Anim-Ha yang Tak Lagi ‘Bernama’ [1]
“… Sampai saat tanah moyangku, tersentuh sebuah rencana/
Dari serakahnya kota/
Terlihat murung wajah pribumi/
Terdengar langkah hewan bernyanyi/…”
(“Ujung Aspal Pondok Gede” – Iwan Fals)
Catatan Awal
Sekitar usia akhir SD menjelang awal SMP saya pertama kali mendengar lagu itu. Dari sebuah radio di bengkel kerja bapak, suara “fals” Iwan mengalun merdu. Dan, entah kenapa potongan bait di atas yang pertama kali tersimpan dalam memori. Namun, meski bait itu yang teringat, tetap tidak mudah bagi anak usia belasan tahun untuk mendedah makna berarti dari potongan bait tadi, kecuali syair itu gampang dihafal karena mirip sajak yang berima.
Baru ketika mulai beranjak dewasa, potongan peristiwa dari banyak berita menunjukkan bahwa perampasan tanah itu nyata. Wajah pribumi yang murung karena tanahnya dilahap kerakusan kota ternyata bukan drama. Namun, sebatas itu juga pemahaman yang tercipta. Bahwa tanah itu mau tidak mau memang harus dirampas karena si empunya tanah adalah warga negara biasa yang memang mau tidak mau harus tunduk pada “kepentingan” negara. Setidaknya itulah pemahaman dari murid SMP yang rajin mendengarkan penjelasan guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) tentang “hak dan kewajiban” warga negara.
“Jika negara sudah banyak memenuhi hak warganya, seharusnya warga juga rela menunaikan kewajibannya patuh pada negara,” kira-kira begitulah tesis saya kala itu. Dan, merelakan tanah untuk kepentingan negara adalah bagian dari melaksanakan kewajiban tersebut. Namun, lambat laun tesis itu terkoreksi. Antitesis yang hadir kemudian adalah sebaris pertanyaan, “Benarkah negara sudah melaksanakan kewajiban pada rakyatnya sehingga rakyat selalu dituntut menunaikan kewajibannya pada negara?” Ternyata jawabannya: tidak!
Bagi saya, buku ini adalah penegas antitesis tersebut. Buku ini secara sederhana mendedahkan makna: rakyat selalu saja dituntut melaksanakan kewajibannya pada negara tanpa pernah mendapatkan hak sebagai warga negara. Padahal, negara, seperti kata Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita, adalah “Panitia Kesejahteraan”. Tidak ada tujuan lain didirikannya Republik Indonesia semata-mata demi menjadi panitia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Tapi, di mana kehadiran panitia itu saat rakyatnya sengsara? Ternyata kepanitiaan yang selalu rutin berganti lima tahun sekali justru untuk “menyengsarakan” anggotanya (warga). Sementara itu, nubuat para cerdik pandai lainnya juga berkata, negara itu hadir untuk menjaga tiga hal dari warganya: (1) jiwa, (2) harta, dan (3) martabat. Sekali lagi, pertanyaannya adalah di mana “batang hidung” negara saat warganya menghadapi ancaman kehilangan jiwa, harta, dan martabat? Jawabannya pun tidak kalah sederhana: alih-alih negara hadir untuk menyelamatkan jiwa, harta, dan martabat warga negara, justru negaralah yang merampas jiwa, harta, dan martabat warga negara.
Sekelumit kesimpulan itu yang (setidaknya) sementara ini saya dapatkan ketika membaca buku Korporasi & Politik Perampasan Tanah. Saya paham, ini bukan kesimpulan baru. Bagi akademisi, tesis tentang dislokasi negara bukan temuan anyar. Coba tanyakan saja pada tukang becak di seantero negeri ini, mereka toh sudah paham kalau negara sudah lama hilang dalam kamus hidup mereka. Jadi, bagi—meminjam terminologi Peter L. Berger dan Thomas Luckmann—man on the street, dislokasi negara adalah rahasia umum. Lantas, kalau sudah rahasia umum, kenapa pula harus diwartakan ulang? Bagi saya, setidaknya kesimpulan itu bisa memuaskan “hasrat intelektual” saya.
Konklusi itu berkaitan dengan ranah kajian (wilayah studi) yang relatif baru saya geluti belakangan ini: studi agraria, di mana Mbak Laksmi Savitri turut serta “mencemplungkan” saya dalam kajian ini. Awalnya, saya mengira pembebasan lahan demi pembangunan (terminologi yang eufemistis khas pemerintah) adalah konsekuensi logis dari pembangunan. Pun awalnya saya hanya memahami RSP adalah akronim dari Rumah Sakit Pertamina, padahal RSP juga berarti Relative Surplus Population. Bahkan, awalnya saya hanya mengenal satu nama Tania di dunia ini, yakni nama sepupu kecil saya di kampung sana. Namun, ternyata ada nama Tania Li yang mengantarkan saya mengenal istilah eksklusi (the powers of exclusion).
Semua pengetahuan itu terkonstruksi berkat pertemuan “tidak sengaja” dengan Sekolah Agraria MAP UGM, di mana Mbak Laksmi Savitri menjadi salah satu guru yang mengajari kami banyak hal. Dengan demikian, dalam kacamata seorang debutan baru studi agraria, buku Mbak Laksmi ini adalah pelengkap dari apa yang sebelumnya sudah pernah dijelaskan secara impresif oleh Mbak Laksmi dan guru-guru lainnya di Sekolah Agraria MAP UGM. Dengan kata lain, kesimpulannya adalah buku ini (dan juga Sekolah Agraria MAP UGM) merupakan jawaban komperhensif atas pertanyaan masa remaja saya saat mendengar sepotong bait lagu Iwan Fals tentang kampungnya di “Ujung Aspal Pondok Gede”: perkampungan penuh nostalgia yang harus musnah akibat arus industrialisasi menerabas wilayah itu.
Namun, jika apresiasi ini hanya berhenti di sini, bisa-bisa saya “dipecat” sebagai murid Sekolah Agraria MAP UGM. Sebab, Mbak Laksmi dan guru-guru yang lain selalu mengajari kami untuk bertanya dan bertanya. Seperti goresan pena Ahmad Wahib empat dekade silam, “bertanya bukanlah semata aktivitas yang didasari ketidaktahuan, melainkan juga berangkat atas kemengertian demi tersingkapnya lebih dalam kemengertiannya tersebut.” Singkatnya, bertanya sama saja dengan belajar. Semacam kehausan untuk mengetahui secara lebih, lebih, dan lebih lagi.
Beberapa Catatan
- Di akhir kalimat halaman 57, Mbak Laksmi memunculkan kegamangan masyarakat Marind, “Apakah investasi ini harus diterima atau ditolak?” Persis di jantung pertanyaan itu, saya ingin mengajukan pertanyaan balik ke Mbak Laksmi. Seperti dijelaskan di halaman sebelumnya buku ini, investasi yang berkaitan erat dengan doktrin pembangunan adalah pokok permasalahan yang menyebabkan manusia Anim-Ha kehilangan “nama”-nya karena tanahnya kini dicaplok korporasi. Dengan demikian, langkah terbaik bagi orang Marind adalah menolak tawaran para investor tersebut. Namun, dengan menolak investasi, apakah ada jaminan kemajuan atau modernisasi (modernisasi dalam arti paling substansial, yakni pencerahan akal budi seperti impian eksponen Mazhab Frankfurt) bisa terwujud? Artinya, pertanyaan “apakah investasi ini harus diterima atau ditolak?” harus diikuti dengan pertanyaan lanjutan, “Apakah ada alternatif lain menuju kemajuan (modernisasi) tanpa mengharapkan kehadiran investasi besar-besaran dari pihak swasta (korporasi)?” Seingat saya, Mbak Laksmi pernah memberi jawaban atas pertanyaan tersebut dengan memberi ilustrasi apa yang terjadi di negara-negara Skandinavia (tapi saya lupa apa istilah teoretis atas konsep pembangunan semacam itu). Di daratan Skandinavia, pembangunan dan pemerataan perekonomian relatif berjalan seimbang. Jaminan negara atas hak-hak sosial warga juga berjalan baik. Dan uniknya, negara-negara di wilayah Skandinavia sama sekali tidak tertarik untuk membicarakan target pertumbuhan ekonomi tinggi sampai dua digit seperti yang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan di negara-negara Skandinavia hanya berkisar dua persen, tetapi mereka tidak tergolong miskin. Artinya, konsep pembangunan ala Skandinavia semestinya bisa ditampilkan Mbak Laksmi dalam buku ini sebagai tawaran alternatif bagi pembaca untuk menjawab pertanyaan di akhir halaman 57 tersebut.
- Sependek apa yang saya pahami, dalam banyak kasus, analisis tentang ekspansi kapitalisme global di sektor hilir (standarisasi konsumsi, gaya hidup, komodifikasi segala lini kehidupan yang secara ringkas bisa kita masukkan dalam ranah cultural studies) cenderung berseberangan secara diametral dengan analisis tentang ruang gerak kapitalisme global di level hulu (perampasan dan monopoli sarana-sarana produksi). Padahal, dalam hemat saya, kedua lini analisis tersebut sebenarnya kompatibel karena yang satu fokus pada produksi, sementara satunya lagi membahas konsumsi. Dan, sebagaimana lingkaran siklus ekonomi, kelancaran faktor produksi selalu ditunjang oleh lancarnya aspek konsumsi. Apa yang dianalisis beberapa sosiolog seperti—untuk menyebut beberapa—Pierre Bourdieu tentang “distingsi” selera konsumsi di masyarakat konsumtif atau Jean Baudrillard mengenai “manipulasi tanda” di era hiperrealitas sangat berhubungan dengan masifikasi konsumsi yang punya efek kolateral dengan kelancaran kuantitas produksi para kapitalis yang menginginkan produknya laku keras demi akumulasi modal.
Kenapa saya menyampaikan catatan ini? Di salah satu sesi Sekolah Agraria MAP, pernah terlontar pendapat bahwa analisis cultural studies sering kali tidak relevan untuk disampaikan dalam studi-studi agraria karena analisis cultural studies lebih banyak menekankan pada aspek gaya hidup. Sedangkan analisis kritis ekonomi-politik untuk studi agraria tidak lagi terpaku dengan pertimbangan gaya hidup, melainkan hidup-mati seseorang. Asumsinya, gaya hidup adalah persoalan “remeh-temeh”, sementara analisis “hidup-mati” seseorang adalah problem yang sangat esensial dan mendasar. Namun, buku ini memberi bukti bahwa dua level analisis itu bisa disandingkan dengan serasi. Terbukti bahwa pemiskinan dan pelemahan kelompok masyarakat tertentu tidak hanya disebabkan perampasan sarana-sarana produksi (semisal tanah), tetapi juga didukung oleh pelemahan kesadaran oleh rayuan-rayuan “false need” yang dipropagandakan oleh kapitalisme global lewat diseminasi standarisasi selera konsumsi dan gaya hidup.
[1] Salah satu temuan menarik dari Mbak Laksmi yang menginspirasi judul catatan kecil ini adalah sistem tenurial dalam struktur sosial masyarakat Marind. Tanah, yang diasosiasikan sebagai tempat asal, merupakan salah satu elemen identitas yang menjadi hak atas tanah dan melekat pada nama orang. Di antara susunan nama orang Marind sebelum nama marga, dilekatkan nama tempat dari mana moyang mereka pertama kali menetap dan membuka kampung. Dengan mendengar nama seorang Marind, orang Marind yang lain akan tahu dari mana saudaranya berasal dan siapa moyangnya (hal. 18). Dengan demikian, dapat diibaratkan jika sistem tenurial di Marind berubah, maka manusia Anim-Ha berpotensi kehilangan salah satu unsur pembentuk namanya.
*Oleh Mohammad Afifuddin | Ditulis sebagai bahan Diskusi dan Bedah buku “Korporasi & Politik Perampasan Tanah” di Magister Adminitrasi Publik, Fisipol, UGM. Senin, 25 November 2013.
*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah/ Laksmi A. Savitri/ INSISTPress/ Edisi: I, Oktober 2013.