Mempertaruhkan Masa Depan Manusia Marind*
Membaca buku Korporasi & Politik Perampasan Tanah (INSISTPress, 2013) karya Laksmi A. Savitri ini mengingatkan penulis pada buku Tania Murray Li, The Will to Improve (2012). Tulisan Li mencoba melihat dinamika sosial ekologi di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Sulawesi Tengah dengan melihat dari sisi bagaimana kepengaturan (governmentality) atas kawasan tersebut dijalankan. Konsep kepengaturan dipinjam dari tulisan Michel Foucault dengan judul yang sama, “Governmentality”.
Kepengaturan yang dicerminkan oleh kehendak untuk memperbaiki (the will to improve) merupakan sarana mengarahkan perilaku manusia dengan cara yang telah dikalkulasi sedemikian rupa. Kepengaturan ini memiliki sasaran yang jelas dan terukur sehingga menuntut adanya penyederhanaan atau reduksi atas permasalahan yang demikian kompleks, tumpang tindih, dan silang sengkarut. Watak kepengaturan yang reduksionis tersebut, dalam pandangan Foucault, membawa dampak pada adanya pihak yang menolak dan melakukan resistensi atas berjalannya kepengaturan itu. Kondisi tersebut digambarkan oleh Foucault sebagai kondisi provokasi permanen.
Untuk melihat kepengaturan disistematisasi dan dijalankan serta bagaimana resistensi itu berlangsung, kita dapat melihat lebih jelas dalam buku ini. Pada bagian awal/pertama, penulis buku mencoba menyajikan skenario kepengaturan atas tanah masyarakat Marind Anim di Merauke dalam proyek besar jangka panjang berlabel ketahanan pangan dan energi bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Skenario program ini dicari pembenarannya dengan menampilkan data-data yang menunjukkan bahwa saat ini Indonesia tengah mengalami krisis pangan dan energi. Di sisi lain, sebenarnya Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah. Data-data tersebut kemudian diolah menjadi peluang dengan mimpi besar memberi makan dunia (feeding the world). Jalannya adalah dengan mengundang investor untuk menanamkan modal, bukan dengan memberdayakan masyarakat lokal.
Bagian berikutnya dipaparkan bagaimana identitas kultural masyarakat lokal (manusia Marind), yang begitu lekat dengan tanah dan alam di mana mereka berpijak, dibenturkan dengan ide-ide tentang kemajuan dan pembangunan. Ide-ide ini dibawa oleh agen pemerintah dengan pelbagai program sejak zaman Orde Baru sampai dengan era reformasi saat ini. Pada masa Orde Baru, penduduk lokal dikenalkan apa itu kemajuan dan pembangunan dengan datangnya transmigran yang membawa budaya lain yang dipandang lebih maju.
Era reformasi melahirkan agenda desentralisasi yang membawa Merauke memiliki kepala daerah putra asli Merauke. Pada era kepemimpinan putra daerah ini akselerasi pembangunan fisik begitu cepat dan mengubah kota Merauke menjadi kota yang bersih dan asri, sejajar dengan kota-kota kabupaten lain di Indonesia. Mulusnya jalan-jalan menjadi sarana transportasi yang memperlancar pengangkutan sumberdaya alam dari Merauke menuju ke pusat-pusat ekonomi di Jawa dan dunia. Apa daya, pembangunan yang diimpikan justru berbuah ketimpangan sosial ekonomi yang demikian tajam karena sumberdaya lokal dihisap keluar Merauke, meninggalkan manusia Marind yang justru semakin miskin dan tak berdaya. Dari sini terlihat bahwa kepemimpinan putra asli daerah tidak mampu menjamin terlindunginya hak-hak masyarakat lokal. Pada kasus ini, elite lokal justru menjadi komprador bagi kapitalis domestik dan global.
Perubahan kemudian semakin masif terjadi ketika arus modal dalam bentuk program MIFEE masuk ke Merauke. Godaan muncul dalam bentuk janji-janji kesejahteraan dan iming-iming materiil berupa uang dan bantuan lain, sebagai mahar atas diberikannya tanah manusia Marind kepada korporasi. Dari sinilah terjadi tragedi dispossession by displacement (Araghi 2009) atas masyarakat adat Marind. Sebaliknya, bagi korporasi, hal ini merupakan bentuk paling kasar dari praktik akumulasi kapital (McMichael 2005).
Meskipun elite lokal dan sebagian besar warga Marind sudah dengan senang hati menerima pinangan MIFEE, pada kenyataannya tidak semua manusia Marind dapat dibeli dengan sesuatu yang berifat material. Masih terdapat Polikarpus Balagaize, Bonifacius Gebze, Nenek Rufina, dan sederet nama lain yang tetap setia memelihara kebun ubi, nanas, pisang, terong, labu, dan beraneka macam sayuran lain. Mereka tetap bersikukuh mendiami tanah yang sudah secara turun-temurun diwariskan dan diolah oleh pendahulunya. Mereka sudah merasa cukup sejahtera dengan apa yang mereka miliki selama ini. Mereka menolak bukan lantaran tidak tahu akan adanya uang kompensasi yang diberikan. Mereka justru merasa cukup dengan pola hidup sederhana namun mampu hidup selaras dengan lingkungan. Mereka menganggap bahwa tanah merupakan warisan leluhur dan karunia Tuhan yang wajib mereka jaga dan pertahankan. Sebuah pandangan yang tidak hanya meletakkan tanah sebagai objek eksploitasi, namun ia menyatu dalam religiusitas manusia Marind. Pola subsistensi inilah yang oleh James C. Scott (1982, 2013) dipandang sebagai basis perlawanan petani atas modal dan atas upaya akuisisi lahan sebagai basis penghidupan mereka.
Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa sarana kepengaturan yang begitu canggih dengan tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat, pada kenyataannya justru memberikan dampak berupa ketimpangan sosial ekonomi, kemiskinan, malnutrisi, dan pelbagai dampak ekologis yang tidak terperi. Akhirnya, kepengaturan itu sendiri melahirkan resistensi dari masyarakat dan dari pihak lain yang tidak sejalan dengan strategi kepengaturan yang berjalan. Resistensi itu bisa lahir dari manusia bernama Polikarpus Balagaize, Bonifacius Gebze, Nenek Rufina, maupun dari pihak luar. Salah satunya adalah protes yang dilayangkan 27 organisasi masyarakat sipil kepada Komisi PBB untuk Penanggulangan Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of Racial Discrimination, CERD). Beberapa organisasi masyarakat sipil yang berbasis di Indonesia, Jerman, dan Inggris menyerukan kepada CERD untuk memerhatikan dan mempertimbangkan kondisi masyarakat adat di Merauke yang lokasinya menjadi areal konsesi MIFEE (Mongabay Indonesia 2013).
Akhirnya, membaca buku ini kita akan melihat bahwa narasi tentang MIFEE merupakan satu kepentingan yang di pihak lain harus siap untuk berhadapan dengan narasi dan kepentingan lainnya. MIFEE digadang-gadang sebagai proyek yang bertujuan menjamin ketersediaan pangan dan energi nasional dan pasar internasional. Di balik itu, secara kentara yang bermain adalah kapital yang berkongsi dengan kekuasaan. Elite lokal menjadi kepanjangan tangan untuk mengamankan beroperasinya kapital.
Di sisi lain, narasi tentang ketersingkiran penduduk lokal, nilai-nilai budaya lokal, dan rusaknya sumberdaya alam siap diusung oleh pihak yang tidak sejalan dengan wacana dan praktik MIFEE. Wacana ini diusung oleh masyarakat lokal dan didorong oleh lembaga-lembaga pegiat lingkungan, indigenous people, dan hak asasi manusia. Tabik!
Daftar Bacaan
- Araghi, Farshad. 2009. “The Invisible Hand and the Visible Foot: Peasants, Dispossession and Globalization.” Dalam Peasants and Globalization: Political Economy, Rural Transformation and the Agrarian Question, disunting oleh A. Haroon Akram-Lodhi dan Cristobal Kay, 111–147. New York: Routledge.
- Li, Tania Murray. 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di Indonesia (Terjemahan Hery Santoso dan Pujo Semedi). Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
- McMichael, Philip. 2005. “Global Development and the Corporate Food Regime.” Dalam New Directions in the Sociology of Global Development (Research in Rural Sociology and Development, Volume 11), disunting oleh Frederick H. Buttel dan Philip McMichael, 265–299. Emerald Group Publishing Limited.
- Mongabay Indonesia. 2013. “27 Organisasi Desak PBB Perhatikan Suku Malind yang Terancam MIFEE.” Diakses pada 8 November 2013. http://www.mongabay.co.id/2013/07/25/27-organisasi-desak-pbb-perhatikan-suku-malind-yang-terancam-mifee/.
- Scott, James C. 1982. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
- ____. 2013. Decoding Subultern Politics: Ideology, Disguise, and Resistance in Agrarian Politics. London: Routledge.
*Oleh: Rubangi Al Hasan, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fisipol UGM, pegiat pada Kelompok Studi Sekolah Agraria | Artikel ditulis sebagai bahan Diskusi dan Bedah buku “Korporasi & Politik Perampasan Tanah” di Magister Adminitrasi Publik, Fisipol, UGM. Senin, 25 November 2013.
*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah/ Laksmi A. Savitri/ INSISTPress/ Edisi: I, Oktober 2013.