Peran Negara Di manakah?

Peran Negara Di manakah?*

Penulis buku yang berjudul “Korporasi dan Politik Perampasan Tanah”[1] ini mendeskripsikan detail dengan sangat baik bagaimana arti tanah bagi orang Marind di Merauke. Selain itu arti tanah dikaitkan kembali dalam konteks sejarah budaya dan dihubungkan melalui praktik kepengaturan yang dibawa negara melalui MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).  Saya mencoba mereview buku ini dengan melakukansnapshoot terhadap beberapa kasus.

Membaca buku ini telah membuat saya ‘galau‘ atas apa yang menimpa orang Marind. Kehadiran MIFEE menimbulkan permasalahan landtenure di Merauke. Pasalnya proyek ini mempersiapkan dua juta hektar lahan untuk dikelola 46 perusahaan yang bergerak di bidang pangan dengan izin sampai 60 atau 90 tahun. Permasalahan yang muncul adalah 1) dua juta hektar versus “tidak ada sejengkal pun tanah di wilayah Marind yang tak bertuan” (hal.12); 2) 60-90 tahun dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang  Marind yang tidak mempunyai tanah (hal. 73). Belum lagi masalah selisih keuntungan yang diperoleh masyarakat yang menyerahkan tanahnya kepada perusahaan tidak seimbang dan mengakibatkan konflik terbuka, kekerasan, ketegangan, pertentangan, penyingkiran sampai pembunuhan antar orang Marind (hal. 19).

Lagi-lagi ini adalah ‘produk gagal’ dari begitu banyaknya kebijakan negara yang tidak mampu melindungi kesejahteraan masyarakatnya. Sejarah ide dari kebijakan MIFEE pun tidak lain dan tidak bukan hasil ‘hitung-hitung’ keuntungan yang didapat dari ‘berjualan lahan di atas peta’ dan mengesampingkan keberadaan masyarakat yang hidup diatasnya. Mencoba memahami apa yang dikatakan McCarthy[2] (2012) mengenai virtual land grabsdalam hal ini proses pengklaiman lahan disahkan melalui pemerintah daerah berwenang melalui izin lokasi, Izin usaha perkebunan (dan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) (hal.67) di mana para pihak yang berkepentingan dapat ‘bermain’ di dalamnya. Terlihat broker-broker yang menjadi kepanjangan tangan perusahaan dapat melakukan negosiasi baik di pemerintahan maupun pada masyarakat. Sayangnya negara tidak mengkawal proses negosiasi itu di tingkat masyarakat.

Izin yang dikeluarkan oleh negara atas tanah pun masih memberikan memungkinkan berbagai aktor tetap bisa mengejar keuntungan[3], sehingga terjadilah apa yang dimunculkan pada (hal. 69) yaitu para tuan dusun menerima kompensasi kayu Rp2.000 per meter kubik,tapi kenyataannya diterima Rp1.400 per meter kubik karena dikurangi 30% dari 100% volume kayu akibat adanya celah pada tumpukan batang kayu dan kayu yang keropos, Kontraktor pengawas menerima Rp7.000 per meter kubik. Operator tebang menerima Rp20.000 per meter kubik. Borongan upah kupas kayu Rp25.000 per meter kubik. Menurut data Badan Pusat Statistik(BPS) Provinsi Papua, ekspor kayu serpih yang diproduksi Medco pada 2010 mencapai 135 dolar Amerika Serikat per meter kubik atau Rp12.737.250 per meter kubik. Volume kayu yang ditebang per hektare sekitar 180 meter kubik.Luasan areal yang sudah ditebang dari 2010 hingga 2011 diperkirakan lebih dari 3.000 hektare sehingga diperkirakan volume kayu yang dihasilkan adalah 540.000 meter kubik dalam satu tahun. Nilai kayu ini, jika diberi harga sesuai standar harga kayu menurut Surat Keputusan (SK) Gubernur Papua Nomor 184 Tahun 2004 tentang dana kompensasi bagi masyarakat atas kayu dari areal hak ulayat, yakni Rp10.000 per meter kubikuntuk jenis nonkayu merbau, maka menghasilkan nilai Rp5.400.000.000 per tahun. Hal ini disebabkan posisi tawar yang lemah serta kepatuhan terhadap pasar, menempatkan orang Marind berada dalam ketidakberuntungan dalam mengakses profit dari sumber daya alam.

Ekspansi geografis dan akumulasi yang dilakukan negara-negara pemilik modal (namun terbatas akan sumber daya alam) kepada negara yang memiliki sumber daya alam melimpah seperti Indonesia merupakan wacana global dalam ‘menjaga’ ketahanan pangan ini kemudian disebut Harvey dengan spatial fix[4]. Intensifikasi dan ekstensifikasi lahan dengan dalih untuk swasembada pangan akhirnya memberikan perubahan landskap yang signifikan dan merubah pola hidup masyarakat di dalamnya. Perubahan yang paling mencolok adalah para suami yang menjadi buruh di perusahaan. Dengan upah Rp50.000 sehari, seorang bapa harus mencukupi makan keluarga yang bergantung pada beras, ikan kaleng, dan mi di kios. Beras sehari 3 kilogram, berarti Rp30.000, ditambah mi dan ikan kaleng, juga pinang dan rokok yang tidak boleh tidak, maka habislah upah satu hari, bahkan sering tidak cukup. Mama tidak pergi memangkur sagu karena pekerjaan ini tidak bisa dilakukan seorang diri, harus saling bantu antara bapa dan mama. Maka, karena bapa pergi bekerja di perusahaan, terpaksalah beli beras. Bapa harus pergi kerja untuk dapat uang sehingga tidak bisa pergi berburu. Jadi, kecukupan protein untuk anak harus didapat dari ikan kaleng, yang tidak bisa dibeli setiap hari (hal.72).

Silang sengkarut permasalahan yang ditimbulkan oleh ketidakseriusan peran negara sebagai pemegang kekuasaan dalam menjamin keamanan dan kesejahteraan masyarakat merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama-sama. Dalam hal ini pemerintah seharusnya mampu ‘lebih cerdas’ dari ‘abuti’[5] para korporasi yang kapitalis. Sehingga masyarakat mendapatkan jaminan keamanan dalam naungan negara. MIFEE adalah salah satu contoh yang seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang sekarang sedang terancam kestabilannya di sana. Karena sudah cukup banyak penelitian yang membeberkan bagaimana boroknya sistem kapitalis yang menggerogoti tanah merauke, jika pemerintah itu benar-benar berfikir.

  • [1] Savitri, LA. 2013. Siasat Korporasi dan Politik Rampas Ruang di Merauke. Yogyakarta: INSISTPress.
  • [2] McCharty, J, Affif, S. & J. Vel. 2012. Trajectories of land acquisition and enclosure: development schemes,virtual land grabs, and green acquisitions in Indonesia’s Outer Islands. The Journal of Peasant Studies Vol. 39, No. 2, April 2012, 521–549. Pembahasan Virtual Land Grabs juga di bahas oleh Savitri dalam kelas Komunitas Tani dan Kebijakan Agraria tanggal 17 Oktober 2013 di UGM.
  • [3] Savitri (17 Oktober 2013) di kelas Komunitas Tani dan kebijakan Agraria.
  • [4] Istilah marx yang dipinjam oleh Harvey (2001, 24) dalam McCarthy (2012:540) menyebutkan “As the solutions to climate-food and energy crises are relocated to frontier areas, they imply a new ‘spatial fix’ that entails geographical expansion and restructuring of developmental agendas.
  • [5] Abunawas Tinggi (idiom)

*Pengulas: Yetty Oktayanty Artikel ditulis sebagai bahan Diskusi dan Bedah buku “Korporasi & Politik Perampasan Tanah”  di Magister Adminitrasi Publik, Fisipol, UGM. Senin, 25 November 2013.

*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah/ Laksmi A. Savitri/ INSISTPress/ Edisi: I, Oktober 2013