Semut Lawan Gajah

Semut Lawan Gajah*

KETIKA sedang sibuk mengusut (meneliti) mengapa kapitalisme bisa masuk, tumbuh, lalu beroperasi dengan lancar (tidak mendapat perlawanan yang mewabah) di Aceh, tempat jutaan penganut Islam hidup, saya mendapat kabar bahwa Perkumpulan Prodeelat telah mencetak buku Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh. (1) Artikel ini saya tulis dengan maksud untuk memberi catatan tambahan pada buku—yang penerbitannya menjadi angin segar bagi wacana antikapitalisme di Serambi Mekkah—tersebut.

Saya berkesempatan membacanya sebulan sebelum dirilis atau diedarkan. Ada dua hal yang membuat saya ingin segera membacanya. Pertama, kekhawatiran akan terjadinya ulasan kembar. Ternyata apa yang hendak saya paparkan tidak sama dengan isi buku tersebut. Sementara alasan lain karena tak sanggup menahan rasa penasaran. Sepanjang hari sebelum mendapat buku tersebut saya terus dibayangi pertanyaan: mampukah adat, sesuatu yang dibangun dan berlaku dalam sebuah komunitas lokal, berhadapan dengan kapitalisme yang sudah mengglobal, yang komoditas-komoditas yang dihasilkannya sudah masuk ke pori-pori dan paru-paru manusia? Bukankah membenturkan keduanya seperti mengadu semut dengan gajah?

Pengibaratan “semut lawan gajah” justru terdengar optimistis ketika dikaitkan dengan suten. Dalam ketentuan suten, yang menyodorkan jari kelingking (semut) akan menang jika lawan menyodorkan jempol (gajah); meskipun gajah lebih besar dan bisa menginjak, tetapi semut bisa menyerang dengan masuk ke telinga gajah lalu menggigitnya dari dalam. Dalam konteks adat versus kapitalisme, pertanyaan serius berikut bukan hanya perlu diajukan, tetapi juga mesti dijawab secara tuntas: bisakah adat merongrong tubuh kapitalisme untuk memenangkan perlawanan? Tujuan seperti apa yang bisa diraih dengan menggunakan adat sebagai dasar perlawanan? Dari pertanyaan-pertanyaan ini, dua dapat digarisbawahi: “merongrong ke dalam” dan “memenangkan perlawanan”. Upaya menjelaskan keduanya akan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Sebelum memaparkan jawabannya, menjelaskan terlebih dahulu persoalan mengapa harus adat yang menjadi basis perlawanan utama terhadap kapitalisme di Aceh saat ini adalah suatu keharusan. Maka di sinilah kita membutuhkan penjelasan Affan Ramli: “Dalam keadaan dimana hukum nasional buatan partai politik tidak dapat diandalkan, yang tersisa hanya dua pilihan hukum lain, yaitu hukum syariat dan hukum adat. Masalahnya, hukum syariat di Aceh terlalu diarahkan untuk menangani kejahatan pidana (jinayah) … Hukum syariat di Aceh belum memiliki gagasan menangani kejahatan kapitalisme—bentuk kejahatan yang melebihi semua jenis kejahatan lain sebelumnya—yang merusak gampong-gampong di seluruh negeri. Dengan demikian, tersisalah satu-satunya pilihan, yaitu hukum adat”. (2)

Secara konsepsional, adat tidak dapat masuk ke dalam tubuh kapitalisme. Adat mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan DNA kapitalisme. Dalam telaahnya, Affan Ramli melihat ada “lima nalar dasar yang bekerja di belakang aturan adat”: (i) kerukunan/kebersamaan/kolektivisme, (ii) persandingan, (iii) perdamaian, (iv) pemeliharaan hidup berkelanjutan, dan (iv) kerohanian. Sementara kapitalisme tak mungkin dipisahkan dari individualisme (yang memicu ketamakan), persaingan/pertandingan, eksploitasi, dan materialisme. Kedua kelompok nilai tersebut mustahil bisa disatukan dalam sebuah rancangan. Kapitalisme tidak akan menjadi kapitalisme lagi sekalipun hanya satu asumsinya yang diganti dengan satu nilai adat. Katakanlah misalnya setiap kapitalis diminta agar tidak tamak dan mengganti prinsip berbisnisnya dengan asas “pemeliharaan hidup berkelanjutan”. Para pembela kapitalisme dan revisionis memandang kapitalisme dapat mewujudkan hal seperti itu. Namun sebenarnya, pengalihan itu akan membuat mereka mengalami kejatuhan tingkat laba, sesuatu yang lebih ditakuti daripada penampakan sesosok hantu tanpa kepala. Pasalnya kearifan adat yang satu itu menghendaki terbentuknya sikap benci pada tindakan perusakan alam; sementara demi mengejar laba sebesar-besarnya prinsip luhur ini harus berani diabaikan. Benturan lain dapat kita lihat dalam cara hidup masyarakat adat. Dengan menghayati nilai-nilai luhur yang diberlakukan lingkungannya, masyarakat adat memilih hidup bersahaja, tidak boros. Sikap bersahaja ini tak sejalan dengan apa yang diinginkan kapitalisme: memacu peningkatan penjualan dengan memperluas perilaku gila belanja.

Individualisme pun tak sejalan dengan semangat kebersamaan dalam adat. Dan keduanya telah terbukti menimbulkan dampak yang berbeda: kolektivisme menghasilkan kerukunan sementara individualisme menyuburkan perseteruan. Sebab itulah di mana saja korporasi-kapitalis hadir, kedamaian dan kerukunan masyarakat tidak bisa tumbuh. Bahkan menghancurkan kebersamaan sosial yang telah terjalin lama. Dalam tingkatan yang lebih parah, individualisme yang menghidupkan korporasi-kapitalis itu melucuti hak hidup orang-orang hidup. (3)

Perbedaan tajam tersebut membuat “merongrong ke dalam” tak bisa dimaknai sebagai sebuah serangan untuk merenovasi kapitalisme dengan cara menginjeksi nilai-nilai kearifan adat ke dalam tubuh konsepsinya, sehingga mengubah asumsi-asumsi dasar di dalamnya yang digunakan korporasi-kapitalis dalam operasi mengeruk laba. Itu tidak masuk akal. Semut yang masuk ke dalam telinga gajah lalu membunuhnya dari dalam tetap akan menjadi semut dan gajah yang sudah mati niscaya menjadi bangkai gajah. Dengan cara apa pun kapitalisme tidak dapat menjadi adati. Tidak pula bisa diambil sebuah jalan tengah dengan merumuskan “kapitalisme adati” (kapitalisme yang memiliki cita rasa adat). Sekali lagi, itu konyol dan tidak masuk akal.

Kapan pun kita menjelaskan ketidakmungkinan tersebut, selalu akan muncul pertanyaan: “Bukankah bisa saja, dan ada, tokoh adat di desa menjadi kaki tangan korporasi?” Memang benar ada, tetapi kita tidak sedang membicarakan tokoh-tokoh adat yang berhasil direkrut untuk keperluan kehumasan korporasi atau menjadi mandor. Kita sedang membicarakan konsepsi atau benturan nyata antara nilai-nilai adat dengan asumsi-asumsi kapitalisme. Dan kita pun, kalau memiliki keberanian, dapat menyebut tokoh adat yang memilih menjadi kolaborator korporasi telah kehilangan statusnya sebagai pemuka adat. Dan di samping itu, benturan adat dengan kapitalisme tidak hanya terbatas pada konflik nilai-nilai, tetapi juga terjadi secara fisik, yakni perampasan tanah komunitas lokal oleh korporasi. Maka kemudian muncul perlawanan.

Selanjutnya, kita perlu memperjelas “memenangkan perlawanan”. Adat bukanlah lawan seimbang kapitalisme jika konteksnya adalah penghancuran. Kapitalisme mampu membuat lembaga adat di kampung-kampung kehilangan kehormatannya. Sekelompok pemuda di sebuah desa menjadi pengedar narkoba, salah satu komoditas yang diperjualbelikan oleh kapitalis lewat pasar gelap. Para pemuda di sana hidup miskin dan tidak punya pekerjaan. Mereka bersedia menjadi pengedar karena harus memenuhi setidaknya kebutuhan ekonominya sendiri. Meski miskin, sebagian ikut mengonsumsi narkoba yang harganya tidak murah. Uang untuk membeli narkoba didapat dari menjual narkoba. Para tetua dan pemuka adat tidak diam ketika mengetahui masalah tersebut. Mereka menegur, tetapi mendapat perlawanan. Sebagai salah satu komoditas berbahaya yang diproduksi oleh pemburu laba yang masa bodoh dengan kesehatan generasi muda, narkoba telah menumbuhkan perilaku antikearifan.

Sebaliknya, lembaga adat tidak akan mampu menghancurkan kapitalisme, kecuali jika ia berjejaring membentuk gerakan lintas elemen sosial seperti agamawan, akademisi, aktivis lingkungan, lembaga bantuan hukum, budayawan, para pengambil kebijakan, dan lainnya. Meski demikian, dalam posisi ia berdiri sendiri, gerakan adat memiliki kemampuan untuk menghadang korporasi-korporasi perusak lingkungan. Komunitas lokal penjaga eksistensi adat bisa saja berhasil mengusir korporasi yang hendak merampas tanah mereka, baik dengan perlawanan di lapangan ataupun memenangkan sengketa di pengadilan. Dan jika keberhasilan tersebut dirayakan, itu bukan perayaan atas kekalahan kapitalisme. Setelak apa pun kemenangan tersebut, kapitalisme masih hidup. Karena sosialisme sekalipun, musuh bebuyutan kapitalisme yang paling kuat, yang melawannya di tataran perang teori hingga benturan nyata dalam ruang sosial, tidak mampu membunuhnya.

Namun kita tak boleh hanya mengapresiasi kemenangan-kemenangan berskala besar (memiliki jumlah massa dan menciptakan dampak yang besar). Kemenangan komunitas lokal pun harus dirayakan dan dijadikan pelajaran. Dari kemenangan kecil itulah kemenangan besar dapat direncanakan. Jika seratus orang pelindung adat berhasil menyelamatkan satu pohon tua yang hendak ditebang korporasi, itu juga sebuah kemenangan!

Catatan Kaki:

  1. Affan Ramli, dkk. 2015. Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh, Yogyakarta: INSISTPress.
  2. Namun sebelum itu, perlu ada pelurusan mengenai sesat pikir tentang adat Aceh yang sudah meluas. Pertama, adat dipandang sebagai aturan tidak tertulis. Akibatnya, upaya untuk menuliskan ketentuan-ketentuan adat menjadi aturan resmi gampong atau mukim menyebabkan gugurnya status adat pada aturan tersebut. Padahal adat Aceh sudah ditulis pada tahun 1607. Kedua, adat dimaknai sebagai kebiasaan masa lalu. Padahal “adat adalah separuh bangunan peradaban Aceh, bukan cuma kebiasaan masa lalu”. Ketiga, adat tidak cocok dengan masyarakat kota yang modern, tetapi hanya cocok dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat tradisional atau pedalaman. Pandangan keliru ini terjadi karena adat dipahami sebatas ritual-ritual (seperti tepung tawar dan kenduri) dan penggunaan artefak-artefak (seperti pemakaian baju adat). Padahal adat tidak terbatas pada ruang-waktu tertentu. Selanjutnya, barulah tiga prasyarat harus dilakukan untuk membangkitkan adat secara luas untuk menumbuhkan kekuatan perlawanan alternatif. Pertama, “merumuskan kembali (rekonseptualisasi) adat Aceh”. Kedua, “kerja keras untuk membuktikan keampuhannya sebagai pemecahan bagi berbagai persoalan genting Aceh saat ini dan di masa depan (termasuk kapitalisme)”. Ketiga, “mendidikan orang-orang muda Aceh guna membangun keyakinan mereka bahwa adat adalah bagian dari pemecahan masalah”. Lihat halaman 53-55.
  3. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai bagaimana korporasi menggunakan “doktrin keorangan” dalam memperoleh hak individu atau kebebasannya, lihat David C. Korten. 2002. The post Corporate World: Kehidupan Setelah Kapitalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 216-221.

*Bisma Yadhi Putra, analis politik | Sumber: www.acehtrend.co – 17/12/2015.

*Rehal buku: Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh / Affan Ramli, Arianto Sangaji, Fahri Salam, dan Sulaiman Tripa/ INSISTPress dan Prodeelat, 2015.