Paradigma Baru Perdagangan ASEAN

Paradigma Baru Perdagangan ASEAN*

Isu rantai pasokan dalam konteks perdagangan di kawasan ASEAN merupakan model baru produksi dan bisnis terintegrasi dari perusahaan-perusahaan multinasional. Beberapa indikator menunjukkan, Indonesia belum siap menghadapi derasnya arus liberalisasi di ASEAN, membuat Indonesia terancam menjadi pasar utama produk industri negara lain.

Pasar tunggal ASEAN adalah salah satu bentuk integrasi ekonomi kawasan regional yang bertujuan menjadikan kawasan ini kompetitif bagi lalu lintas barang, jasa, dan modal sehingga dapat terhubung penuh ke dalam rantai pasokan global (global supply chain). Pasar tunggal dalam skema Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini mulai diberlakukan pada akhir tahun 2015 (*ed).

Dalam publikasi Rezim Baru ASEAN: Memahami Rantai Pasokan dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (Pustaka Sempu, 2014), Edy Burmansyah memaparkan, guna mengintegrasikan diri ke dalam perekonomian global secara penuh, ASEAN menempuh dua pendekatan.

Pertama, pendekatan koheren menuju hubungan ekonomi eksternal melalui Kawasan Perdagangan Bebas (FTA) dan Kemitraan Ekonomi yang Lebih Erat (CEP). Kedua, partisipasi yang lebih kuat dalam jejaring pasokan global.

Dalam perkembangannya, meski AFTA mampu meningkatkan volume dan nilai perdagangan di negara-negara ASEAN, iklim perdagangan intra ASEAN tidak meningkat secara signifikan. Para pemimpin negara ASEAN menilai, AFTA tidak mencukupi lagi untuk mencapai integrasi ekonomi ASEAN. Keinginan mengintegrasikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi mulai dirancang para pemimpin ASEAN melalui berbagai perundingan yang dimulai sejak ASEAN Summit ke-5 pada 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Puncaknya adalah KTT ASEAN Ke-9 tahun 2003 di Bali dengan disahkannya Bali Concord II yang menyetujui pembentukan Masyarakat ASEAN, termasuk MEA. KTT ASEAN Ke-19 di Bali pada 2011 makin mengintegrasikan ASEAN ke dalam proses globalisasi produksi, investasi, jasa, dan tenaga terampil dalam skema rantai pasokan.

Perdagangan abad ke-21

Perdagangan rantai pasokan (supply chain trade) menggeser paradigma perdagangan yang selama ini berjalan. Perdagangan barang dan jasa (trade of goods) berganti jadi perdagangan tugas-tugas (trade of tasks), yang belakangan dikenal dengan istilah perdagangan abad ke-21 atau perdagangan rantai pasokan. Inti perdagangan rantai pasokan adalah perubahan pola perdagangan internasional dari perdagangan antarnegara menjadi perdagangan antar-perusahaan multinasional. Produksi dan bisnis yang terintegrasi dari perusahaan multinasional membentuk satu jaringan/rantai produksi yang melibatkan banyak perusahaan di banyak negara untuk mencapai efisiensi dan keuntungan maksimal. Paradigma rantai pasokan membawa implikasi serius terhadap lingkungan ekonomi global dan hubungan internasional sehingga berdampak besar pada perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral, regional, maupun multilateral.

Dibandingkan multilateral, pembentukan jaringan rantai pasokan lebih mungkin terjadi pada tingkat regional. Rantai pasokan dan regionalisme—dengan terbentuknya MEA—terkait erat. Regionalisme merupakan jalur utama bagi terjadinya rantai pasokan, yang memfasilitasi terjadinya perdagangan abad ke-21.

Kesiapan Indonesia

Meskipun pemerintah cukup optimistis menghadapi MEA 2015, hasil pengukuran kartu skor MEA menunjukkan, Indonesia belum siap menghadapi pasar bebas. Dari sepuluh negara anggota ASEAN, Indonesia bersama Laos merupakan negara dengan tingkat implementasi paling rendah, yakni 84,4 persen. Rendahnya tingkat implementasi ini juga berpengaruh pada kinerja perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN. Indonesia perlu mewaspadai potensi dampak yang mungkin ditimbulkan oleh liberalisasi ekonomi kawasan ini, baik terhadap perdagangan, investasi, pasar modal, kesejahteraan, tenaga kerja, maupun industri manufaktur.

Di dalam negeri sendiri, banyak pihak meragukan bahwa integrasi ekonomi ASEAN akan membawa manfaat besar bagi perekonomian Indonesia. Beberapa alasan yang melatarbelakanginya adalah ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya manusia, masih rendahnya daya saing, serta tingginya ketergantungan pada sumber daya alam.

Bagaimanapun, Indonesia harus menghadapi liberalisasi perdagangan dalam skema MEA ini. Terlebih karena Indonesia turut membuat kesepakatan dalam MEA dan sejumlah FTA. Dibutuhkan strategi jitu untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan barang dan jasa.

Sejumlah kebijakan perlu dipertimbangkan untuk mengantisipasi hal tersebut, yaitu pengetatan hambatan nontarif, penambahan produk yang dimasukkan dalamgeneral exception, kebijakan pembangunan industri selektif, dan kebijakan mewajibkan transfer teknologi. Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah memaksimalkan potensi tenaga kerja dan sumber daya alam serta meningkatkan perdagangan dalam negeri melalui kemudahan perdagangan antarpulau.

*Oleh:

*Rehal buku: Rezim Baru ASEAN: Memahami Rantai Pasokan dan Masyarakat Ekonomi ASEAN/ Edy Burmansyah/ Pustaka Sempu & Resistance and Alternatives to Globalization (RAG), 2014.