Memotret Wajah Kita Sendiri*
*Oleh: P.M. Laksono. Gurubesar Antropologi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
*Pengantar buku Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku/ Roem Topatimasang (ed)/ INSISTPress, 2016 (2004).
Buku ini menegaskan bahwa wajah manusia Maluku adalah potret wajah orang-orang kalah. Mereka jadi pecundang karena tragedi sejarah. Oleh para penulis, digambarkan betapa orang-orang Maluku telah menjadi korban tombak bermata tiga atau trisula yang ditusukkan oleh duet modal dan kekuasaan politik. Ketiga ujung tombak itu terdiri dari, pertama, investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan menguras kekayaan sumber alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal. Kedua adalah proses depolitisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi rakyat demi pemusatan kekuasaan. Ujung tombak ketiga adalah penjinakan para penghuni rimba atau para warga tempatan melalui pemaksaan nilai-nilai asing yang merasuk lewat agama-agama dunia dan sekarang lewat apa yang oleh para penulis buku ini disebut agama-agama sekuler baru, yaitu negara bangsa dan pembangunan ekonomi. Tentu saja trisula itu ampuh sekali, sehingga jadilah orang-orang Maluku kalah dan takluk.
Betapapun, melalui kata pengantar, yang sesungguhnya tidak diperlukan untuk hasil karya yang sedemikian jelas retorika maupun posisinya ini, saya, sebagai pengamat pinggiran masalah sosial budaya di Maluku, hanya ingin menekankan betapa penting nilai reflektif karya ini dan sekaligus betapa strategis posisi metodologis para peneliti yang terlibat dalam penyiapan karya ini. Dari posisi ‘kita’, di mana pun ‘kita’ berada pada saat ini, karya ini akan membantu ‘kita’ untuk kembali mengaburkan sekaligus menegaskan identitas kita, siapa ‘saya’, jika berhadapan dengan sosok ibu pertiwi yang ‘kita’ sebut Indonesia itu. Juga apa artinya bangsa dan negara Indonesia itu bagi ‘kita’, yaitu seberapa jauh ada rekognisi dalam bangsa dan negara itu bagi ‘kita’. Refleksi semacam inilah yang saat ini sangat ‘kita’ butuhkan karena negara-bangsa Indonesia sedang krisis.
Dari perspektif metodologi, jelas karya ini tidak identik dengan potret. Kata ‘potret’, bahkan juga kata ‘wajah’ yang dipakai dalam pengantar ini tidak identik dengan pengertian pasfoto atau potret pada umumnya. Kata ‘potret’ di sini harus dipahami sebagai metafora, sebagai kiasan semata. Meski para peneliti menggunakan kamera dan foto sungguhan dalam proses pengumpulan data, foto-foto itu hanyalah kepanjangan mata para peneliti semata. Apa yang terpapar dalam karya ini bukanlah hasil proses kimiawi seperti pada fotografi, melainkan hasil tafsiran, produk indra dan hati nurani para penelitinya. Demikianlah, para penulis dalam karya ini telah menyajikan tafsir subjektif mereka atas fakta objektif yang mereka temui di lapangan. Selanjutnya, melalui perantaraan tafsiran mereka itu, ‘kita’ (saya dan para pembaca) diberi kesempatan untuk menafsirkan siapa diri ‘kita’ masing-masing ketika membaca kisah-kisah sepuluh suku di Kepulauan Maluku yang menghablur dalam buku ini. Tafsiran mereka itu sungguh telah mengubah fakta yang mereka paparkan menjadi kristal intan berlian yang memantulkan banyak cahaya (masukan, asupan) baru lebih dari cahaya aslinya. Di sinilah makna sumbangan pendekatan kualitatif yang mereka sampaikan. Jadi, meski para peneliti sendiri telah hilang dari dalam teks yang mereka paparkan, mereka telah memungkinkan lahirnya pengertian-pengertian baru mengenai hidup bernegara-bangsa ketika ‘kita’ rela dengan penuh empati membaca dan mengikuti rajutan kisah orang-orang kalah di Maluku yang telah mereka siapkan.
Tema-tema kekalahan orang-orang Maluku yang mereka rajut itu sesungguhnya menyangkut tema aktual berkenaan dengan dampak dari pembangunan yang sedang berlangsung di negara-negara berkembang di seluruh dunia. Barangkali ada baiknya pada kesempatan ini jika kita mencoba merefleksikan kaitan regional dan global dari apa yang disaksikan oleh para peneliti Maluku ini. Secara khusus saya ingin menempatkan kasus Maluku dalam perspektif kawasan yang lebih luas, yaitu Indonesia dan Asia Tenggara, sehingga posisi historis para warga suku tempatan di Maluku menjadi terbuka dan memiliki relevansi yang lebih luas, bukan sesuatu yang teramat khusus, aneh, dan eksotik.
Posisi Historis Komunitas Asli di Asia Tenggara
Dalam lokakarya “Suku-Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh United Nations University di Pegunungan Cameron, Malaysia, pada Mei 1987, telah dikaji betapa rentannya komunitas-komunitas suku asli atau tempatan di Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Suku-suku asli itu menjadi minoritas dibandingkan dengan komunitas non-asli yang dominan, lebih besar, dan terorganisasi lebih baik dalam menghadapi enam kecenderungan global: krisis ekonomi, proses militerisasi, krisis negara, penyangkalan terhadap hak-hak manusia dan identitas kultural, konflik atas sumberdaya alam, serta masalah sains dan teknologi yang lolos dari kendali.
Lokakarya itu mengidentifikasi masalah-masalah yang menimpa minoritas suku asli, yakni pemindahan, pemiskinan budaya dan sosial, serta disintegrasi akibat tuntutan dari luar atas sumberdaya alam di sekitarnya. Dalam hal ini, penetrasi modal yang eksploitatif ke dalam perekonomian suku asli sering kali justru didukung oleh negara dengan alasan ingin memajukan kaum minoritas suku asli melalui program-program perubahan sosial yang terarah (Ghee dan Gomes, 1993: 1-3). Di Indonesia, misalnya, oleh Yudistira Garna dicontohkan bahwa proyek pemukiman kembali 80 keluarga Badui pada 1977 telah dijalankan dengan asumsi yang menyesatkan bahwa orang Badui adalah orang yang ‘terbelakang’ dan karenanya perlu ‘dimajukan’. Ketika itu, keluarga-keluarga Badui diberi rumah percontohan dan didorong berpartisipasi dalam menanam tanaman komoditas. Ternyata, menurut Yudistira, proyek itu merugikan orang Badui karena antara lain telah membuat orang Badui jauh lebih tergantung pada perekonomian pasar (dalam Ghee dan Gomes, 1993: 10).
Parsudi Suparlan (1993) dari pengalamannya mengamati hubungan antara orang Sakai (suku terasing) dan orang Melayu (suku yang lebih maju) di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, mengkritik pendekatan lokakarya itu. Kritiknya disampaikan dalam kata pengantar atas buku kumpulan makalah lokakarya itu yang disunting oleh Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (1993). Katanya, dalam lokakarya itu corak kehidupan suku-suku asli telah dilihat sebagai hasil hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung dengan pusat perhatian pada kehidupan suku asli yang diperlakukan sebagai variabel tergantung, sehingga program pembangunan dilihat dari perspektif suku asli. Karena itu, katanya, di sana tidak dihasilkan “model alternatif yang relevan dengan upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya (….). Pusat perhatian harus digeser dari yang berpusat pada kehidupan suku asli ke hubungan antara pemerintah atau negara dengan suku asli melalui garis hubungan pembangunan” (Suparlan, 1993: xii).
Dalam bayangan Parsudi Suparlan, hubungan-hubungan itu terwadahi secara hierarkis sesuai konteksnya dalam hakikat negara yang berupa masyarakat majemuk, dan menghasilkan satuan-satuan perantara yang fungsional dalam mengakomodasi perbedaan-perbedaan dan konflik-konflik menjadi menguntungkan kedua pihak. Katanya, model perantara ini dapat berguna untuk membentengi kehidupan suku asli dari penetrasi langsung yang dilakukan oleh pemerintah karena di sana kepentingan-kepentingan dan hakiki yang berbeda-beda yang berasal dari pemerintah atau pihak luar dan dari suku asli dapat diakomodasikan. Penetrasi pemerintah dan sistem perekonomian yang kapitalistis dan eksploitatif pun, melalui model perantara itu, secara bertahap dapat diserap oleh komunitas suku asli. Contoh konkretnya adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang Sakai yang telah menjadi Melayu karena memeluk agama Islam.1 Mereka kemudian menjadi perantara bagi penetrasi Kerajaan Siak Indrapura dan sekaligus bagi kepentingan orang Sakai yang tinggal dalam perbatinan (dukuh yang juga merupakan satuan kekerabatan) di wilayah Mandau (Suparlan 1993: xii-xv).
Persoalan klasik dari model perantara yang diusulkan Parsudi Suparlan: setelah penetrasi kapital itu dianggap sebagai nasib yang tak terhindarkan, siapakah yang menanggung beban ‘biaya’ bagi para perantara itu? Bukankah, demi efisiensi dan hubungan yang saling menguntungkan itu, mata rantai dari asal sumberdaya (produsen) dan para pengguna sumberdaya (konsumen) malah perlu diperpendek agar biaya membengkak (komplikasi, siasat tipu muslihat) karena panjangnya mata rantai distribusi dapat dikurangi? Mana yang lebih menguntungkan para warga komunitas tempatan: investasi asing itu langsung tanpa perantara ataukah pakai perantara? Jika pakai perantara, lalu berapa panjang mata rantainya? Bukankah hampir dalam semua kasus, beban perantaraan ini selalu lebih berat dipikul oleh mereka yang lemah, yaitu para warga tempatan, karena para perantara itu cenderung memihak yang kuat dan menguntungkan diri mereka sendiri? Mungkinkah persoalan-persoalan ini dijawab atau dihindari oleh para warga komunitas tempatan? Tentu saja, ini terlalu rumit untuk dijawab, bahkan buku ini juga tidak menjanjikan satu jawaban jitu.
Saya sependapat bahwa masyarakat tempatan adalah komunitas yang dinamis dan selalu berubah, bahkan juga tidak selalu terisolisasi. Dalam dinamika itu ada dua proses yang berbeda. Pertama, proses itu merupakan bagian dari hidup masyarakat setempat yang telah melampaui masa yang panjang dengan perspektif yang tidak selalu tempatan. Di sini kita harus memahami, budaya masyarakat setempat pun pernah mengalami kontak dengan dunia luar, meski dalam proses itu ‘warna’ tempatan kuat bertahan karena masyarakat berhasil mengidentifikasikan diri dalam proses itu. Mereka dapat mengontrol sejarahnya sendiri.
Kolonialisme mungkin dapat dikatakan sebagai biang keladi yang memutuskan proses itu. Tetapi, itu pun hanya benar untuk sebagian karena dampak kolonialisme di Indonesia beragam, selain juga karena adanya dualisme kebijakan kolonial di negeri jajahan. Ketika itu, terutama sepanjang pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat pribumi diberi ruang tersendiri yang praktis terpisah dengan masyarakat Eropa dan migran lain, sehingga terbentuklah masyarakat plural yang seluruh segmennya hidup dalam dunia masing-masing. Mereka bertemu hanya di pasar dan bersatu di bawah kuasa pemerintah kolonial (J.S. Furnivall). Dalam bidang hukum, misalnya, masyarakat pribumi diurus oleh hukum adatnya, sehingga para kepala adat punya wewenang memutuskan perkara. Sementara warga Eropa punya hukum sendiri. Sekarang dualisme di bidang hukum ini secara formal habis. Ini pun bukan semata-mata akibat proses pembangunan, karena sudah dimulai sejak diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Satu hal yang ingin saya katakan di sini adalah kita perlu melihat patahnya kekuatan tempatan itu secara lebih historis.
Michael Dove (1985) mengatakan, puncak perubahan itu terjadi ketika bangsa Indonesia menerapkan konsep pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Katanya, pembangunan di Indonesia telah diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan, sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap keterbelakangan, termasuk kebudayaan tradisional komunitas tempatan yang dipandang sebagai penghalang proses pembangunan, yang diartikan secara sempit sebagai modernisasi. Menurut pengertian saya, tesis itu mengatakan secara ringkas bahwa pembangunan itu identik dengan kesadaran baru yang hadir dan diterima lepas dari budaya tempatan. Di sini kita melihat terjadinya proses kedua, yaitu merasuknya pembangunan dalam kesadaran kita bukan sebagai sintesis proses historis budaya-budaya tempatan kita, melainkan lewat daya pikat citra suksesnya di negeri-negeri industri maju yang didukung kekuatan modal.
Tentu saja benar dan wajar kalau kita juga ingin sukses. Persoalan yang terjadi adalah kita baru dapat memeluk citranya (bukan atau belum suksesnya) tetapi telah melepas pegangan kita pada pengetahuan budaya yang telah lama kita bangun. Pepatah kuno bilang: “pipit di tangan dilepas, burung dara terbang di langit”. Pengalaman saya mengatakan, di pelosok dan pedalaman yang pernah saya kunjungi tampak bahwa degradasi sumberdaya setempat selalu diiringi peningkatan konsumerisme yang digerakkan oleh pesona mode di sektor konsumsi dan bermuara pada krisis identitas dan disintegrasi sosial. Saya lihat, banyak orang justru menjadi sangat positivistik, padahal sumber-sumber tempatan kita itu terbatas dan telah terkait dengan tradisi sehingga tidak mungkin memuaskan pikiran macam itu, kecuali jika kondisi ini dilupakan atau dianggap tidak ada.
Jika proses terakhir itu dicermati, kita dapat sampai pada kesimpulan, bahwa tersingkirnya masyarakat tradisional itu tidak semata-mata merupakan soal hilangnya keaslian kebudayaan tradisional mereka, tetapi merupakan soal hilangnya pribadi dan rasa percaya diri masyarakat tempatan dan masyarakat kita pada umumnya. Contoh mengenai proses ini dapat dilihat, misalnya, dalam risalah Roy F. Ellen (1988) mengenai ritual, identitas, dan manajemen hubungan antar etnis yang terjadi pada orang Nuaulu yang tinggal bersebelahan dengan orang Sepa di Pulau Seram. Di Kalimantan Selatan, hal yang serupa dideskripsikan dengan sangat tajam oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993). Contoh-contoh itu menunjukkan betapa kita menjadi tergantung pada suatu proses yang sumber-sumber kekuatannya berasal dari luar kuasa kita. Pada titik inilah pemerintah (pusat) terpaku dan kehilangan dinamika. Perlunya partisipasi sesama warga sebagai partner menjalani pembangunan pun sering dianggap tidak ada. Lingkungan alam kemudian dijadikan semata-mata sebagai garis depan yang harus ditaklukkan dan bukan sebagai mitra menjalani sejarah. Maka jadilah upaya-upaya pelestarian, kalau pun ada, minim dan mungkin formalitas saja. Masalah ini antara lain tampak dalam kebijakan pengusahaan dan pengelolaan hutan yang berkenaan dengan hak masyarakat adat sebagaimana secara gamblang dikisahkan dalam buku ini.
Kembali ke Maluku
Para penulis buku ini mengisahkan bagaimana orang Huaulu di Sekenima, sisi utara Pulau Seram, yang kabarnya pecinta damai dan percaya pada kesatuan tak terpisahkan antara Tuhan (perempuan dan laki-laki), manusia, tanah, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, pada 1991, dalam rangka proyek pemukiman kembali suku terasing oleh Departemen Sosial, dipindahkan ke Alakamat, sekitar 23,5 kilometer dari Sekenima. Mereka diturunkan dari pedalaman mendekati pantai dan ditempatkan di antara dua desa tua lain (Bessy dan Oping). Tujuan pemindahan ini mulia, yakni agar anak-anak orang Huaulu dapat bersekolah serta memudahkan penyuluhan dan pembinaan agar hidup mereka tidak terasing dan lebih maju. Terlepas dari keadaan pemukiman baru yang bias kota, rumah ditata secara linear dan memakai bahan papan dan seng serta berbeda dari permukiman asli mereka yang cenderung tertata melingkar dan terbuat dari bahan-bahan alami seperti daun rumbia, bambu, dan gaba-gaba. Pemukiman kembali ini kabarnya justru mengasingkan orang Huaulu dari habitatnya.
Orang-orang Huaulu di Alakamat itu kemudian terpisah dari basis materialnya: dusun-dusun sagu. Kini mereka harus berjalan kaki sejauh 23,5 kilometer kembali ke Sekenima untuk menokok sagu. Menurut laporan itu, mereka sesungguhnya lebih senang tinggal di Sekenima, tetapi karena takut dikatakan sebagai pemberontak dan dituduh orang-orang Republik Maluku Selatan (RMS) yang terlarang resmi, akhirnya mereka mengalah pada program pemukiman kembali. Akibatnya mereka cenderung menetap di Alakamat sementara waktu dan menghabiskan waktu lainnya kembali ke Sekenima dengan alasan menokok sagu. Untuk keperluan itu mereka membawa seluruh anggota keluarga, sehingga anak-anak pun absen dari sekolah yang dulu dijadikan alasan pemindahan mereka. ‘Kemajuan’ seperti yang digagaskan lewat program pemukiman mereka pun terasa sulit diwujudkan (h.141-144).
Sementara itu, di Sekenima telah masuk bulldozer dan chainsaw milik PT Bharata Jaya, pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di wilayah itu. Hubungan dengan perusahaan ini digambarkan oleh dua orang pemuka adat sebagai berikut: “Dulu perusahaan datang mengajak kami buka hutan untuk bikin kebun. Kami percaya saja, lagipula mereka punya alat-alat yang bisa bantu kita kerja cepat potong kayu. Ternyata itu cuma tipu, karena setelah itu kami malah dilarang bikin kebun di tempat bekas penebangan”. Selanjutnya tersiar kabar terjadi konflik. Masyarakat setempat memprotes Rencana Kerja Tahunan (RKT) 1993/1994 PT Bharata Jaya karena dianggap telah terjadi pelanggaran batas-batas petuanan tradisional dengan cara penipuan dan adu domba orang Huaulu dengan para tetangga barunya di kampung Bessy dan Oping (h.145-146). Dalam konflik ini, orang Huaulu kabarnya kalah dan digusur dengan alasan pemukiman kembali, artinya mereka telah kehilangan haknya di Sekenima.
Lalu, pada 1994, saya melihat proses yang sama terjadi pada orang Nuaulu2 di Dusun Simalou, Desa Sepa, 9 kilometer dari Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah, di sisi selatan tengah Pulau Seram. Perbedaannya, orang Nuaulu membangun permukiman barunya di Dusun Simalou atas bantuan dari misi Katolik. Alasan mereka mula-mula pindah dari Sepa ke Simalou adalah untuk menjaga dusun sagunya yang terbelah oleh pembukaan jalan raya Trans-Seram dan masuknya para pendatang baru dari pelbagai latar belakang etnis ke wilayah sepanjang jalan raya tersebut. Orang-orang Nuaulu yang saya temui menunjukkan kemampuannya yang cepat mengadopsi teknologi baru yang berkembang pesat dalam proses pembalakan hutan di sekitar Masohi.3 Di Simalou saja, pada tahun tersebut, terdapat 12 chainsaw dan enam kelompok penggergaji kayu. Orang Nuaulu dengan cepat belajar menjadi operator chainsaw dan montir-montir motor. Mereka terampil bongkar-pasang mesin, bahkan pernah ada yang telah memiliki mobil angkutan penumpang. Untuk menokok sagu pun mereka telah mengenal mesin parut sagu bermotor. Pak Pahip, tempat saya menginap, bahkan telah pandai mengoperasikan genset dan pandai menginstalasi listrik, padahal sekolah tak pernah dijamahnya. Sebagian besar alat-alat dan rumah yang mereka bangun didapatkan dengan cara melepas tanah mereka, tentu dengan harga yang sangat murah, dan dari hasil kerja menjual kayu. Harga kayu pranko Simalou waktu itu, misalnya, kayu linggua adalah Rp.200.000 per m3, kayu lompo Rp 150.000 per m3, dan kayu pule Rp.60.000 per m3.
Usaha penggergajian kayu dulu katanya agak lumayan karena mereka menebangi kayu dari wilayah ulayat mereka, artinya tidak beli. Tetapi mereka mengalami kesulitan menjualnya. Polisi katanya sering menahan kayu mereka jika mereka membawa kayu ke pasar di Kota Masohi. Bahkan, aparat Komando Rayon Militer (KORAMIL, lembaga teritorial militer tingkat kecamatan) pun, kata informan saya, juga ikut menahan kayu. Katanya, kalau kayu itu untuk membangun rumah mereka sendiri tidak akan diapa-apakan, tetapi kalau untuk dijual mereka harus membayar Rp.50.000 per rit (4/5 m3). Karena kesulitan inilah, orang Nuaulu kemudian tidak lagi mau menjual kayu ke kota, tetapi menunggu pembeli datang dan mengambil sendiri kayunya di Simalou. Penebangan hutan tetap mereka lakukan.
Inilah kiranya pelajaran yang paling mudah dicerna dari operasi HPH bagi masyarakat di sekitar hutan: komersialisasi hutan! Hutan pun hanya tampak dalam citranya sebagai komoditas dengan harga yang termurah. Contohnya, sehari sebelum saya tiba di Simalou, orang Nuaulu berburu mencari kuskus untuk keperluan upacara adat cidako. Untuk mendapatkan satu ekor kuskus, mereka telah tanpa rasa sayang menebang enam pohon raksasa. Penyia-nyiaan kayu dan hutan juga terjadi hampir di seluruh HPH di Indonesia. Bayangkan saja betapa kecilnya skala penyia-nyiaan orang-orang Nuaulu itu dibandingkan dengan apa yang dilakukan dalam operasi HPH, yaitu ketika balok-balok kayu dengan diameter di atas 50 cm hanya dijadikan tiang-tiang listrik di basecamp mereka, dibaringkan untuk fondasi rumah-rumah karyawan, ditumpuk-tumpuk untuk jembatan darurat, dan berapa banyak lagi yang dibuang dan dibakar di kilang-kilang kayu. Terasa sekali, dalam wilayah-wilayah operasi HPH, kayu dipergunakan tidak efisien.
Terjadilah kemudian kompetisi tidak seimbang antara operasi para pemegang HPH dan masyarakat setempat dalam pembalakan hutan. Kompetisi ini biasanya bermuara dalam konflik yang merumit menuju konflik horizontal yang tentu saja melumatkan kemampuan masyarakat tempatan untuk mengorganisir dirinya.4 Dalam sejarah Maluku, perumitan konflik semacam ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Konflik dua kesultanan di Maluku Utara, antara Ternate dan Tidore pada abad ke-XVI, mengalami eskalasi dengan pelibatan kepentingan kekuatan bersenjata para pedagang dunia dari Portugis, Belanda, dan Inggris. Para pedagang itu bertikai satu sama lain untuk memperebutkan rempah-rempah, yang merupakan komoditas paling menguntungkan pada masa itu. Kita semua tahu kelanjutan itu telah melahirkan kolonialisme dan imperialisme luas dan nyaris abadi di dunia. Sementara di Maluku, korbannya jelas, yaitu komunitas tempatan kecil-kecil yang tersebar di seluruh gugusan kepulauan seperti yang dipotretkan oleh para penulis buku ini. Perempuan dijadikan barang rampasan seperti kisah Igobola yang dituturkan Y.B. Mangunwijaya (1987). Desa kecil dibumihanguskan oleh desa besar yang takluk pada kesultanan. Kesultanan ditelan oleh kekuatan dagang global yang kemudian menyatu dalam kekuatan negara penjajah. Dalam ungkapan Mangunwijaya, hubungan sosial yang berkembang di Maluku seperti hubungan antara ikan-ikan hiu, ido, dan homa, ikan besar memangsa yang lebih kecil. Ikan hiu adalah ‘gambar miring’ penjajah yang ganas, sementara ikan ido atau tuna adalah para penguasa pribumi yang tega memangsa homa atau teri yang sesungguhnya adalah rakyatnya sendiri, hanya untuk menyerahkan dirinya dimangsa sang hiu.
Pada akhir abad ke-XIV, pola penjajahan Belanda mengalami transformasi besar karena liberalisasi yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870, sehingga membuka akses bagi para pemilik modal untuk mengeksploitasi woeste gronden (tanah terbengkalai) di luar Jawa. Di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, misalnya, pada 1889, Adolf Langen, seorang pengusaha Jerman yang menanamkan modal untuk penggergajian kayu, mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar mengirim misi Katolik ke sana. Selain untuk menangkal perkembangan Islam di sana, maksudnya adalah agar orang-orang Kei menjadi Katolik dan dapat diakselarasikan pada program pembangunan seperti halnya orang-orang di Flores. Sementara ia sendiri sedang mengalami kekurangan tenaga kerja dan terpaksa mendatangkan buruh Tionghoa dan Jawa. Permintaan itu dikabulkan oleh Pemerintah Belanda. Setelah pemeluk agama Katolik berkembang, zending Protestan juga mendapatkan izin masuk ke Kepulauan Kei. Pada sekitar 1905, pemeluk agama Protestan pun mulai berkembang di sana. Jelas di sini kita melihat bahwa investasi diusahakan dengan melakukan penetrasi nilai-nilai melalui penyebaran agama. Masyarakat tempatan pun mengubah-sesuaikan (appropriate) nilai-nilai baru dari luar itu menjadi miliknya dan menggunakannya untuk menetapkan batas-batas sosial baru di sana. Menurut catatan Residen Haga, pada 1935 terdapat 45 desa Katolik, 61 desa Islam, dan 41 desa Protestan di sana (Laksono, 1996:162).
Pemerintah Belanda pada waktu itu mendiskriminasi pemeluk Islam. Misalnya, pemerintah hanya menyelenggarakan 4 sekolah umum untuk semua desa Islam, namun memberi subsidi bagi 17 sekolah Katolik dan 14 sekolah Protestan. Penjajah Jepang kemudian memberi privelege politik kepada pemeluk Islam, sementara misi Katolik dan Protestan dihancurkan. Ketika masyarakat Maluku Tenggara bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, perbedaan agama itu mengkristal dalam pembentukan partai-partai politik di sana pada 1950-an. Hingga hari ini, retorika religius dan politik di Kepulauan Kei telah terkait dalam segmentasi sosial dalam masing-masing kelompok agama (Laksono, 1996:163). Perbedaan agama masih diperumit lagi oleh para pemeluknya dengan garis-garis perbedaan adat dan kelas. Sepanjang masa Orde Baru, kerumitan itu menjadi laten karena kebijakan massa mengambang dan dominasi kekuasaan pemerintah pusat dengan dukungan Golkar yang biasanya memenangkan pemilihan umum di sana selalu nyaris 100 persen.
Masalah Besar yang Tampak Sepele
Konflik antaretnik dan antar umat beragama di Maluku akhir-akhir ini adalah kelanjutan proses panjang konflik yang kini menjadi tugas kita semua untuk menuntaskannya. Terhadap eskalasi konflik itu orang bertanya-tanya: bukankah konflik itu dimulai dari perkara yang sering kita perkecil, yaitu dari soal ‘uang receh’ yang dipertengkarkan oleh ‘orang kecil’ pula (kernet dan penumpang angkutan kota)?
Yang disebut ‘kebetulan’ itu terkait marka kelas, etnis, dan agama, sehingga jadilah soal ‘kecil’ itu membesar dan tak terkendali. Kini nyata bahwa semua itu bukanlah soal kecil. Jadi, masalahnya adalah cara wacana kita yang cenderung meremehkan soal ‘uang receh’ yang diperebutkan ‘orang-orang kecil’ itu. Kita harus mengubah perspektif wacana kita ke perspektif mata orang kecil, homa yang dimangsa ido itu. Dari sana kita melihat bahwa ‘uang receh’ itu urusan besar. Hidup mereka, yang dipotret sebagai para pecundang dalam buku ini, tergantung pada keberhasilan mendapatkan uang receh yang dibuang (karena dianggap tidak bernilai) oleh para kelas menengah di atasnya. Warga menengah atau perantara ini didominasi para pendatang, pengembara, dan oportunis. Lagi-lagi mereka ini seperti ikan ido yang mengembara di lautan atau seperti para pengemudi mobil dan pelintas jalanan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia. Mereka ini membuang uang receh untuk ‘mengusir’ peminta-minta, pengamen, ‘Pak Ogah’, atau warga homa lainnya agar tidak ‘menggores mobil’ atau mengganggu dirinya. Mereka memberi demi mengamankan jalan untuk meraih keuntungan sendiri.
Pada saat trisula kekuasaan sebagaimana digambarkan para penulis buku ini menancap kuat, para warga menengah itu meraih keuntungan lebih besar dari pusat kekuasaan. Tetapi, ketika kekuasaan pusat lumat disambar hiu raksasa yang sering disebut sebagai kekuatan global, warga menengah itu cenderung menggigit dan membebani mereka yang sebelumnya selalu jadi pecundang. Lalu, ketika ketahanan dan kesabaran para warga tempatan, korban di bawah korban lainnya itu terlampaui, terjadilah amukan ‘si kecil’ terhadap ‘si besar’, komunitas tempatan terhadap pendatang, daerah melawan pusat, dan seterusnya. Pertengkaran dan perkelahian soal uang receh setahun yang lalu di Ambon adalah salah satu manifestasi amukan seperti ini.
Namun, ramifikasi struktur sosial merumitkan konflik ‘kecil’ itu jadi tak terkendali karena konflik antara kernet dan penumpang angkutan kota itu memang tidak remeh seperti yang dibayangkan orang kebanyakan. Komplikasi karena marka-marka etnis, keagamaan dan kepentingan ekonomi politik yang implisit tidak dapat lagi dibendung oleh adat dan ritual lokal (misalnya, pela gandong) yang sumberdayanya telah dibuat (oleh penetrasi trisula kekuasaan) tergantung pada kekuasaan dari pusat yang sedang meleleh. Sebagaimana tercermin dalam buku ini, penetrasi trisula kekuasaan itu mengalami stagnasi justru karena dukungan kekuatan pasar global mangkir. Kemandekan terjadi bukan pada masyarakat tempatan, melainkan pada pusat yang selama ini mengklaim dirinya sebagai pemrakarsa pembangunan.
Catatan kaki (foot note):
1 Posisi ini mirip dengan posisi orang-orang Dayak di Kalimantan Barat yang menjadi Melayu karena masuk Islam.
2 Jumlah orang Nuaulu secara pasti belum diketahui. Menurut perkiraan pejabat kebudayaan pada Kantor Departemen Pendidikan & Kebudayaan setempat, tidak lebih dari 600 orang.
3 Kota Masohi adalah kota yang baru saja dibangun dengan membuka hutan di masa Orde Baru, meski peletakan batu pertamanya telah dilakukan oleh Presiden Sukarno pada 3 November 1957. Seorang kakek asal Buton, yang memiliki usaha di depan Terminal Masohi, menceritakan betapa ketika ia datang ke Masohi pada 1963, di muka rumahnya itu masih hutan lebat dengan pohon-pohon besar. Di tempat itu sekarang tergelar jalan raya, terminal, pasar, dan bangunan megah pusat belanja Masohi dan seluruh kota Masohi. Tak ada lagi sisa hutan di sana.
4 Dalam hal ini Iwan Citrajaya (t.t.), dalam laporan penelitian diagnosisnya mengenai masyarakat Sentosa dan Taja di kawasan HPH YLS di Kabupaten Jayapura, Papua Barat, secara cermat menunjukkan bahwa kehadiran operasi HPH itu menambah jumlah dan kerumitan konflik-konflik dalam masyarakat setempat yang telah terjadi karena pengaruh program pembangunan lain sebelum kehadiran operasi HPH. Konflik penduduk setempat dengan perusahaan HPH terjadi karena kehadiran perusahaan dirasakan tidak membawa keuntungan. Penduduk setempat yang merasa memiliki hutan merasa dirugikan oleh tindakan perusahaan yang melanggar dan membuka hutan serta mengambil kayu-kayu mereka tanpa ‘ganti rugi’. Upaya penduduk menuntut ganti rugi memang ada, tetapi tidak efektif. Mereka tidak memiliki akses untuk membawa perusahaan ke meja perundingan dengan posisi tawar yang seimbang. Sementara itu, peranan pranata-pranata dan lembaga-lembaga setempat untuk mengurusi hubungan sosial ekonomi dan menangani konflik-konflik telah mengalami degradasi, bahkan peranan yang mengatur hubungan antara penduduk setempat dan pihak pengusaha HPH dilihat oleh Citrajaya sebagai masih ‘kosong’.
Pustaka
Dove, Michael R. (1984), Peranan Kebudayaan Tradisional dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ellen, Roy F. (1988), ‘Ritual, Identity, and Interethnic Relations in Seram’, dalam Henri J.M. Claessen dan David S. Moyer, Time Past, Time Present, Time Future: Perspectives on Indonesia Culture, Essays in Honour of Professor P. E. de Josselin de Jong, VHI 131, Dordrecht-Holland/Providence-USA: Foris Publication.
Garna, Yudistira (1993), ‘Orang Badui di Jawa: Sebuah Studi Kasus mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan’, dalam Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (eds.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ghee, Lim Teck dan Gomes, Alberto G. (eds) (1993), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Laksono, P.M. (1996), ‘Exchange and Its Other: A Reflection on the Common Ground for the Keise’, dalam David Mearns dan Chris Healey, Remaking Maluku: Social Transformation in Eastern Indonesia, Special Monograph No.1, Darwin: Centre for Southeast Asia Studies, Northern Territory University.
Mangunwijaya, J.B. (1987), Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, cetakan kedua, Jakarta: Penerbit Jambatan.
Panjaitan, Erwin dan Roem Topatimasang (eds.) (1993), Potret Orang Kalah: Kumpulan Kasus Penyingkiran Orang-Orang Asli Kepulauan Maluku, laporan penelitian, Jakarta: Yayasan Sejati.
Suparlan, Parsudi (1993), ‘Kata Pengantar’, dalam Lim Teck Gee dan Alberto G. Gomes (eds.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tjitrajaya, Iwan (t.t.), Masyarakat, Pembangunan dan HPH, laporan penelitian, Jakarta: KONPHALINDO, dalam proses penerbitan.
Tsing, Anna Lowenhaupt (1993), In the Realm of the Diamond Queen: Marginality in Out-of-the-Way Place, Princeton, New Jersey: Princeton University Press.