Kromo Kiwo*
Pada tahun 2001, Floriberta Aning Sriwahyunitari seorang mahasiswa dari kampus FISIPOL Kota Yogyakarta telah mengantongi izin penelitian tentang orang-orang yang ‘kurang beruntung’, yang dikategorikan oleh pemerintah sebagai eks anggota atau simpatisan PKI.
Untuk memudahkan penelitiannya, Floriberta memberikan sebuah identitas bagi komunitas yang kurang beruntung itu. Identitas juga diberikan sebagai ciri khas bagi mereka sebagai salah satu bagian dari masyarakat.
‘Kromo Kiwo’ adalah nama yang diberikan oleh Floriberta kepada mereka. Ia sadar bahwa kata Kromo berbau jawasentris, tetapi baginya nama itu dianggap mampu merefleksikan komunitas ini dan tidak mengarah pada kecenderungan terhadap suatu pihak.
Kata kromo dipilih untuk menunjukkan karakter dan golongan dari komunitas ini sebagai anggota masyarakat bawah atau orang kecil. Kromo merupakan salah satu tataran terhalus dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang lebih tinggi pangkatnya.
Keberadaan bahasa ini sangat akrab dengan wong cilik, dimana mereka diwajibkan menggunakan bahasa kromo ketika berbicara dengan orang besar atau yang lebih dihormati.
Kromo sendiri secara tipologi mempunyai arti sebagai berikut: (1) course, order; (2) how some thing is or happens, state, condition; (3) conduct, behaviour, way of acting, right way, traditional way, custom (Zoetmulder, 1982: 891).
Semua konsep dan uraian itu mengarahkan nama Kromo sebagai sesuatu yang dekat dengan kehidupan masyarakat bawah. Sehingga menurut Floriberta sangat pas untuk mewakili komunitas wong cilik, menjadi sebuah identitas.
Sedangkan kata ‘kiwo’ artinya adalah kiri, merujuk pada kepercayaan terhadap suatu isme berupa paham sosialis-komunis, yang sengaja atau tidak sengaja teelah menjadi cap yang menyertai hidup mereka.
Jadi, Kromo Kiwo adalah golongan kiri yang memihak pada wong cilik.
Hasil penelitian Floriberta dirangkum dalam satu buku berjudul Kromo Kiwo: Mereka yang Tak Pernah Menyerah. Buku setebal 140 halaman ini diterbitkan oleh Insist Press pada tahun 2004.
*Erniyanti. Sumber: blog.solidaritas.net – April 2016.