Kisah Sebuah Buku yang Memandu Gerak Perubahan Sosial*
Akhir April 2016, Roem Topatimasang menapaki jalan setapak menuju rumah panggungnya di Pakem, Yogyakarta. Ia baru kembali dari Provinsi Jambi. Selama tiga bulan penuh ia menemani belasan orang muda yang sedang mempersiapkan diri menjadi pengorganisir masyarakat. Sebelumnya, Roem sudah mendesain konsep dan kurikulum pendidikan ini dengan mempertimbangkan konteks permasalahan lokal yang sedang dihadapi masyarakat setempat. Setelah konsep dan kurikulum selesai, ia kemudian menghubungi beberapa fasilitator senior INSIST untuk membantunya menjalankan ‘sekolah pegorganisasian rakyat’ ini. Rencananya, Yayasan Mitra Aksi akan menempatkan para pemula ini—setelah mereka memiliki kemampuan dasar memfasilitasi warga dan aparat pemerintahan desa (termasuk masyarakat adat tempatan) dalam menerapkan dua kebijakan tersebut di desa atau wilayah adat mereka masing-masing—di beberapa desa di mana mereka akan memulai pengorganisasian rakyat yang sesungguhnya.
Roem menyebut institusi pendidikan ini ‘Sekolah Danau Pauh’. Sekolah ini merupakan program pendidikan khusus Yayasan Mitra Aksi (anggota Konfederasi INSIST) sebagai bagian dari ‘Sekolah Rakyat’, jaringan nasional dari ‘Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang dijalankan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST). Pelaksanaannya di tepi Danau Pauh, Desa Pulau Tengah (ketinggian 1.352 mdpl), Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Selain di Jambi, ada sejumlah sekolah yang juga tetap berjalan demi memproduksi generasi-generasi baru pengorganisir masyarakat. Di Sulawesi Selatan, Komunitas Ininnawa menjalankan fungsi STS ini dengan nama Pelatihan Penelitian Desa (PPD), STS PERDIKAN di Yogyakarta, STS YPPS di Flores, dan STS oleh SUSDEC – LPTP di Solo). Beberapa STS di tempat lain yang pernah eksis dan kini sedang mengalami kemandekan seperti STS Praxis di Jakarta, SRM Madivun di Maluku Tenggara, Sekolah Banjar di Bali, Sekolah Komunitas Sungai di Kalimantan Selatan, STS FIRD di Flores dan Sekolah Rakyat Butuni di Sulawesi Tenggara. Menurut Roem, terhitung sejak awal tahun 2000-an, program pendidikan khusus untuk melahirkan tenaga-tenaga pengorganisir masyarakat yang handal, praktis tidak banyak lagi dilaksanakan di kalangan organisasi-organisasi non pemerintah di Indonesia.
Perhatian Roem terkait soal “pengorganisasian” sudah tumbuh sejak ia studi di IKIP Bandung pada rentang tahun 1975 sampai 1980. Di kampus, ia mendirikan Student Employment Center (SEC) yang merupakan wadah mencari ‘pekerjaan dalam kampus’ bagi ratusan mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Setelah mengorganisir anggota SEC dan menegosiasikan sejumlah peluang pekerjaan bagi mahasiswa dengan pihak dekan dan rektorat ada sejumlah pekerjaan tersedia dan membantu mahasiswa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesuksesannya mengurus kepentingan mahasiswa membawa Roem terpilih pada pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Bandung dan kemudian bergabung dalam gejolak mahasiswa Anti-Soeharto dan penentangan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Selesai studi, di awal 1980-an, Roem ke Jakata dan bergabung dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Di sini, bersama Mansour Fakih sebagai relawan pada program pendidikan dan pengembangan P3M, mereka merancang kurikulum, metodologi, dan media pendidikan masyarakat sekitar pesantren. Pada pertengahan era 80-an ia mengunjungi beberapa desa dan melakukan pengorganisasian bersama sejumlah kawan dekatnya di Indonesia Timur; Timor Barat dan Timor Timur, Irian Jaya (Papua), dan kepulauan Maluku di mana ia mendirikan Jaringan Baileo bersama Pieter Elmas, Nus Ukru, Eliza Kissya, dan J.P.Rahail (almarhum). Dari pengalaman pengorganisasian di kepulauan Maluku, Roem menyunting satu buku kumpulan tulisan kawan-kawannya yang berjudul “Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku” (terbit 2004).
Di akhir era 80-an ia berkesempatan mengunjungi Italia dan beberapa negara di Eropa dan belajar tentang ‘gerakan koperasi buruh dan petani’ di Jerman. Sepulang dari Eropa Ia mengikuti program pertukaran relawan (volunteers exchange) oleh International Network of South Initiatives (INSI) di beberapa negara di Asia Tenggara dan Selatan dan melanjutkan aktivitas kerelawanannya melakukan pengorganisasian di desa-desa di Asia Tenggara bersama kawan-kawannya di SEAPCP (South East Asia Popular Communication Programme) sampai tahun 1996. Dari pengalaman di desa-desa ini, Ia bersama Tan Jo Hann (relawan dari Malaysia) menyusun buku “Mengorganisir Rakyat: Refleksi Pengalaman Pengorganisasian Rakyat di Asia Tenggara” (terbit 2003).
Memasuki 1990-an, Roem Topatimasang bergabung dengan kawan-kawannya (Mansour Fakih, Zumrotin K.Susilo, Wardah Hafidz, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Fauzi Abdullah, Mahendro, August Rumansara, Roy Tjiong, Sugeng Setiadi, dan Wilarsa Budiharga) mendirikan Resources Management & Development Consultants (REMDEC) di Jakarta, suatu lembaga pelayanan fasilitasi dan konsultasi pengembangan kemampuan (capacity building) organisasi-organisasi non pemerintah dan masyarakat. Pada rentang 1996-1997, Roem Topatimasang bersama Mansour Fakih menginisiasi suatu bentuk organisasi yang memfokuskan diri sebagai sistem pendukung gerakan sosial, terutama pada aras lokal dan akar rumput. Mereka berdua lalu mengajak beberapa kawan lama_para pegiat dan fasilitator senior ORNOP Indonesia seperti Rizal Malik, Sri Kusyuniati, Sita Aripurnami, Fauzi Abdullah, dan Wilarsa Budiharga mendirikan Institute for Social Transformation (INSIST) di Yogyakarta. Segera setelah INSIST resmi terbentuk, beberapa kawan lama lainnya segara ikut bergabung, antara lain, Toto Rahardjo, Saleh Abdullah, Amir Sutoko, Simon Hate, Noer Fauzi, dan Yando Zakaria. Berdirinya INSIST memungkinkan upaya koordinasi antar komunitas/federasi berbagai daerah mulai dilakukan. Saat itu, dukungan dari OXFAM GB banyak membantu perkembangan jaringan INSIST. Peningkatan kapasitas untuk para aktor gerakan seperti pelatihan pengorganisasian dan advokasi kebijakan publik mulai digelar. Pengalaman mengelola training advokasi kebijakan publik kemudian dibukukan menjadi buku Mengubah Kebijakan Publik (MKP), terbit 2000.
Menurut Toto Rahardjo, hadirnya buku MKP ini sebenarnya merupakan bagian dari kegelisahan aktivis INSIST atas kinerja pengorganisasian masyarakat di desa-desa yang sedang berjalan. “Saat itu, ada banyak kerja pengorganisasian di desa-desa mentok dan tidak mampu mengubah keadaan. Lalu, mulai muncul pertanyaan kami saat itu, kenapa begini? Mengapa justru semua kebijakan tetap saja melemahkan petani?” ujarnya mengenang kegelisahan itu.”
Ia melanjutkan kalimatnya, “Sudah banyak organisasi petani didirikan di masa itu, termasuk di Sumatera Utara. Namun, kita bertanya-tanya, kenapa produk hukum yang bisa memproteksi hak-hak petani justru tidak kunjung hadir?” demikian ungkapnya pada Mei 2016 di Sanggar Kyai Kanjeng, Kadipiro, Yogyakarta.
Jadi, buku ini lahir saat ada kegelisahan mengenai dampak perubahan yang bisa diraih dari sebuah kerja pengorganisasian masyarakat yang justru dianggap kurang mampu mengubah kebijakan. Untuk itu, berdasarkan sejumlah pertimbangan untuk memperbaiki kualitas kerja para pengorganisir masyarakat dari berbagai organisasi non-pemerintah, Roem Topatimasang, Mansour Fakih dan Toto Rahardjo serta sejumlah aktivis senior baik yang tergabung dalam konfederasi INSIST maupun mitra kerja INSIST memikirkan perlunya menyiapkan satu format peningkatan kapasitas aktivis melalui training advokasi.
Dari serangkaian training advokasi yang berjalan itu, bahan-bahan pelatihan kemudian menjadi bahan baku buku MKP ini. Beberapa pelatihan fasilitator advokasi ini dikelola oleh INSIST dan REMDEC untuk Konsorsium Peningkatan kemampuan advokasi Ornop dan mitra HIVOS, NOVIB dan OXFAM GB di Indonesia. Sejak tahun 1996, baik Roem Topatimasang, Mansour Fakih maupun Toto Rahardjo dan rekan INSIST lain menghimpun dan menggunakan materi-materi pembelajaran pelatihan tersebut dan menggunakannya sebagai bahan dasar pelatihan-pelatihan serupa lainnya. Belakangan, pihak PACT Indonesia yang meminta INSIST menggunakan bahan-bahan yang sama untuk rangkaian pelatihan advokasi bagi ornop mitra mereka dengan fokus pada advokasi otonomi daerah.
Rangkaian pelatihan terakhir ini, diselenggarakan masing-masing pada 10-28 Februari 2000 (angkatan pertama) dan 4 – 20 Maret 2000 (angkatan kedua), keduanya di Yogyakarta. Kedua pelatihan itu sendiri adalah tindak lanjut dari lokakarya otonomi daerah pada bulan November 1999 juga di Yogyakarta. Dalam kedua rangkaian pelatihan terakhir inilah bahan-bahan itu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi politik nasional setelah rezim Orde Baru tumbang pada 1998. Para peserta pelatihan memberikan banyak umpan balik untuk perbaikan dan penyempurnaan yang kemudian diterbitkan menjadi buku Mengubah Kebijakan Publik.
“Dulu orang sedang asyik dengan community development, lalu muncul pola kerja aktivis dengan metode atau strategi pengorganisasian atau yang trend disebut Community Organizer. Nah, Mansour sama Roem menemukan ide baru, lalu Roem mulia ngulek-ngulek (meramu) dokumen, dia cari dokumen-dokumen yang mendukung untuk pola kerja itu. Jadilah buku advokasi itu. Cuma judulnya memang bukan Advokasi, tetapi judul justru diambil dari tindakan dan hasil yang diharapkan dari advokasi itu, yakni Mengubah Kebijakan Publik,” tutur Toto yang saat ini masih menggeluti gagasan pendidikan popular melalui sekolah yang ia dirikan, Sanggar Anak Alam atau SALAM di Yogyakarta.
“Nah, bersamaan dengan itu, ditambah lagi ketika Mansour pulang dari sekolah di Amerika, dia dengan ilmunya mulai menemukan bahwa persoalan pembangunan itu by designed. Jadi upaya melawannya pun juga mesti dengan membuat desain baru!” Tandasnya. “Maka untuk melawannya, harus dilawan dengan advokasi itu. Advokasi itu alat kerja masyarakat melalui jalur legal, ‘kan begitu. Zaman sebelumnya ‘kan tidak legal, misalnya reclaiming tanah, risikonya juga tinggi. Nah advokasi ini ‘kan kerja legal gitu lho,” Mas Toto menjelaskan dengan penuh semangat.
“Jadi, gagasan lahirnya buku itu jelas adalah pikiran dari banyak orang yang gelisah, termasuk yang menggodoknya adalah Oji Arab (Fauzi Abdullah). Kami bertiga hanya meramu jadi buku saja. Saya sendiri lebih tertarik ke training langsungnya saat itu. Bukan pada menulisnya. Tapi saat itu Mansour minta agar penyusunan sampai penulisannya di garap di INSIST yang sudah terlatih menyusun buku modul,” kenangnya. “… Mansour pernah ngomong sama saya dan Roem, kita harus buatkan modul pelatihan advokasi, karena jangan sampai menjadi parade ceramah. Nah itulah mengapa setelah terbit buku “Mengubah Kebijakan Publik”, lalu kami melanjutkan dengan menyiapkan buku “Pendidikan Popular” pada tahun yang sama dan beberapa tahun kemudian terbit buku Mengorganisir Masyarakat,” Mas Toto masih bersemangat mengenang peristiwa nyaris dua puluh tahun lalu.
Dalam proses pra-terbit, beberapa kontributor pengumpul bahan dan data seperti Fauzi Abdullah, Dewi Suralaga, Noer Fauzi, R. Yando Zakaria, Ahmad Mahmudi dan Don K. Marut banyak membantu ketersediaan bahan baku buku ini. Bahan dan data yang sudah rapi tersebut kemudian disusun dan distrukturkan oleh Roem Topatimasang, Mansour Fakih, dan Toto Rahardjo. Ketiga nama inilah yang menjadi pelaku penting dalam membuat struktur naskah sekaligus penyunting akhir naskah. Naskah final kemudian didesain oleh Ronny A. Rahmanto dan Andy Seno Aji dan kemudian diberikan ilustrasi gambar/komik oleh Faisal Ismail. Usai proses desain dan lain-lain, INSISTPress menyatakan naskah buku sebagai naskah final yang siap dicetak.
Buku MKP ini sudah memasuki tahun ke-enambelas sejak terbit pertama kali. Buku ini sudah dicetak hingga edisi ke-6 saat ini. Gagasan tentang ‘advokasi terpadu’ di mana penjelasan terkait tiga ranah (yakni ranah basis, ranah baris depan, dan ranah pendukung) dan kebijakan yang dipandang sebagai sebuah sistem hukum (content, structural and cultural of law) serta berbagai pola kerjanya oleh tim lingkar inti dan tim aliansi sudah menjadi pengetahuan publik. Banyak pihak mengadopsi gagasan itu dan menerapkannya di wilayah kerja masing-masing. Tentu ada yang berhasil tak sedikit pula yang gagal mengubah kebijakan yang berkeadilan sosial. Tetapi, terlepas dari kegagalan itu, bagaimanapun proses advokasi jauh lebih penting daripada hasilnya. Proses advokasi adalah ‘daur pengorganisasian masyarakat’ yang tidak dapat berhenti jika masih terus digulirkan para penggeraknya.
Buku MKP adalah buku penting. Hingga saat ini, permintaan dari berbagai agensi perubahan sosial masih terus diajukan ke penerbit INSIST. Tak sedikit juga ada agensi yang bersedia menuliskan pengalaman pengorganisasian mereka yang mengadopsi gagasan advokasi terpadu ini. Gagasan yang merupakan bangunan pengetahuan itu terus menerus diproduksi dan mengalami reproduksi ke dalam berbagai bentuk pengetahuan: kebijakan baru atau naskah hukum, model-model advokasi kebijakan, media-media advokasi, kertas kebijakan, naskah akademis, dan modul-modul advokasi dengan tema yang spesifik telah lahir.
Apakah buku MKP ini masih akan menjadi rujukan bagi para pendamba terwujudnya masyarakat yang adil? Jawabannya amat bergantung kepada kesesuaian gagasan buku ini dengan konteks sosial dan politik yang semakin laju perubahannya sampai saat ini. Jika INSIST, sebagai ‘pemilik’ buku ini masih ingin bukunya menjadi rujukan dalam kerja advokasi, riset maupun pengorganisasian masyarakat, maka sebuah revisi dalam edisi baru mutlak untuk dilakukan.
Jika revisi akan dilakukan, beberapa masukan penting layak dipertimbangkan. Pertama, politik tingkat daerah saat ini banyak berubah khususnya setelah pemberlakukan UU No. 23/2014 (tentang pemerintahan daerah) dan UU No. 6/2014 (tentang desa). Kedua, di tingkat nasional, sudah bediri sejumlah lembaga negara baru yang bisa menjamin hak warga negara dan kehidupan berdemokrasi yang substantif. Selain itu, Ketiga, dari berbagai pengalaman advokasi di beberapa daerah, fokus pada budaya hukum perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pada dua aspek lain (content and structural of law). Keempat, munculnya kasus-kasus baru seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak juga perlu menjadi perhatian masyarakat sipil. Pun demikian dengan politik agraria yang juga mulai terbuka dan peluang masyarakat adat untuk merebut hak-hak atas wilayah adat dan pengelolaannya dari pihak lain semakin memungkinkan untuk bisa diwujudkan. Kelima, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian maju. Teknologi pengorganisasian masyarakat semakin sederhana dengan fungsi yang semakin beragam. Seseorang kini bisa menggunakan satu alat dengan beragam fungsi. Kerja advokasi kebijakan, baik terkait dengan pembelajaran, pengorganisasian maupun refleksinya akan lebih memudahkan para aktivis maupun masyarakatnya.
Jika buku ini benar-benar mengalami revisi, maka boleh jadi geliat advokasi mengubah kebijakan publik akan lebih sering terjadi dan peluang terbangunnya masyarakat yang berkeadilan sosial dapat tercapai. []
*Tim Peneliti; Ishak Salim, Dony Hendrocahyono, dan Saleh Abdullah.
•Rehal buku: Mengubah Kebijakan Publik/ Roem Topatimasang, Mansour Fakih, dan Toto Rahardjo/ INSISTPress, 2016.