Tanah dan Identitas yang Hilang*
“…Sampai saat tanah moyangku, tersentuh sebuah rencana/ Dari serakahnya kota/ Terlihat murung wajah pribumi/ Terdengar langkah hewan bernyanyi/…” (Ujung Aspal Pondok Gede,- Iwan Fals)
Sepotong bait lagu yang dipopulerkan Iwan Fals dalam Album “Sore Tugu Pancoran” (1985) itu ternyata bukan fenomena khas di Ujung Aspal Pondok Gede. Penggusuran dan perampasan tanah (land grabing) sudah menjadi “nomenklatur kodian” yang terjadi di mana-mana. Tidak susah kita temukan potret wajah pribumi (penduduk asal tempat terjadinya perampasan tanah) menangis murung penuh duka sambil berjalan tertatih diringi langkah hewan peliharaannya. Atas nama “pembangunan”, justru mereka terusir dari tanah-air nya sendiri. Inilah proses yang oleh Tania Li, dkk (2011) disebut sebagai “ekslusi” (the powers of exclusion).
Meski sudah belasan tahun “bercerai” dari Orde Baru (Orba), tetap saja terminologi pembangunan belum bisa melepaskan diri dari eufisme bahasa khas Orba. Terminologi pembangunan di era Orba terlanjur berasosiasi dengan makna percepatan penyediaan infrastruktur fisik namun mengabaikan pentingan penyediaan “infrastruktur” akal-budi. Yang dikejar hanyalah indikator teknis-teknoratis sembari mengebiri indikator-indikator yang lebih substantif seperti keadilan, pemerataan kesejahteraan, atau yang sering dirangkum dalam istilah “memanusiakan manusia.”
Negara selalu saja merasa dirinya sudah tunai melaksanakan kewajibannya, sehingga giliran rakyat yang harus menuntaskan kewajibannya pada negara. Dan, merelakan tanahnya untuk “kepentingan” negara adalah bagian dari melaksanakan kewajiban tersebut. Tapi buku ini menujukkan fakta sebaliknya. Selama ini rakyat yang selalu dituntut melaksanakan kewajibannya pada negara, tanpa pernah mendapatkan haknya sebagai warga negara. Padahal, negara, seperti kata Bung Hatta dalam buku “Demokrasi Kita” (1961) adalah, “Panitia Kesejahteraan.” Tidak ada tujuan lain didirikannya Republik Indonesia semata-mata demi menjadi panitia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Tapi di mana kehadiran panitia itu saat rakyatnya sengsara? Ternyata kepanitiaan selalu rutin berganti lima tahun sekali justru untuk “menyengsarakan” anggotanya (baca: warganya).
Itulah salah satu poin penting dari buku “Korporasi dan Politik Perampasan Tanah”: sebuah riset etnografi pembangunan di tanah Marind, Merauke, Papua yang saat ini menjadi lokasi mega proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Memang, kesimpulan semacam itu bukan hal baru. Isu mengenai dislokasi negara sudah banyak diulas penulis-penulis sebelumnya. Begitu pula dengan isu MIFEE. Laksmi Savitri bukan peneliti pertama yang menulis tentang MIFEE. Namun setidaknya, buku ini menawarkan satu sudut pandang tersendiri mengenai MIFEE, pembangunan, perampasan tanah, eksploitasi terhadap masyarakat adat Marind, maupun integrasi analisis teoritik yang memikat.
Salah satu temuan menarik dari Laksmi Savitri yang menginspirasi judul catatan kecil ini adalah sistem tenurial dalam struktur sosial masyarakat Marind. Tanah, yang diasosiasikan sebagai tempat asal, merupakan salah satu elemen identitas yang menjadi hak atas tanah dan melekat pada nama orang. Diantara susunan nama orang Marind sebelum nama marga, dilekatkan nama tempat dari mana moyang mereka pertama kali menetap dan membuka kampung. Dengan mendengar nama seorang Marind, orang Marind yang lain akan tahu dari mana saudaranya berasal dan siapa moyangnya (hal. 18). Dengan demikian, dapat diibaratkan jika sistem tenurial di Marind berubah, maka manusia Anim-Ha berpotensi kehilangan salah satu unsur pembentuk namanya.
Inilah bukti bahwa mainstream pembangunan di Indonesia masih berorientasi pada capaian-capaian teknis-teknokratis tanpa mempertimbangkan aspek historis-kultural (kosmologis) masyarakat.
Selain itu, yang juga menarik dari buku ini adalah keberhasilannya mengintegrasikan analisis tentang kritik kapitalisme di level makro dan mikro (hal. 56). Sependek apa yang saya pahami, dalam banyak kasus, analisis tentang ekspansi kapitalisme global di sektor hilir (standarisai konsumsi, gaya hidup, komodifikasi segala lini kehidupan yang secara ringkas bisa kita masukkan dalam ranah cultural studies) cenderung berseberangan secara diametral dengan analisis tentang ruang gerak kapitalisme global di level hulu (perampasan dan monopoli sarana-sarana produksi). Padahal dalam hemat saya, kedua lini analisis tersebut sebenarnya kompatibel karena yang satu fokus pada produksi, sementara satunya lagi membahas konsumsi. Dan sebagaimana lingkaran siklus ekonomi, kelancaran faktor produksi selalu ditunjang oleh lancarnya aspek konsumsi.
Analisis cultural studies seringkali dianggap tidak relevan untuk disampaikan dalam studi-studi agraria karena analisa cultural studies lebih banyak menekankan pada aspek gaya hidup. Sedangkan analisis kritis ekonomi-politik untuk studi agraria tidak lagi terpaku dengan pertimbangan gaya hidup, melainkan hidup-mati seseorang. Asumsinya gaya hidup adalah persoalan “remeh-temeh”, sementara analisis “hidup-mati” seseorang adalah problem yang sangat esensial. Namun buku ini memberi bukti bahwa dua level analisis itu bisa disandingkan dengan serasi. Terbukti bahwa pemiskinan dan pelemahan kelompok masyarakat tertentu tidak hanya disebabkan perampasan sarana produksi (tanah), tetapi juga didukung oleh pelemahan kesadaran oleh rayuan-rayuan “false-need” yang dipropagandakan oleh kapitalisme global lewat diseminasi standarisasi selera konsumsi dan gaya hidup.
Namun kelemahan buku ini adalah ketidakmampuannya memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan sendiri oleh penulisnya, “apakah investasi (dalam pembangunan) ini harus diterima atau ditolak?” (57). Persis di jantung pertanyaan itu saya ingin mengajukan pertanyaan balik ke Laksmi Savitri, “bagi wilayah yang sedang getol membangun, apakah ada ada alternatif pilihan selain menerima investasi?.” Pertanyaan itu tidak terjawab karena buku ini terkesan terbit “sebelum waktunya.” Karena untuk ukuran buku etnografi pembangunan, buku ini masih terlalu “tipis”, sehingga banyak hal yang kurang detail untuk dijelaskan lebih komperhensif.
*Oleh Mohammad Afifuddin Munawar, Peneliti di Sekolah Agraria UGM Yogyakarta | Artikel ini pernah dimuat di JAWA POS – 22 Desember 2013.
*Rehal buku: Korporasi & Politik Perampasan Tanah/ Laksmi A. Savitri/ INSISTPress/ Edisi: I, Oktober 2013.