Memahami Imagined Communities (Benedict Anderson)

Memahami Imagined Communities (Benedict Anderson)*

Nasionalisme adalah fenomena yang diterima sebagai norma umum pembentukan negara pada abad 20. Kini kita mengenal citizenship sebagai sinonim nationality, padahal di masa lalu bangsa (natie, nation) tidak dikenal dalam pembentukan negara. Para cendikiawan seperti Nairn dan Hobsbawn berusaha menjelaskan apa itu konsep kebangsaan dan nasionalisme bagaimana ia muncul, namun Anderson tidak puas dengan konsep yang mereka berikan maka iapun menyajikan konsepnya mengenai “komunitas terbayang”.

Anderson tidak puas dengan pernyataan Renan bahwa bangsa it memiliki kepunyaan bersama, dan melupakan hal milik bersama. Apa yang menjadi kepunyaan bersama itu? Ia menolak juga pernyataan Gellner bahwa nasionalisme membikin-bikin sebuah bangsa, membikin dalam artian bangsa adalah sesuatu yang palsu adanya, bukan suatu hal yang dibuat bersama oleh para individu anggotanya.

Apa itu Bangsa?

Anderson mengajukan definisi bangsa sebagai “sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan.” Bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang karena mustahil bagi individu anggotanya untuk benar-benar pernah berinteraksi. Terbatas dalam arti hanya orang-orang tertentu yang memiliki syarat inheren adalah bagian dari bangsa. Berdaulat berarti bangsa-bangsa ini menganggap dirinya memiliki wilayahnya yang mandiri.

Dalam buku Anderson memnyajikan proses kesadaran nasional muncul melalui bantuan kapitalisme percetakan. Percetakan massal ini menjadi media pembentukan bahasa nasional yang bisa berasal dari bahasa administratif atau bahasa ibu. Ini berkebalikan dengan pendapat Renan bahwa bahasa bukanlah basis bagi pembentukan bangsa.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Borden_met_mededelingen_van_de_Dienst_voor_Legercontacten_(DLC)_in_het_Nederlands_en_het_Maleis_TMnr_10029532

Penggunaan bahasa “Melayu kedinasan” (dienst maleisch) adalah cikal bakal bahasa Melayu sebagai bahasa nasional.

Dengan berbekal sejarah berbagai bangsa, ia menunjukkan bagaimana para warga kolonial Amerika (yang ia sebut sebagai “perintis kreol”) adalah yang pertama kali memperjuangkan kesadaran nasional untuk memisahkan diri dari induk kolonialnya. Secara etnisitas dan kebudayaan 13 koloni Amerika adalah Inggris, namun mereka memutus hubungan dengan London dan menyatakan diri sebagai bangsa berdaulat. Namun dengan kekuatan percetakan koran, identitas nasional 13 koloni dikukuhkan sebagai bangsa Amerika.

Hanya berselang beberapa tahun dari revolusi Amerika para petit bourgeoisie di Prancis memperjuangkan kesadaran baru tentang bangsa Perancis yang berdaulat memimpin negerinya sendiri tanpa penguasa wangsa Bourbon. Pada abad-abad setelahnya model nasionalisme ini ditiru oleh bangsa-bangsa Eropa hingga akhirnya menjadi universal ditiru oleh bangsa-bangsa lainnya. Inilah uniknya bangsa sebagai komunitas terbayang. Mereka unik dengan embel-embel bahasa, sejarah, dan atributnya masing-masing namun pembentukan kesadaran nasionalnya memiliki cetakan mal (template) yang sama.

Keunikan para bangsa-bangsa namun dengan template nasionalisme yang universal ini memberikan Anderson kebebasan untuk membandingkan nasionalisme Inggris dan Jepang, Indonesia dan Swiss, Hungaria dan Finlandia, dan dengan cara serupa kita bisa mendapatkan banyak lagi perbandingan yang tak terbatas.

Etnis-etnis pembentuk bangsa Indonesia, superimposisi di atas peta Indonesia. Bentuk ekspresi dan penguatan identitas nasional.

Etnis-etnis pembentuk bangsa Indonesia, superimposisi di atas peta Indonesia. Bentuk ekspresi dan penguatan identitas nasional.

Pendapat Anderson bahwa bangsa bukanlah merupakan sesuatu yang real, hanya sesuatu yang terbayang tidaklah berarti Anderson tidak bersimpati terhadap sentimen nasionalisme. IIa membedakan dirinya dengan Gellner yang menggambarkan nasionalisme sebagai suatu fenomena yang dibuat-buat (seperti sesuatu yang palsu). Nasionalisme dan bangsa/nation memiliki nilainya sebab adanya individu-individu yang menganggap dirinya suatu komunitas. Dalam buku ini terlihat bagaimana Anderson menikmati dan mengagumi geliat sejarah masing-masing bangsa untuk menjadi sebuah nation.

Nasionalisme Indonesia dalam bayangan Anderson

Anderson membuat model kemunculan nasionalisme dengan mengandalkan pengalaman historis berbagai bangsa, termasuk Indonesia. Dalam kasus Indonesia, tentu Indonesia tidak mengalami sejarah nasionalisme yang sama tuanya dengan Amerika maupun Eropa. Namuan pernyataan Anderson bahwa model nasionalisme ada untuk ditiru bangsa-bangsa berlaku juga untuk Indonesia.

Penggunaan bahasa melayu pasar telah cukup lama menghubungkan berbagai pulau dan etnis nusantara, jauh sebelum pengaruh Eropa muncul. Pemerintahan kolonial Belanda justru meneguhkan status bahasa Melayu ini menjadi bahasa resmi melalui dienst maleis. Kemudian usaha-usaha pemerintah kolonial untuk melakukan cacah jiwa, pemetaan, dan diseminasi simbol budaya begitu saja diambil oleh kelas melek huruf dan kapitalis cetak abad 20 sebagai emblem nasional.

Imagined Communities dan Sejarah

Bila kita hendak mengkritisi Anderson, mungkin kita bisa mengawalinya dari pilihannya bahwa nasionalisme kreol Amerika adalah nasionalisme pertama. Tak dapat dipungkiri bahwa konstitusi Amerika Serikat dibuat berdasarkan konstitusi Republik Belanda yang menolak kekuasaan wangsa Habsburg (Spanyol). Perhatian kepada komunitas-komunitas etno-religius seperti Albigensia juga seharusnya dapat diberikan untuk menjelaskan akar budaya nasionalisme, namun dengan tidak memberikan perhatian kepada komunitas itu Anderson menampilkan bahwa komunitas terbayang adalah sesuatu yang modern.

Bila kita melewatkan kritik tadi, model Anderson tentang komunitas yang terbayang ini amat berguna bagi sejarawan untuk memahami “tragedi-tragedi penyatuan bangsa yang gagal” seperti antara Kurdi dengan Turki. Saat ini kita masih mengalami ujian dalam ketidak-kongruenan perasaan sebangsa dari warga negara Indonesia di belahan barat negeri ini dengan perasaan orang Papua dan Timor-Timur yang memiliki pengalaman sejarah berbeda dan memandang hal ini dari sudut pandang yang berbeda.

Namun model Anderson bahwa model nasionalisme sejak pertama kali muncul kemudian diduplikasi dan diaku oleh berbagai bangsa bisa memikat sejarawan untuk melihat dari sudut generalisasi. Hal ini bisa menjerumuskan sejarawan untuk melupakan keunikan masing-masing bangsa yang seharusnya bisa menjadi nafas penulisan sejarah.

Kini konsep komunitas terbayang telah diterima secara luas. Meski ada banyak kritik yang dilontarkan terhadap konsep Anderson, namun kecenderungan terkini untuk menerima penjelasan & konsep Anderson tentang Imagined Communities ini disesalkan oleh Anderson sendiri.

*Sumber:  ayatayatadit.wordpress.com – 15 Maret 2015.

*Rehal buku: Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang/ Benedict Anderson/ INSISTPress, 2008.