauke untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Karena, duka lara tentang perampasan hak (dalam kasus spesifik ini, tanah) di Indonesia, sudah terlalu banyak. Yang sangat dibutuhkan adalah rumusan yang dapat dipelajari dan diputar kemana-mana untuk mencegah tubuh-tubuh mama mengurus seperti pinsil. Dan, yang tak kalah penting, mungkin inisiatif lokal Land Reform di Indonesia bukan cuma terjadi di Desa Ngandagan 66 tahun yang silam.
*Pengulas: Bosman Batubara | Artikel ditulis sebagai bahan Diskusi dan Bedah buku “Korporasi & Politik Perampasan Tanah” di Magister Adminitrasi Publik, Fisipol, UGM. Senin, 25 November 2013.
*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah/ Laksmi A. Savitri/ INSISTPress/ Edisi: I, Oktober 2013.