Pembangkangan Tak Terelakkan

Pembangkangan Tak Terelakkan*

“An inspiring account of those magic moments of mischief that can transform our lives – a book that shows how to poke your tongue out at tyrants without having it cut off” 

Geoffrey Robertson QC, author of Crimes Against Humanity: The Struggle for Global Justice

Dari grup para pemburu buku yaitu grup WhatsApp ‘Rumah Baca Komunitas’ cover buku ini menyembul begitu saja di suatu siang. Aku langsung merasa gembira sekali bahwa genre buku ini saya paling suka. Buku-buku seri perkawinan sosiologi, antropologi, dan politik yang disajikan dengan gaya-gaya etnografi yang kaya dan padat. Saya sangat suka dan antusias dengan buku ini. Buku yang diterjemahkan oleh INSISTPress ini melengkapi bacaan-bacaan saya di beberapa buku sebelumnya seperti The Power of Everyday Politics, Weapon of the Weakthe power of powerless – Vacklav Havel, pahlawan-pahlawan belia, politik di era anti politik, abang becak, back door Java, dan banyak artikel pendek lainnya yang berkisah seputar perlawanan tak terbuka yang berhasil mengubah kebijakan penguasa; atau ihwal perlawanan individu yang berhasil ber-transformasi menjadi public and open movement.

Buku ini punya momentum sangat berarti baik di lingkungan terdekat di mana saya berada maupun di beberapa negara yang lahir model diktator baru bernama demokrasi yang juga tak kalah bobrok dibanding era rezim sebelum demokrasi. Banyak manipulasi praktik demokrasi yaitu rezim kebohongan-kebohongan berkedok bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Rezim teknokrasi dan pembangunanisme di era demokrasi bukan berarti tidak menindas kepentingan rakyat. Beragam perlawanan atas skema pembangunan di Indonesia pun mengalir dari Sabang sampai Merauke. Di Jogja ada perlawanan warga terhadap proyek penambangan pasir besi, pembangunan bandara Kulonprogo, dan maraknya pembangunan  hotel, swalayan modern-berjejaring, supermall dan apartemen. Suatu pembangkangan digital begitu massif dan tak terelakkan, hanya saja butuh momentum atau kecerdikan berlipat untuk menjadikan gerakan ini punya dampak lebih besar.

Saya tidak  mengatakan pembangkangan seorang individu tak berdampak, dampak itu mengalir menemukan arusnya sendiri. Hal ini banyak disinggung dalam buku ini, terlebih Crawshaw dan Jackson membuat kesimpulan bahwa tindakan perlawanan memang membutuhkan berlapis keberanian, ketegaran, dan kecerdikan. Dalam kata lain, ada daya tahan yang harus dirawat untuk mendamba suatu situasi baru yang diinginkan.

Senada dengan hal itu, menurut Vaclav Havel (1985) beberapa hal yang menjadikan penting untuk bertahan waras (life within the truth) di tengah situasi yang menindas (bukan hanya otoritarian yang merusak, tetapi demokrasi punya peluang menjadi hegemonic) sebagaimana dalam esai Havel yang diberjudul the power of powerless:

“…First, a recognition of the “hidden sphere” within us and between us that will never be fed, fulfilled, or sustained by an external system, ideology, or abstraction. This “sphere” is a soul to be filled with faith, truth, and beauty. Second, a recognition that the edifice of society is the individual and the essence of the individual is a dignity that is inextinguishable. Finally, courage to object in ways big and small to a regime’s dehumanizing pseudo-realities that diminish human dignity in any way. To “live within the truth” is to empower the individual in even the most oppressive of circumstances. It is the power of the powerless.”

Tiga hal penting itu adalah konsep kebenaran yang dipegang kuat dan diyakini dalam hati; kedua adalah kepercayaan bahwa kekuatan suatu masyarakat itu ada pada individu; dan terakhir adalah keberanian. Keberanian untuk melakukan perlawanan baik dengan tindakan kecil atau besar, sendiri atau berkelompok, dan atau dengan apa pun yang memungkinkan untuk tetap berdiri berbeda dengan arus kebrutalan atau kejahatan kekuasaan.

Sama persis dengan kekuatan politik sehari-hari yang diceritakan oleh Kervliet (2010) dalam kasus tanam paksa di Vietnam—bagaimana pembangkangan individu yang jumlahnya banyak tanpa terorganisir dapat menghentikan kebijakan tanam paksa pohon komoditas. Secara alamiah, petani memilih bertanam tanaman yang dibutuhkan untuk bertahan hidup ketimbang memenuhi keinginan negara untuk menanam jenis tanaman komersil. Seberapa parah dan represifnya suatu praktik kekuasaan, konsep kebenaran tak boleh hilang dari dalam diri. Kira-kira itu ajaran moral Havel untuk kaum tertindas.

Kehidupan yang sesak-nafas baik di bawah rezim totalitarianisme atau jenis diktator baru lainnya seperti pembanganunisme atau teknokratisisme selalu berujung pada kasus dehumanisasi. Oleh penguasa, awalnya individu itu dianggap tak berdaya atau tuna kuasa. Tetapi sebenarnya itu sangat tidak benar. Hannah Arendt bilang, “Isolated men [sic] are powerless by definition”. Jadi, diamnya individu-individu itu seperti menyimpan magma yang maha mengerikan—mengancam jantung kekuasaan. Ya, sangat mengancam.

Saya bersyukur sudah khatam membaca buku Tindakan-tindakan Kecil Perlawanan ini, namun rasanya ingin membaca lagi dan menggali beberapa pertanyaan dengan cara searching di internet karena buku ini bercerita banyak negara dan banyak konteks sejarah. Buku ini sangat kaya dan memang terkesan dipadatkan sehingga success story tindakan kecil perlawanannya kadang kurang begitu memuaskan—kurang detail bagaimana rasionalisasi tindakan itu mengubah keadaan. Ya, tetapi imajinasi kita tentang perlawanan sehari-hari yang pernah kita terlibat menjadikan hal ini lebih gampang dimengerti. Cerita online movement yang dibingkai poster, sosmed, video, music sangat menarik seperti yang dilakoni individu-individu berdaya di Yogyakarta seperti aktifis #Jogjaoradidol, #JogjaAsat, festival mencari haryadi dalam grafiti, penghadang moge, dan sebagainya. Suatu bentuk perlawanan juga akhir-akhir ini semakin menguat seperti model petisi di change.org atau di MoveOn.org.

Di banyak daerah di Indonesia tersebar sekian banyak poster perlawanan di media sosial: Bali Tolak Reklamasi, Makasar Tolak Reklamasi, Rembang Melawan, Sumbawa Tolak Reklamasi, Tolak Pasir Besi, dan banyak lagi. Memang banyak petani yang menjadi korban karena kekuatan fisik kuasa kapital dan taktik yang terlalu gampang dilumpuhkan moncong bedil. Kita berduka atas semua ini. Ke depan atau di hari hari yang akan datang di mulai sekarang, kisah-kisah perlawanan kecil ini akan lebih banyak bermakna. Semoga lebih banyak kemenangan kecil diperoleh.

Seringkali, sebagaimana di dalam buku ini disimpulkan, kita harus bisa sembunyikan maksud sebenarnya untuk mengecoh lawan agar tak terlalu cepat mematikan kita—mengubur kenyataan yang kita doakan di dalam hati.

Bagi saya pribadi, bagian yang paling asyik itu pembangkangan digital dan mengecoh maksud sebenarnya. menginspirasi #gerakanmembunuhjogja, bentar lagi muncul dari dalam istana #gerakanmencarikhalifah atau #gerakanmencarisultan. Jenis-jenis pembangkangan yang dapat dioperasionalisasi dari bilik kamar kost, atau bilik toilet untuk menyergap kesadaran pembaca, simpatisan, dan membuat ‘penguasa’ berpikir ulang tentang gerbang istana yang dibangunnya yang ternyata gampang dikudeta secara online. Internet tak bisa dihentikan dengan bedil, satpol pp, tentara, benteng kerajaan totalitarisnisme.

Ya, kita sudah berada di era yang memungkinkan membangkang sambal tidur-tiduran di kamar kontrakan. Inilah zaman baru, di mana pembangkangan menjadi kisah setiap detik kehidupan. Siapa pun bisa membangkang! Asalkan di dalam hatimu ada konsep kebenaran—living within truth.

*David Efendi. pegiat Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi) | Sumber: rumahbacakomunitas.org – 17 Oktober 2016.

*Rehal buku: Tindakan-tindakan Kecil Perlawanan: Bagaimana Keberanian, Ketegaran dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia/ Steve Crawshaw & John Jackson/ Roem Topatimasang/ INSISTPress, 2015.