Review Buku Questioning Everything: Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja

Review Buku Questioning Everything: Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja*

Langit Jogja mulai sayu, bau hujan di penghujung sore diam-diam mengantar rindu pada rumah. Di depanku, segelas kopi pahit dan Buku Questioning Everything tengah diam tertidur. Lampu mulai menyala, malam meraja, dan akh! Hidup memang sedang tak baik-baik saja.

***

Beberapa bulan lalu, seorang teman memberi buku ini tanpa transaksi. Katanya hadiah persahabatan. Karena banyak sekali hal yang harus kuselesaikan, akhirnya kuputuskan untuk membaca buku ini lusa kemarin dan baru selesai hari ini. Waktu yang terbilang cepat untuk orang sekuper diriku. Di samping bukan maniak buku, kerjaan yang menumpuk adalah alasan lain mengapa buku ini baru bisa kuceritakan sekarang.

Oke, judul lengkap buku ini adalah Questioning Everything; Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik-Baik Saja. Dari covernya, buku yang rilis pada pertengahan Maret 2016 ini terlihat “underground” dan kental akan nuansa musik. Tomi Wibisono dan Soni Triantoro selaku penulis ternyata tak melupakan kreativitas lain dalam dunia seni. Sastra, rupa, dan film adalah bidang lain yang juga turut andil melengkapi buku ini. Questioning Everything memuat rangkuman wawancara yang sebelumnya sudah pernah dimuat di Warning Magazine (majalah anak muda berdapur di Jogja). Di dalamnya ada 27 narasumber yang menceritakan bagaimana mereka berkreasi, berproses, bersinergi, bahkan melawan hal yang mereka anggap tak beres. Sesuai tagline; mereka berkreativitas di dunia yang (sedang) tak baik-baik saja.

Dalam buku ini, kamu akan menemukan hal yang tak kamu sangka-sangka dilakukan oleh si pegiat. Misal, lihatlah Jerinx SID yang cuma bermodal sosial media bisa menggerakkan masa sebegitu banyak, atau Anti Tank yang sayang sekali dengan Jogja dan sering menyebarkan poster-poster perlawanan. Atau, cek Candra Malik yang pernah membuat beberapa lagu hanya dengan mondar-mandir sambil merokok. Di ranah Sastra kamu akan tahu bagimana Seno Gumira Ajidarma dan Remy Saldo yang dengan tulisannya sering membuat stakeholdermerinding. Di ranah rupa, ada Farid Stevy dengan berbagai wujud karyanya yang sering masuk ranah seni lain. Di jalur musik indie ada Banda Neira yang meski banyak lagunya mendayu-sastrawi, ternyata juga vocal pada isu penculikan saat reformasi di Indonesia. Senada dengan Banda Neira, di ranah film ada Joshua Oppenheimer, Nia Dinata, Dendi Laksono dan Ismail Basebeth yang tak ragu-ragu mendekatkan penonton pada wacana politik tanah air serta konteks film tak konvensional. Ada pula cerita Puthut EA yang memilih untuk tidak terkubur di era digital dengan melahirkan banyak situs, serta cerita Sheila on 7 pasca menurunnya pamor band yang jadi pemicu semangat musisi lokal di Nusantara.

Tak sampai di situ, di ranah musik kamu akan menemukan fakta menarik dari beberapa musisi punk seperti Anti-Flag, Discharge, Buzzcocks, Soko, Doom dan Begundal Lowokwaru. Di aliran cadas, ada Sangkakala, Serigala Malam, ((Auman)), Death Vomit dan Bumblefoot yang akan membuatmu semakin percaya bahwa musik tak melulu soal cinta dan hura-hura. Sosok Wendi Putranto, Risky Summerbee & The Honeythief, dan FSTVLST akan jadi penyemangatmu untuk bisa survive di dunia yang (sedang) tak baik-baik saja.

Karena buku ini adalah kumpulan wawancara, jadi kamu bisa membaca secara tak runut. Tiap bagiannya akan membuatmu belajar tentang konteks jurnalistik yang tak melulu 5W+1H. Buku ini menyegarkan!

*Reshie Fastriadi | Sumber: Ngadem.com – 27 Juli 2016.

*Rehal buku: QUESTIONING EVERYTHING! kreativitas di dunia yang tidak baik-baik saja / Tomi Wibisono & Soni Triantoro/ WARNING Books, INSISTPress,  & Pojok Cerpen,  2016.