Peternakan Babi Hutang*
Bagi manusia berakal waras, tindakan pewarisan hutang dari penguasa kepada rakyatnya adalah tindakan yang penuh kenajisan yang tiada terperikan. Jika dicuci dengan berton-ton pasir untuk menghilangkan najis akbar ini rasanya tiada pernah termaafkan. Di Indonesia, rezim ultra diktator ala Suharto, Marcos, dan sebagainya adalah benih-benih neraka yang dikirimkan oleh iblis dengan segala pernak-pernik hadasnya. Mbah Joseph Hanlon ini gila banget berani-beraninya ngobrolin soal babi hutang. Buku ini saya beli harga 5 ribu saja di toko buku social agency jalan kaliurang bareng “gembel” kalibedog yang berkesadaran kritis.
Jubilee 2000 adalah suatu gerakan kampanye global dalam rangka menuntut penghapusan hutang-hutang yang tak mungkin terlunaskan (unpayable debt) dari negara-negara termiskin di dunia pada akhir 2000. Petisi Jubilee 2000 telah ditandatangani oleh 120 negara dan anggotanya terdiri dari dari koalisi-koalisi di berbagai negara. Saat ini, di Amerika Latin saja terdapat koalisi di 14 negara antara lain: Honduras, Nikaragua, Ekuador, Peru, Brazilia, Venezuela, Meksiko, Argentina, Bolivia, Kuba, Guetemala, Guyana, Haiti, Elsavador. Di Afrika juga ada 14 negara: Angola, Burkina Faso, Kamerun, Cote d’Ivoire, Ghana, Kenya, Mali, Mozambique, Nigeria, Afrika Selatan, Tanzania, Uganda, Zambia, Zimbabwe. Di Barat terdapat koalisi di semua negara G7 dan kampanye ini ternyata sangat efektif terutama di negara-negara Skandinavia (85-86).
Mungkin jarang disadar bahwa pencicilan utang telah mengalihkan pemakaian uang dari keperluan dasar bagi rakyat negara miskin seperti untuk dana kesehatan dan pendidikan. PBB memperkirakan, jika saja dana-dana itu dipakai untuk kesehatan dan pendidikan daripada untuk mencicil hutang, 7 juta nyawa anak-anak dapat diselamatkan setiap tahunnya. Itu berarti 134 ribu anak per minggu akan bisa terselamatkan dan terjamin masa depannya.
Itulah sebabnya maka Jubilee 2000 berpendapat cara terbaik untuk menolong negara-negara miskin adalah dengan menghentikan penghisapan uang mereka. Mengingat selama ini satu-satunya jalan bagi negara-negara miskin untuk dapat mencicil hutang adalah dengan cara gali lobang tutup lobang: mengambil utang baru baru untuk menutup hutang lama. Itu tidak mungkin mereka dapat mencicilnya secara penuh — maka biasanya lalu menunggak dan utangnya makin membengkak. Sementara banyak negara maju yang berhutang juga santai saja mereka. Bahkan mereka tak ada niat membayar.
Situasi tidak adil yang menggelayut di dunia ini adalah justru negara berkembang yang menjadi korban konspirasi lembaga donor yang dikejar sampai lubang semut, bahkan nyaris diuber-uber sampai senewen. Sementara kekayaan alam negara berkembang sudah dihisap sampai ke tulang-tulang sumsumnya.
Kemana Hutang dibelanjakan?
Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa sebagian besar hutang luar negeri telah dibelanjakan secara serampangan, sebagian dihambur-hamburkan, sebagian masuk ke kantong para diktator dan sebagian lagi kembali ke barat karena peminjaman yang korup, sebagian lainnya berfungsi sekedarnya tanpa pengawasan yang memadai. Bahkan, seperlima dari semua hutang kepada negara berkembang merupakan pinjaman yang mendukung munculnya para diktator. Mobutu, Marcos, Soeharto dan para penguasa diktator lainnya adalah orang-orang yang didukung dengan pinjaman besar. Meskipun mereka melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, melakukan korupsi dengan merajalela dan secara terang-terangan mentransfer uang-uangnya ke bank-bank luar negeri, tetapi tetap saja menerima pinjaman tersebut. Nah, lantas jika demikian kenyataannya haruskah para korban penindasan yang justru membayar harga bagi para penjara dan siksa mereka sendiri?
Secara ringkas ada dua alasan mengapa hutang-hutang tersebut tidak seharusnya dibayar. Pertama, pinjaman tersebut merupakan hutang najis (odious debt) sebagaimana didefinisikan oleh hukum internasional dan tidak bisa menjadi tanggung jawab bagi siapapun yang tidak menerimanya dan menikmati hasil dari peminjaman tersebut.
Kedua adalah masalah moral hazard. Dengan memaksakan pengembalian pinjaman, kita lantas mengatakan memberikan pinjaman yang memunculkan diktator yang korup itu dapat diterima. Jika ingin meminjamkan dengan integrita,dan tidak ingin pinjaman tersebut menimbulkan rejim penindas, maka para kreditor harus menyadari bahwa pinjaman seperti itu secara ekonomis tidaklah bijaksana, dan secara moral tidak dapat diterima.
Total utang negara-negara miskin di dunia ini mencapai 371 milyar dolar AS. Kebanyakan darinya — sekitar 160-300 milyar dolar AS — barangkali harus dihapuskan. Angka ini kedengarannya sangat muskil . Tapi sebenarnya biaya rielnya akan jauh lebih rendah sebab negara-negara penyedia hutang tahu bahwa mereka tak akan menerima piutangnya secara keseluruhan, dan telah menyiapkan sejumlah rambu untuk menutupi kerugian mereka.
Menghapus utang tak terlunaskan berarti menurunkan tingkat utang sampai tingkat yang dapat dilunasi, tanpa membebani masyarakat secara keterlaluan. Sebagai contoh, di Mozambique saat ini, pemerintah membelanjakan 3% dari uangnya untuk kesehatan, 8% untuk pendidikan tapi 33 % untuk membayar utang. Utang seperti ini jelas tidak akan terlunaskan. Pada kenyataannya untuk beberapa negara termiskin, menghapus hutang tak terlunaskan bisa berarti menghapus seluruh utang negara tersebut.
Bagi Jubilee 2000 jelas bahwa setiap sumber daya baru yang diperoleh dari penghapusan hutang harus menguntungkan rakyat biasa, dan bukan elit. Cara terbaik untuk untuk mengatsai korupsi adalah mengurangi kemiskinan dan meningkatkan keterbukaan dan transparansi. Jubilee 2000 ingin melihat adanya keputusan-keputusan tentang prioritas belanja bagi negara sedang berkembang yang ditentukan secara sejajar bersama-sama rakyat, yang diwakili oleh civil society dan wakil-wakil rakyat terpilih.
Kelompok-kelompok ini dapat melakukan pemantauan pemerintah dan pejabat serta menyingkaptindak korupsi dan menjaminkan dana yang dialihkan dari hutang tersebut untuk keperluan peningkatan kesehatan dan pendidikan. Proses tersebut akan membantu pemerintahan pemeritahan di negara-negara dunia ketiga dan memacu demokratisasi serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.
*David Efendi, Ketua Serikat Taman Pustaka, pegiat Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas. | Sumber: rumahbacakomunitas.org – 9 Oktober 2016.
*Rehal buku: Warisan Hutang Rezim Diktator •Penulis: Joseph Hanlon •Penerjemah: Zaim Saidi & Kurniawati •Penerbit: INSISTPress dan PIRAC, 2001.