Marjinalisasi Masyarakat Adat

Marjinalisasi Masyarakat Adat*

Kebijakan pembangunan yang dijalankan untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan tidak jarang menciptakan petaka bagi penduduk lokal. Keterpurukan, kemiskinan, tersisih menjadi akibat yang harus ditanggungnya.

Tersingkirnya masyarakat adat Buli dan Maba di Halmahera Tengah adalah contoh dampak sosial-ekologi ekspansi perusahaan tambang. Tingginya deposit tambang nikel memikat sebuah perusahaan pertambangan skala besar, lalu menguasai wilayah tersebut dengan membeli lahan milik penduduk. Keterikatan masyarakat adat dengan alam pun terlepas.

Kasus di atas adalah salah satu dari beberapa pola marjinalisasi terhadap masyarakat adat yang diungkap buku Perampasan Ruang Hidup, Cerita Orang Halmahera (Tanah Air Beta, 2015). Marjinalisasi terhadap penduduk Halmahera telah terjadi saat pemerintah Orde Baru menerapkan program transmigrasi yang melahirkan konflik antara sebagian orang-orang O’Hongana Manyawa dan transmigran asal Jawa. Lahan yang dibuka untuk transmigrasi adalah salah satu zona sumber penghidupan mereka sejak berabad lalu. Kebijakan pemerintah menjadikan wilayah itu sebagai kawasan transmigrasi merusak konsep ruang yang sudah mereka rawat dan jaga selama ini.

Relasi antara manusia dan alam pun berubah. Orang O’Hongana Manyawa harus beradaptasi dengan kebudayaan baru yang dibawa pendatang. Tanpa mereka sadari, secara perlahan terjadilah perusakan bentang ekologi dan sistem sosial. Hutan-hutan, sumber air dan tanah di Halmahera pun dikeruk kekayaan alamnya.

Pola Marjinalisasi

Pieter Elmas dan kawan-kawan menggambarkan lebih jauh fenomena tersebut dalam Orang-orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (INSISTPress, 2004). Lewat pengamatan dan wawancara terhadap orang-orang Sahu, Tobelo, Modole, Sawai, Bacan, Buru, Huaulu, Waemale, Tenggara Jauh, Evav dan Atnabar Evav, serta orang Jarjui, terpetakan pola-pola marjinalisasi yang terjadi di Maluku.

Masyarakat adat Sahu di wilayah utara Halmahera, misalnya, digempur gelombang arus modernisasi yang dibawa para pendatang. Ironinya, hampir tidak ada orang asli Sahu yang terintegrasi ke dalam sektor formal modern yang sepenuhnya dikuasai para pendatang dari luar. Para pedagang Tionghoa atau Bugis menguasai jalur perdagangan dan industri lokal. Sementara jalur birokrasi dan intelektual didominasi para pendatang dari Ternate, Tidore, Makian, Ambon, Manado, dan Jawa.

Pada saat sebagian besar orang asli Sahu tekun menanam padi huma di lereng-lereng gunung di pedalaman, berlangsung pula eksploitasi sumber daya alam besar-besaran oleh pendatang dari luar. Konsesi hutan dan perkebunan besar kelapa hibrida serta cokelat mempersempit lahan-lahan subur berupa lahan padi huma dan tanaman tradisional lainnya.

Nasib serupa, disebabkan kebijakan berbeda, juga dialami orang Huaulu di wilayah Sekenima. Mereka meninggalkan kampung halaman saat pemerintah mencanangkan program pemukiman kembali pada 1991. Pindah ke desa Alakamat di pesisir pantai utara Pulau Seram membuat mereka berpisah jauh dengan ladang sagu dan perlahan meninggalkan sagu sebagai makanan pokok.(TGH/LITBANG KOMPAS).

*Versi cetak artikel ini terbit di Harian KOMPAS – edisi 8 November 2015, halaman 28.

*Rehal buku Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku/ Roem Topatimasang (ed.)/ INSISTPress, 2016 (2004).