MIFEE dan Malind: Dari Sekadar Ingar-bingar Perbincangan ke Tataran Diskursus*
Ada banyak cara melihat program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan bagaimana nasib orang-orang Malind yang merupakan penduduk asli Merauke. Salah satunya diperlihatkan oleh para aktivis The Papuan Voices melalui satu keping DVD berjudul “Voice of Papua”. Salah satu film pendek yang bercerita soal orang Malind berjudul Ironic Survival.
Adalah Alex Mahuze, seorang Malind yang menceritakan bagaimana kini orang-orang dari marganya, Mahuze, dengan terpaksa mulai merusak lingkungan karena alasan “lapar”. Mahuze adalah nama marga yang berarti “sagu”. Lambangnya adalah “pohon sagu”. Alex meyakini bahwa sagu adalah makanan utama seluruh orang Papua.
Karena marganya adalah Mahuze, maka sudah menjadi tugas setiap anggota marga untuk menjaga pohon-pohon sagu di wilayah di mana ia bermukim. Hal ini merupakan tanggung jawab adat untuk menjaga sesuatu sesuai dengan makna marga.
Tetapi, program MIFEE yang sudah berjalan sejak 2008 telah merusak jalan hidup orang Malind, salah satunya marga Mahuze. Alex mengatakan bahwa “ia sama sekali tidak mengerti apa itu MIFEE!” Ia hanya menunjuk sejumlah kecil pepohonan sagu yang katanya sudah masuk dalam areal salah satu perusahaan yang menjadi bagian dari pelaksana program MIFEE. Ia meyakini bahwa sagu-sagu ini pun akan habis dan tak tahu mereka akan makan apa nantinya.
“Saya ini orang kecil. Kami datang ke sini cari makan untuk hari ini. Besok kami cari makan lagi. Begitu setiap hari. Sementara orang-orang MIFEE datang ke sini hanya untuk keuntungan pribadi. Tak pernah sekali pun orang-orang perusahaan (atau pemerintah) datang menemui kepala kampung atau tetua adat. Hanya mereka tiba-tiba datang dan diam-diam buka lokasi!” tegas Alex Mahuze datar.
Hilangnya areal pepohonan sagu dan budaya membuat pangan dari sagu pada akhirnya menekan orang Malind untuk berjuang bertahan hidup. Mereka lalu terdesak ke tepi laut. Di pantai mereka mulai menambang pasir dengan cara sederhana. Mereka menggali pasir, sekop demi sekop. Lanskap pantai berubah. Kerusakan permukaan pasir yang luas tampak dari kejauhan.
“Kenapa saya harus menambang pasir? Karena MIFEE membuat saya punya perut lapar,” kata Alex menunjukkan ketidaksenangannya terhadap MIFEE. Baginya, MIFEE datang kepada marganya untuk menghancurkan diri dan anggota marga Mahuze lainnya, orang kecil ini.
Di sinilah letak ironinya sebagaimana menjadi judul film pendek ini. Setelah ribuan tahun hidup dalam harmoni dengan alam, sekarang orang Malind harus bertahan hidup dengan cara menghancurkan alam mereka sendiri. Sangat ironis!
Film berdurasi 5 menit 6 detik ini ditutup dengan pernyataan Alex Mahuze: “Kalau boleh ini tidak boleh diadakan. Ini permintaan saya!”
Cara lain untuk melihat program MIFFE dan dampaknya bagi orang-orang Malind adalah melalui buku, dan buku berjudul Korporasi &Politik Perampasan Tanah yang ditulis Dr. Laksmi A. Savitri adalah salah satu rujukan yang baik. Tak seperti jumlah film tentang Malind dan MIFEE yang terbatas, jumlah bacaan cukup banyak tersedia. Pak Roem Topatimasang pernah membuat video essay berjudul “Surga yang Hilang” di awal 2008 saat MIFEE belum dicanangkan di Merauke. Video esai ini bercerita bagaimana orang-orang Malind yang tinggal di Bandiamo kehilangan alam surgawi mereka dan bahkan masa depan anak cucu Malind menjadi suram akibat eksploitasi alam secara berlebihan oleh sejumlah perusahaan dan salah urus pemerintah akan wilayah mereka.
Sumber bacaan yang melimpah, mulai dari dokumen pemberitaan rutin mengenai pro-kontra program ini setelah lima tahun berjalan, sampai pada opini dan berita soal aksi dan advokasi program ini serta buku seperti MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind, tersedia di dunia internet. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks program MIFEE, sebuah pertarungan wacana sedang berlangsung. Berbagai ide atau gagasan jelas saling membalas. Namun, satu hal yang pasti, ekspansi 46 perusahaan sudah menyapu hutan dengan segala isinya hingga beratus ribu hektare luasnya dengan berbagai peruntukan, mulai dari padi, tebu, hingga kelapa sawit (lihat bagian “Tawaran akan Masa Depan: Marind Anim Tanpa Tanah?”, hal. 59–80). Sementara hanya sebagian kecil orang-orang Malind yang sadar betul dan berani menantang arus besar program MIFEE, seperti yang diperlihatkan oleh Polikarpus, Bonaficius Gebze, Melki Tomba, Nenek Rufina, sejumlah orang Selil yang mempertahankan kebun buah dan karet mereka, serta Paitua Sitompul dari golongan Mayo Ndaman yang keras aturan adatnya (hal. 84–88).
Buku ini sudah cukup baik menjelaskan budaya orang Malind dan bagaimana mereka menjalani hidup di masa lalu yang merdeka dan sejak masuk ke wilayah Indonesia hingga sekarang yang terus-menerus menghadapi tekanan eksploitatif, baik dari pemerintah berbasis kekuatan militer maupun perusahaan yang bermodalkan lembar-lembar uang. Juga sudah cukup menggambarkan bagaimana program MIFEE ini, yang merupakan upaya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui tangan korporasi bermaksud “memberi makan dunia”, disusun dan dikerjakan oleh para anggota kabinet dan para ahli ekonomi yang menganut konsep “krisis kelangkaan pangan” ala Malthusian dan tentu saja penganut ideologi ekonomi pasar bebas.
Saya pribadi sebenarnya berharap ingin lebih mengetahui bagaimana eksistensi orang Malind dan perjuangan mereka dalam buku ini, khususnya bagaimana mereka membangun aksi, dan lebih jauh advokasi, hingga mampu mengubah keadaan. Memang sudah ada sekilas gambaran sebagaimana dipaparkan di atas, tetapi pendalaman para pejuang Malind soal masalah yang kini sedang mereka hadapi, menurut saya, penting mendapat perhatian.
Bagi pembaca atau pegiat lingkungan dan agraria, tentu masalah yang dihadapi Malind memiliki cara kerja yang relatif sama di banyak tempat di mana perusahaan dan pemerintah bersama-sama melakukan perampasan tanah atas nama pembangunan. Di Mamuju Utara, misalnya, di mana penulis pernah meneliti bagaimana orang-orang Binggi—warga asli Mamuju Utara—akhirnya tergusur hingga jauh ke pedalaman dari areal kehidupan mereka. Mereka terdesak akibat ekspansi perusahaan kelapa sawit yang bengis, dan dibekingi oleh pihak keamanan bersenjata api, terus berlangsung selama bertahun-tahun. Walaupun hampir selalu saja ada perlawanan kecil di setiap tempat, tetapi perlawanan itu tak pernah benar-benar menghentikan ekpansi perusahaan-perusahaan besar nan rakus ini.
Mengapa hal ini terjadi?
Untuk menjawabnya, kiranya masih cukup relevan meminjam Alexander Irwan yang pernah menganalisis perebutan pengelolaan sumberdaya pada tingkat nasional di Indonesia dengan memandang pertarungan ini sebagai pertarungan wacana atau diskursus (Alexander Irwan (2006) “Dalil Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya”, dalam Hadiz dan Dhakidae, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, hal. 31–61).
Sebuah diskursus menurutnya selalu mempunyai komponen “bahasa” dan “gagasan”, tetapi adanya gagasan yang dikonstruksi dalam bahasa tidak serta merta membuatnya menjadi diskursus. Maksudnya, peperangan di tingkat bahasa dan gagasan bisa saja sangat ingar-bingar, tetapi biasanya tidak membawa dampak yang signifikan dalam perebutan pengelolaan sumberdaya, dalam kasus ini misalnya memenangkan orang-orang Malind dan membatalkan proyek MIFEE. Sebuah gagasan baru dapat menjadi diskursus sepanjang ia berhasil memenuhi dalil kelembagaan, yakni pada tataran “mensosialisasikan pemikiran” kepada khalayak dan tataran “tersedianya regulasi negara yang mampu mengatur dan memberi sanksi bagi pelanggarnya”.
Kedua aras kelembagaan ini berguna untuk melihat apakah sejauh ini gagasan dalam buku Laksmi A. Savitri dan buku lainnya yang membahas hal yang sama serta sejumlah media lain sekadar menjadi pergulatan gagasan yang terwacanakan sehingga kelak akan mampu mengubah keadaan atau ia hanya merupakan sekumpulan gagasan yang hanya manambah ingar-bingarnya perbincangan belaka. Mari kita mengujinya.
Setidaknya sejauh ini Laksmi A. Savitri, selain sebagai staf pengajar di UGM juga penggiat di lembaga riset Sajogyo Institute, dua lembaga yang cukup besar dan concern pada isu kerakyatan dan isu agraria dan perampasan tanah. Kedua lembaga ini potensial menjadi media penyebarluasan gagasan (diskursus di ranah sosialisasi pemikiran). Apalagi, buku ini juga diterbitkan oleh lembaga INSIST yang memiliki jaringan luas di seluruh Indonesia.
Apakah perluasan gagasan ini akan membawa pada diskursus tataran kelembagaan berikutnya di mana ia mampu menelorkan sejumlah regulasi yang cukup ketat mengendalikan laju perampasan tanah dan dengannya menyelamatkan rakyat Malind dari ketersingkiran? Tentu masih terbentang jalan panjang.
Saya tak ingin pesimis dengan bentangan panjang jalan yang harus dilalui. Tetapi, sekilas terlintas dalam pikiran, seandainya pada sidang BPUPKI enam puluh delapan tahun yang lalu mayoritas anggota BPUPKI menyetujui usul Drs. Mohammad Hatta untuk tidak memasukkan Papua ke dalam republik yang baru itu, maka mungkin kita tak perlu dirisaukan oleh “penjajahan” panjang ini di tanah Papua.
*Oleh: Ishak Salim | Makalah ditulis sebagai bahan Diskusi dan Bedah buku “Korporasi & Politik Perampasan Tanah” di Magister Adminitrasi Publik, Fisipol, UGM. Senin, 25 November 2013.
*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah/ Laksmi A. Savitri/ INSISTPress/ Edisi: I, Oktober 2013.