Ulasan ‘Korporasi & Politik Perampasan Tanah’

Ulasan ‘Korporasi Politik Perampasan Tanah’*

Setelah menyelesaikan bagian pertama buku, sebuah analogi yang hampir mirip dengan gambaran orang Marind tergambar pada bayangan saya, yakni tentang adegan dalam film epik-komedi, The Gods Must be Crazy, di mana sebuah suku primitif di pedalaman Afrika Selatan mengalami kegamangan terhadap hal baru dalam wujud botol kaca minuman yang jatuh dari langit, yang kemudian ditemukan oleh salah seorang anggota suku di Kalahari. Karena menganggap jatuh dari langit, Xi, tokoh dalam film tersebut, berpikir bahwa benda tersebut adalah kiriman dewa. Singkat cerita, oleh beberapa anggota suku lain, botol minuman digunakan untuk berbagai kegiatan dan begitu berguna bagi semua orang. Namun, petaka mulai datang ketika semua orang mulai menganggap botol tersebut sebagai hal terpenting dan mulai terjadi keributan memperebutkan botol di kampung suku tersebut. Xi kemudian sadar bahwa botol tersebut ternyata tak membawa kebaikan sama sekali dan kemudian ia melakukan perjalanan menemukan ujung dunia, yang ternyata laut, untuk membuang botol tersebut.

Gambaran yang ditampilkan dalam film The Gods Must be Crazy sejatinya adalah bangunan kritik yang coba disampaikan sang pembuat film kepada penonton bahwa hal yang baru, yaitu sesuatu yang modern, tak selamanya akan membantu suatu komunitas tertentu yang masih menggunakan model pembangunan yang lama (primitif). Sama halnya yang dialami oleh masyarakat suku Marind di pedalaman Papua dalam buku Laksmi A. Savitri ini. Apabila tujuan dari kehadiran 46 perusahaan di Merauke adalah membantu pembangunan masyarakat di Merauke, yang dikatakan sebagiannya masih tergolong primitif, jika ukurannya adalah pengenalan teknologi dan pendidikan, maka hal tersebut sebenarnya salah besar.

Persoalan manusia Papua memang seabrek. Bukan hanya soal kutukan sumberdaya alam (curse of resources), tetapi persoalan bagaimana kita para manusia di barat, orang-orang di bagian barat Papua atau sederhananya adalah Jakarta, memandang Papua sebagai sebuah masyarakat yang sama. Persoalan manusia Indonesia saat ini pada umumnya adalah selalu memandang Papua sebagai masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, masih primitif sehingga gampang dibodohi dan dieksploitasi. Inilah yang menjadi faktor mengapa mereka selalu saja memberontak, yakni karena diperlakukan rendah. Dalam proyek MIFEE ini, betapa absurdnya sistem kapitalisme ini memperlakukan manusia Papua. Medco berhasil mengakuisisi tanah seluas 300.000 hektare dengan kompensasi uang 300 juta dengan perjanjian Medco bisa meminjam tanah hingga 60 tahun (hal. 76).

Konsekuensi Logis

Dengan 2 juta hektare yang telah diizinkan pemerintah untuk digunakan oleh 46 perusahaan, beberapa konsekuensi logis dari kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional dalam proyek MIFEE di Merauke harus siap dihadapi oleh para penduduk asli. Di antaranya adalah akan muncul banyak budaya boom-town, yaitu kota baru yang mengalami pertumbuhan dengan kecepatan yang luar biasa akibat masuknya modal dalam jumlah yang sangat besar. Dengan kemunculan wilayah baru ini, akan terjadi pergulatan budaya antara budaya dari perkotaan baru, yang terbentuk melalui hadirnya orang-orang yang didatangkan oleh perusahaan, dengan budaya lokal yang tradisional, yang sangat mungkin akan menggerus budaya lokal karena masuknya para migran yang didatangkan oleh perusahaan. Tanpa relasi yang setara antara budaya baru dan budaya lokal, bisa saja terjadi dominasi antara satu pihak terhadap budaya lainnya.

Selain itu, budaya lain yang akan muncul adalah budaya militeristik. Sangat mungkin perusahaan-perusahaan multinasional akan menunjuk pihak militer untuk menjaga keamanan di sekitar perusahaan, yang tidak lain memang telah menjadi ladang bisnis tersendiri bagi TNI selama ini. Sebagai contoh, pada kasus Freeport, pada 2003, Freeport-McMoran Copper & Gold Inc merilis laporan terbatas di mana mereka mengakui telah membayar dana keamanan sebesar 5,6 juta dolar Amerika Serikat kepada TNI untuk melindungi perusahaan selama 2002. Freeport juga mengakui membayar 4,7 juta dolar Amerika Serikat untuk mempekerjakan kurang lebih 2.300 personel tentara Indonesia selama 2001. Mengalirnya dana ini ke pihak keamanan Indonesia menunjukkan apa yang sebenarnya dipentingkan di tengah-tengah masyarakat yang hak atas tanah dan budayanya semakin tergerus.

Mempertahankan Tanah

Sebagai seorang Anim-Ha, jati diri seorang manusia sejati adalah bergumul dengan alamnya, yaitu tanah. Beruntunglah bahwa diri mereka dibentuk oleh alam, bukan dengan tumpukan uang. Model pembangunan yang sedang ditanamkan di tanah mereka tidak menciutkan nyali mereka untuk melawan. Mempertahankan tanah berarti melawan pembangunan yang sedang berlangsung di tanah air Marind. Bersyukurlah masih ada beberapa kampung yang bertahan dengan segala penolakan masuknya perusahaan-perusahaan memakai tanah mereka, seperti yang dilakukan oleh warga kampung Makaling (hal. 91). Makaling kaya karena keyakinan mempertahankan kesejatiannya sebagai manusia (hal. 92). Lebih dari itu, tiga belas kampung telah bersumpah janji di Tiang Ka’u untuk tidak menjual, menyewakan, maupun melepaskan tanah kepada investor.

Bagaimanapun, masa depan orang Marind hanya mereka sendiri yang mengetahuinya. Seperti yang dilakukan oleh Xi yang mencari dunia untuk membuang botol minuman yang dianggap telah merusak mereka, orang Anim-Ha pun harus bisa melakukannya apabila pembangunan oleh proyek MIFEE ini mengganggu masa depan masyarakat Marind. 

*Oleh Rico Hermawan | Ditulis sebagai bahan  Diskusi dan Bedah buku “Korporasi & Politik Perampasan Tanah” di Magister Adminitrasi Publik, Fisipol, UGM. Senin, 25 November 2013.

*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah/ Laksmi A. Savitri/ INSISTPress/ Edisi: I, Oktober 2013.